Berbicara perihal introver atau ekstrover, merupakan masalah untuk saya. Kenapa begitu? Di fase hidup menjelang 25 tahun ini, saya malah kembali bimbang: apakah introver, ataukah ekstrover?
Saya masih ingat, dulu sewaktu kecil saya sangat aktif. Ini terjadi hingga saya lulus SD dan melanjutkan pendidikan SMP di kota. Menjadi introver berlangsung pada masa-masa SMP hingga satu semester perkuliahan. Lagi-lagi saya merasa sendiri di jurusan kuliah. Namun lama-kelamaan energi dan ekspresi saya keluar sehingga saya menjadi ekstrover.
Menjadi introver kembali saya rasakan saat bekerja. Rekan kerja yang terlampau "malesin" membuat saya emotionless. Ya, saya sedang menjalani tahapan hidup dimana hati diam tetapi bibir tersenyum, kecut.
Sayatidak suka didominasi. Terlalu banyak diam, menerima dan cenderung "disuapi" informasi yang saya sudah saya ketahui bahkan sebelum orang itu tahu. Ini menguras energi dan tentunya emosi. Karena merasa tidak nyaman, dan merasa ini bukan saya yang biasanya. Harus duduk, diam, mendengarkan ocehan-ocehan yang berulang.
Rekan kerja yang seperti ini tidak jarang membuat emosi jiwa. Saya rentan meledak emosinya (meski sekarang sudah tidak terlalu, ya). Akibat dari itu, tak jarang pada awal-awal bekerja dengannya, saya banyak berselisih pendapat --selain karena kemampuan berkomunikasinya cenderung buruk.
Namun ada hal yang saya petik dari introvernya saya kali ini: saya bisa lebih banyak mendengarkan kebodohan-kebodohan orang yang terlampau banyak berbicara. Tak jarang saya tertawa setengah mampus, tapi tetap saya simpan dalam hati, tidak saya lontarkan.
Ya, saya jadi memiliki sudut pandang yang berbeda. Saya jadi merasakan seperti agak bijak sedikit. Ketidakreaktifan saya dalam menghadapi masalah membawa faedah. Saya jadi tidak terburu-buru ketika mendapat suatu kabar. Dengan kata lain, meski tahapan hidup ini menguras, namun saya belajar.
Mungkin saya sekarang lebih banyak menyimpan energi, ketimbang menghaburkannya. Saya jadi berhemat, dan siap untuk mengeluarkannya saat waktunya tetap :)
Pernah menjadi ekstrover via knowyourmeme.com |
Menjadi introver kembali saya rasakan saat bekerja. Rekan kerja yang terlampau "malesin" membuat saya emotionless. Ya, saya sedang menjalani tahapan hidup dimana hati diam tetapi bibir tersenyum, kecut.
Sayatidak suka didominasi. Terlalu banyak diam, menerima dan cenderung "disuapi" informasi yang saya sudah saya ketahui bahkan sebelum orang itu tahu. Ini menguras energi dan tentunya emosi. Karena merasa tidak nyaman, dan merasa ini bukan saya yang biasanya. Harus duduk, diam, mendengarkan ocehan-ocehan yang berulang.
Rekan kerja yang seperti ini tidak jarang membuat emosi jiwa. Saya rentan meledak emosinya (meski sekarang sudah tidak terlalu, ya). Akibat dari itu, tak jarang pada awal-awal bekerja dengannya, saya banyak berselisih pendapat --selain karena kemampuan berkomunikasinya cenderung buruk.
Namun ada hal yang saya petik dari introvernya saya kali ini: saya bisa lebih banyak mendengarkan kebodohan-kebodohan orang yang terlampau banyak berbicara. Tak jarang saya tertawa setengah mampus, tapi tetap saya simpan dalam hati, tidak saya lontarkan.
Beginilah introver via introvertspring.com |
Ya, saya jadi memiliki sudut pandang yang berbeda. Saya jadi merasakan seperti agak bijak sedikit. Ketidakreaktifan saya dalam menghadapi masalah membawa faedah. Saya jadi tidak terburu-buru ketika mendapat suatu kabar. Dengan kata lain, meski tahapan hidup ini menguras, namun saya belajar.
Mungkin saya sekarang lebih banyak menyimpan energi, ketimbang menghaburkannya. Saya jadi berhemat, dan siap untuk mengeluarkannya saat waktunya tetap :)