• Home
  • Author
  • Send a raven!
spotify goodreads SoundCloud

Huis van Abdï

Diberdayakan oleh Blogger.
Berbicara perihal introver atau ekstrover, merupakan masalah untuk saya. Kenapa begitu? Di fase hidup menjelang 25 tahun ini, saya malah kembali bimbang: apakah introver, ataukah ekstrover?

Pernah menjadi ekstrover via knowyourmeme.com
Saya masih ingat, dulu sewaktu kecil saya sangat aktif. Ini terjadi hingga saya lulus SD dan melanjutkan pendidikan SMP di kota. Menjadi introver berlangsung pada masa-masa SMP hingga satu semester perkuliahan. Lagi-lagi saya merasa sendiri di jurusan kuliah. Namun lama-kelamaan energi dan ekspresi saya keluar sehingga saya menjadi ekstrover.

Menjadi introver kembali saya rasakan saat bekerja. Rekan kerja yang terlampau "malesin" membuat saya emotionless. Ya, saya sedang menjalani tahapan hidup dimana hati diam tetapi bibir tersenyum, kecut.

Sayatidak suka didominasi. Terlalu banyak diam, menerima dan cenderung "disuapi" informasi yang saya sudah saya ketahui bahkan sebelum orang itu tahu. Ini menguras energi dan tentunya emosi. Karena merasa tidak nyaman, dan merasa ini bukan saya yang biasanya. Harus duduk, diam, mendengarkan ocehan-ocehan yang berulang.

Rekan kerja yang seperti ini tidak jarang membuat emosi jiwa. Saya rentan meledak emosinya (meski sekarang sudah tidak terlalu, ya). Akibat dari itu, tak jarang pada awal-awal bekerja dengannya, saya banyak berselisih pendapat --selain karena kemampuan berkomunikasinya cenderung buruk.

Namun ada hal yang saya petik dari introvernya saya kali ini: saya bisa lebih banyak mendengarkan kebodohan-kebodohan orang yang terlampau banyak berbicara. Tak jarang saya tertawa setengah mampus, tapi tetap saya simpan dalam hati, tidak saya lontarkan.

Beginilah introver via introvertspring.com


Ya, saya jadi memiliki sudut pandang yang berbeda. Saya jadi merasakan seperti agak bijak sedikit. Ketidakreaktifan saya dalam menghadapi masalah membawa faedah. Saya jadi tidak terburu-buru ketika mendapat suatu kabar. Dengan kata lain, meski tahapan hidup ini menguras, namun saya belajar.

Mungkin saya sekarang lebih banyak menyimpan energi, ketimbang menghaburkannya. Saya jadi berhemat, dan siap untuk mengeluarkannya saat waktunya tetap :)

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Halo halo Bandung, ternyata sudah satu bulan saya tidak menulis. Bulan Oktober terlalu sibuk untuk sekadar menulis pembelaan. Tapi memang Oktober kegiatan lumayan padat, sebulan kemarin saya pergi ke lapang sebanyak dua kali. Akhirnya baru sempat menulis di awal bulan November ini.

Sebelumnya ada yang bertanya: kok bisa sih freshgraduate kerja di NGO? Atau kok bisa sih dapet kerjaan kayak gini?

Memang kalau kita cermati, kebanyakan lowongan kerja di LSM/NGO mensyaratkan untuk memiliki pengalaman kerja. Mulai dari 3-5 tahun harus dikantongi. Itulah yang menjadi pertanyaan pada saya.

Saya juga bingung menjawabnya, karena pekerjaan pertama saya ini merupakan hal di luar dugaan, meski memang didamba-dambakan. Jadi ceritanya begini....

Waktu itu Protection of Forest and Fauna (Profauna Indonesia) memang sedang membutuhkan staf untuk mengisi lowongan di posisi Communication Staff. Saya melamar saja karena tidak ada ketentuan pria atau wanita. Setelah seminggu lamanya saya menunggu tidak ada kabar pengumuman Communication Staff, akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke rumah.

Tiga hari kemudian, saya mendapat pesan dari founder Profauna Indonesia, Bapak Rosek Nursahid. Beliau mengirimkan pesan melalui Whatsapp yang isinya lebih kurang:

"Afrizal, apa mau bekerja di Maluku Utara? Nanti Afrizal bisa tinggal di kantor. Kerjanya nanti sosialisasi ke desa-desa di Halmahera Selatan."

Saya belum menjawab, akhirnya ada pesan lagi berbunyi:

"Kalau Afrizal mau, saya tidak akan publish di web."

Bukan berlaga sombong atau apa, karena waktu itu baterai hp sedang low, sedangkan listrik masih padam. Saya enggan membalas jika tidak ada pesan yang penting (oke ini mulai songong). Berikutnya tanpa babibu lagi, saya membalas pesan beliau dengan mengatakan "ya, saya setuju."

Akhirnya kami sama-sama deal. Saya akan bekerja di NGO, dan beliau tidak akan mem-posting lowongan pekerjaan ini di situs Profauna.

Intermezzo: setelah saya masuk dan bekerja di kantor headquarters (HQ), diketahui bahwa posisi itu untuk wanita. Pantas saja saya tidak dipanggil untuk wawancara!

Pasti terbit pertanyaan: kok bisa kenal founder NGO?

Saya bersyukur pernah menjadi sukarelawan atau volunteer di Profauna Indonesia. Dan selama berkegiatan sebagai sukarelawan ini, saya juga berinteraksi tidak hanya dengan para staf namun juga Bapak Rosek sendiri. Pun waktu itu hanya saya yang menjadi sukarelawan di Profauna. Mau tidak mau beliau kenal saya, kan?

Karena tahu saya melamar pekerjaan sebagai communication staff di Profauna, maka beliau akhirnya menawari saya pekerjaan di organisasi yang dipimpinnya, Profauna Indonesia. Inilah awal mula saya diterima sebagai staf lapang Profauna di Maluku Utara.



Kilas Balik

Sebagai lulusan baru, tentunya kita perlu aktualisasi diri setelahnya. Dengan kata lain, fase berikutnya sudah menunggu. Entah itu bekerja, langsung menikah, membuka usaha/berbisnis, lanjut sekolah, atau yang lain.

Saya sendiri memilih jalan terakhir, yaitu yang lain. Nah, istilah "yang lain" ini bisa beragam bentuknya. Waktu itu saya mencari alternatif lain seusai wisuda, yaitu menjadi relawan panitia di Kelas Inspirasi (KI). Tentunya kids zaman now tahu itu apa itu KI, yang tidak tahu saya tenggelamkan! *ala suara Menteri Susi*.

Awas ditenggelemin Bu Susi gaes via memegenerator.net

Berbagai posisi saya lamar, mulai dari pertanian sampai nonpertanian, mulai dari lowongan dalam hingga luar negeri. Sebelum wisuda pun saya menerima panggilan tes dari salah satu perusahaan finance, namun saya tidak hadir. Karena memang belum siap dites. Hehe.

Bulan-bulan berikutnya setelah KI selesai, saya masih terus melamar. Beberapa panggilan tes pekerjaan berdatangan. Tapi entah kenapa saya masih gamang, dan sejujurnya....saya masih belum siap bekerja. Karena saya pikir, waktu itu 2016 saya masih berumur 21 tahun. Masih ada waktu untuk saya benar-benar siap terjun ke dunia kerja, pikir saya.

Namun, tekanan dari segala penjuru mulai berdatangan, pertanyaan "sudah lulus kuliah? Kerja dimana sekarang?" seolah menjadi kalimat paling menyedihkan. Selain itu, usia awal dua puluhan merupakan usia yang kritis karena twenty-something-crisis. Saya menyerah, saya harus keluar dari zona nyaman ini (baca: menjadi pengangguran). Saya ingin berbeda, ingin menempuh perjalanan yang berbeda!

Oleh karena itu, saya rajin membaca artikel tentang mau kemana setelah lulus. Akhirnya saya memberanikan diri untuk volunteering.


Yang bisa dilakukan setelah wisuda via tirto.id

Sejak saat itulah saya rajin bertanya pada Mbah Google, dimanakah saya bisa menjadi sukarelawan? Tentunya saya memilih isu-isu yang sesuai dengan minat saya. Saya memilih isu lingkungan, lebih spesifiknya tentang satwa liar dan hutan, kalau bisa. Kalau tidak bisa, apa saja boleh!

Beberapa lembaga atau organisasi telah saya kantongi akibat sering bertanya pada Mbah Google. Banyak pertimbangan yang saya lakukan, salah satunya yaitu keuangan. Diri ini tidak ingin menyusahkan orang tua. Seusai menimbang-nimbang, saya putuskan menjadi sukarelawan di Profauna Indonesia, karena kantor pusatnya (headquarters) masih berada satu kota dengan kampus saya: Kota Malang. Kenapa Malang? Karena saya susah move on dari kota ini :')

Untuk volunteering di Profauna, syaratnya adalah menjadi anggota atau supporter terlebih dahulu. Segala persyaratan untuk menjadi supporter saya penuhi, akhirnya saya dinyatakan siap volunteering setelah mengisi formulir volunteer. Beruntungnya saya bisa memilih waktu untuk volunteering, serta tempatnya. Saya memilih untuk volunteering  di Petungsewu Wildlife Education Centre (P-WEC), di Dau, Kabupaten Malang. Untuk waktunya, saya memilih dari tanggal 15 Agustus hingga 5 Oktober 2017.

Serunya bermain gim "polusi sungai" via dokumentasi pribadi


Selama itu, banyak pelajaran dan pengalaman selama volunteering. Awalnya kita harus membiasakan diri memang, karena atmosfer tidak selalu mengenakkan (karena tidak terbiasa). Namun, karena keputusan ini saya ambil sendiri, tentu konsekuensinya harus saya hadapi sendiri.

Singkatnya, saya mengalami 7/7 dari artikel di Hipwee ini. Sepertinya saya berubah, ibarat ulat yang bersemadi dalam bentuk kepompong. Dan dalam kepompong itu semua proses terjadi, mengalir. Saya merasa keluar dari belenggu tak kasat mata selama ini.

Memang volunteering itu memberi kita pengalaman yang berbeda-beda. Tapi sejauh yang saya dapat berdasarkan pengalaman sendiri atau orang lain, menjadi seorang sukarelawan itu asyik kok! Kebahagiannya tidak setara lembaran uang, tapi lebih ke hal-hal sederahana. Pantas saja ada kalimat bahagia itu sederhana. Sesederhana gelak tawa staf saat makan siang bersama. Sesederhana berbagi skill kita kepada orang lain. Benar-benar sederhana :)

Seusai pengamatan pohon via dokumentasi pribadi


Tips saya untuk kalian yang belum pernah atau masih ragu untuk volunteering, ingat kalau hidup hanya sekali. Berlakulah baik dan memberikan dampak positiflah sesekali. Kita tidak tahu kapan akan pindah dari dunia ini. Maka dari itu, kalau tidak menjadi volunteer sekarang, lalu kapan lagi?

Hari terakhir, berfoto dulu kita via dokumentasi pribadi


Catatan: tulisan ini merupakan pengalaman saya sendiri. Penting diketahui bahwa tiap lembaga/organisasi punya kebijakan sendiri terkait perekrutan stafnya.
Share
Tweet
Pin
Share
1 comments
Gempabumi, atau tanah goyang dalam bahasa Melayu-Ternate, sudah tercatat sejak kemarin lusa (27/9). Gempabumi ini, sejauh pemberitaan di media belum sampai merusak. Namun getarannya terasa cukup kuat, dan dirasakan banyak orang.

Selama hampir setahun saya tinggal di Ternate, hari ini (Jumat, 29 September) yang terkuat. Dan, selama tiga hari berturut-turut ini yang paling sering terjadi gempabumi. Setelah beberapa kali mengunjungi situs BMKG, maka jelaslah bahwa tiga hari ini memang terjadi gempabumi.

Hasil pantauan mandiri via dokumentasi pribadi
Sejak awal terjadinya gempa sudah bisa dirasakan di Ternate via dokumentasi pribadi

Magnitudo gempa tertinggi terjadi pada hari ini, yaitu hingga mencapai angka M 5. Makanya BMKG membuat siaran pers di situsnya. Untungnya rentetan gempabumi tersebut tidak memicu tsunami, jadi sampai saat ini, kami aman.

Oh ya, mengapa judulnya terkesan aman-aman saja? Meski berdasarkan pemberitaan di media ada satu orang korban? Karena kita harus sadar bahwa....

kita hidup di daerah yang rawan bencana alam. Bencana yang dari sononya dan tak bisa kita cegah, kecuali manusianya yang bersiap diri.

Berdasarkan hasil berselancar di belantara Google, gempa ini disebut gempa swarm. Gempabumi ini dicirikan dengan seringnya frekuensi kejadian gempa, serta dengan magnitudo yang kecil. Lihat saja, ternyata Kabupaten Halmahera Barat yang merupakan episentrum gempa beberapa hari ini ternyata sudah mengalaminya pada tahun 2015.

Selain itu, saya mencomot judul tulisan saya saat ini dari blog Pak Daryono yang pernah bekerja di BMKG. Untungnya sampai saat ini saya belum menerima pesan berantai hoax terkait gempabumi ini. Syukurlah.


Ya, kita memang harus merasa nyaman untuk tetap survive. Jangan kaget saat terjadi gempa yang beruntun, hingga mencapai 988 kali. Lantas jangan seperti air comberan yang terheran-heran saat melihat air, wong sama-sama air, kok!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Disclaimer: tulisan kali ini bukan nyinyir semata, namun juga tiada maksud untuk menyindir


Long weekend banyak didamba sebagian orang, apalagi yang sudah bekerja. Yang sudah gawe. Tak terkecuali saya.

Selama saya bekerja di Maluku Utara, tiada beda antara hari kerja dan hari libur. Meski sudah tertera di lembar SOP kalau Sabtu dan Minggu libur. Tetap, bekerja di LSM haruslah dengan semangat kesukarelaan.

Ya, meskipun bekerja lintas pulau, lintas daerah, lintas provinsi (kadang) apabila konteksnya bekerja, akan selalu ada yang menghantui (baca: laporan perjalanan, laporan kegiatan, dsb). Hal itu membuat saya jenuh.

Di bulan ini, ada dua minggu strategis untuk berlibur agak panjang. Awal bulan dan menuju akhir bulan. Saya sudah melepas libur Hari Raya Iduladha, dan apakah saya akan melepas long weekend berikutnya? Jadi begini ceritanya....

Di dalam lubuk hati yang terdalam, saya mendamba untuk bervakansi ke Pulau Morotai. Ya, pulau ini sedang menjadi destinasi wisata prioritas pemerintah. Segala keindahan yang ditawarkan bisa ditanya di Mbah Google.

Akhirnya saya sampaikan keingin itu ke teman yang bekerja di pulau seberang. Akhirnya kita akan bervakansi ke Morotai! Yay!

Singkat cerita, saya sudah mengantongi izin. Harga dan jam berangkat kapal menuju Morotai sudah di tangan. Nahas, kami gagal berangkat!

Salah satu teman dalam rombongan kecil kami tidak diizinkan karena mengalami musibah.

Gagal sudah.

Ekspresi saya juga tidak jauh dari ini via memec(dot)com


Setiap orang menghadapi perubahan bisa berbeda-beda reaksinya. Ada yang ngambek, ada yang jadi "Miss Ikut Kemana Aja", alias tujuan kemana pasti "ngikut". Kebetulan yang ngambek ini memang orang "sini", yang tak pernah merantau.

Saya sih, anteng aja. Saya diajari ibu saya untuk siap untuk segala skenario yang akan terjadi, termasuk rencana wacana vakansi ke Morotai ini.

Akhirnya saya menyadari semangat merantau pada orang yang pernah merantau.

Anak rantau pasti sudah mengalami asam garam kehidupan. Mau itu yang senang, sedih, pasti sudah merasakan. Artinya segala perubahan itu sudah dilahapnya, dan tentunya menjadikannya lebih waspada pada perubahan. Menjadikannya lebih tangguh, daripada yang tidak.

Sebuah kenyataan hidup anak kost via fakhrikmt.blogspot.id


Menjadi anak rantau pastilah kuat. Hidup serba kekurangan (oke, ini lebay) menjadinnya lebih kreatif. Kreatif merupakan sebuah solusi alternatif, alias bisa diakali. Itulah ciri anak rantau!

Akhir kata, di tulisan yang semena-mena ini, saya bersyukur bisa merasakan merantau. Di tanah rantau nilai-nilai dan pelajaran hidup berlomba-lomba membentuk kita. Seperti kata pepatah: terbentur, terbentur, terbentur, terbentur, terbentuK.

Ngomong-ngomong bervakansi, yuk dengarkan dulu lantunan suara biduanita Nona Sari dari kelompok musik indie White Shoes & The Couples Company sembari menghibur diri. Enjoy!





Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Bandara Oesman Sadik, Labuha


Hal yang saya syukuri dari pekerjaan saya saat ini adalah bolak-balik ke lapang, yaitu Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel). Halsel merupakan kabupaten terluas di Provinsi Maluku Utara. Ibukota kabupatennya ialah Labuha, yang berada di Pulau Bacan.

Pulau Bacan merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Halsel. Artinya, pusat keramaian juga berada di sini. Bandara Oesman Sadik merupakan bandara satu-satunya bandara di pulau dengan luas 2.053 km persegi ini.

Untuk menuju Bacan menggunakan pesawat, hanya satu penerbangan dari Bandara Sultan Babullah, Ternate yaitu dengan armada Wings Air. Wings Air ini sebenarnya rute baru, yang efektif dibuka pada bulan April 2017 ini. Sebelumnya ada Express Air, namun sudah berhenti beroperasi.


Pulau Bacan menurut Google Maps

Waktu tempuh berkisar antara 30-40 menit. Penerbangan dari Ternate ke Bacan pukul 16.30 WIT, sedangkan dari Bacan ke Ternate pukul 07.30 WIT. Harga tiket pesawatnya yaitu Rp310.000 dari Ternate ke Bacan, sedangkan dari Bacan ke Ternate Rp320.000.

Dari jendela pesawat, pemandangan pulau-pulau kecil bertaburan layaknya zamrud. Pantas saja Chrisye dan White Shoes & The Couples Company menciptakan lagu Zamrud Khatulistiwa.

Tanpa banyak cingcong, saya sajikan dokumentasi foto. Kumpulan foto perjalanan dengan moda pesawat dari Bacan (selatan) ke Ternate (di utara). Enjoy!


Sewaktu 15 Agustus  2017: terlihat sisi barat Pulau Bacan dipenuhi pemukiman.


15 Agustus 2017: kemungkinan Desa Awanggoa

24 Juli 2017: Desa Babang, merupakan penghubung antara pulau Halmahera dan Bacan

18 Agustus 2017: mysterious islands :)

18 Agustus 2017: gugus Pulau Kayoa - Laluin

18 Agustus 2017: Pulau Makian

22 Desember 2016: Pulau Mare, Kota Tidore Kepulauan

22 Desember 2017: sisi timur Pulau Tidore, dengan puncak Kie Tubu. Pulau kecil antara Tidore dan Ternate adalah Pulau Maitara

22 Desember 2016: sisi timur laut Pulau Tidore


Indah bukan? 
Share
Tweet
Pin
Share
2 comments
Judul: Pasar
Penulis : Kuntowijoyo
Tata sampul: Buldanul Khuri
Cetakan: Pertama, Februari 2017
Tebal: 378 halaman
Penerbit: DIVA Press dan Mata Angin


Pasar dalam genggaman via dokumentasi pribadi

Pasar. Judulnya unik, ilustrasi sampulnya juga menarik. Saya sendiri seperti ditatap oleh bapak tua, yang dalam buku ini adalah representasi saya atas tokoh Pak Mantri Pasar.

Tenang, buku ini bukan mengenai teori-teori ekonomi. Tidak ada hubungannya pula dengan ekonomi inklusif yang digaungkan Ibu Ani. Buku ini malah menceritakan proses pewarisan nilai-nilai Jawa dan perubahan sosial di sebuah kota kecamatan.


Sampul belakang dan "blurb" novel Pasar via dokumentasi pribadi

Selain itu, buku ini menceritakan mengenai benturan antartokoh yang mewakili kelas priyayi, rakyat jelata, birokrat, serta pedagang kapitalis. Pak Mantri Pasar mewakili kelas priyayi. Paijo, penagih karcis pasar mewakili rakyat jelata alias wong cilik. Siti Zaitun, pegawai Bank Pasar yang mewakili kaum birokrat. Dan yang terakhir yaitu Kasan Ngali, sebagai seorang pedagang gaplek yang mewakili pedagang kapitalis.

Membaca Pasar membawa kita pada suasana pasar tradisional. Suara penjual menawarkan barang, suara ibu-ibu tawar-menawar, kucing kampung tanpa tuan, serta yang unik dari Pasar-nya Kuntowijoyo yaitu merpati peliharaan Pak Mantri.

Penokohan
Dikisahkan Pak Mantri memiliki banyak burung merpati, lengkap dengan pagupon alias rumah merpati. Selain merpati, Pak Mantri juga memelihara columbidae lain yaitu burung puter. Seperti diketahui, orang Jawa itu tak lengkap rasanya bila tak memelihara manuk alias burung. Begitu pula Pak Mantri ini.

Ada pula Paijo, yang menagih karcis pungutan pasar. Selain menagih karcis,juga diperintahkan untuk mengurus burung-burung Pak Mantri. Misal memberi pakan, menjemur burung, membersihkan kotoran burung dan lain-lain. Tentunya Paijo yang hanya rakyat jelata menuruti perintah instruksi priyayi. Di sini terlihat jelas Paijo ini tidak pernah menolak apa yang diperintahkan oleh Pak Mantri.

Di Pasar juga hidup Siti Zaitun, seorang juru ketik Bank Pasar. Gadis ini sangat mewakili kaum birokrat yang "sangat efisien". Maksudnya, ya kalau bukan urusannya ya tidak akan dikerjakan. Sungguh monoton hidup Zaitun ini menurut saya. Selain itu wataknya juga judes. Zaitun merupakan tokoh wanita utama satu-satunya di novel ini.

Kaum kapitalis di Pasar ini adalah Kasan Ngali, yang digambarkan kaya raya layaknya pedagang pada umumnya. Punya segalanya, namun rumah tangganya tidak berjalan mulus. Di bagian terakhir buku ini malah dia ingin nikah keenam kalinya dengan wanita pemain ketoprak, Sri Hesti, meski batal lantaran dia (diduga) diperas.

Plot
Yang saya tangkap dari buku ini adalah ya....seperti disebutkan sebelumnya yaitu pewarisan nilai. Bagian awal berkutat pada Pak Mantri dan Paijo. Paijo yang polos cenderung lemot memang bikin geregetan. Apalagi untuk Pak Mantri yang sudah tua, dan priyayi yang emosinya mudah tersulut. Wejangan-wejangan disampaikan kepada Paijo bak dia adalah anaknya sendiri. 

Masalah yang muncul pada pasar yaitu banyaknya keluhan dari pedagang bahwa burung merpati Pak Mantri mengganggu. Mulai dari bau khas kotoran burung, burung yang suka memakan dagangan penjual dan lain-lain. 

Paijo yang hanya menyampaikan aspirasi pedagang cuma bisa menyampaikan pada Pak Mantri bahwa burung-burung merpati itu baiknya dikurung saja. Sudah bisa ditebak, Pak Mantri bersikukuh agar burung merpati itu jangan dikurung.

Akhirnya, pelapak di pasar Pak Mantri berpindah pada pasar yang dibuat oleh Kasan Ngali. Tak heran karena pasar baru di halaman Kasan Ngali itu bebas pungutan, serta lebih bersih karena tak ada kotoran burung merpati.

Burung-burung merpati Pak Mantri memang membuat ulah. Bukan hanya pedagang yang berkeluh kesah, Zaitu yang sehari-hari berada di dalam kantor bank pun demikian. Pernah suatu saat Zaitun menggoreng burung merpati itu dan memberikan pada Pak Mantri. Pak Mantri awalnya tidak menyadari bahwa itu daging burung merpati, bukan ayam seperti asumsinya. Edyan!

Konflik ditutup dengan sadarnya priyayi akan keangkuhan dirinya. Pak Mantri sadar, musuhnya bukan lagi Kasan Ngali yang pada akhir cerita malah bangkrut. Dia sadar bahwa musuhnya adalah nafsunya sendiri. 

"Inilah, Nak. Kita menang, tanpa mengalahkan. Kita sudah bertempur tanpa bala tentara. Mengapa, musuh kita adalah kita sendiri. Di sini. Nafsu kita. Dan kita sudah menang!" -- hlm 355.

Kesan
Tiap buku memiliki kesan yang berbeda. Kesan saya membaca buku yaitu....buku ini masuk dalam DAFTAR-BUKU-YANG-HARUS-DIBACA-DALAM-HIDUP! Keren! Cara Kuntowijoyo merekam dan mengulas nilai-nilai yang ada sangat santai dan tentunya mengena! Saya begitu terpukau dengan nilai-nilai yang disisipkan dalam tiap percakapan antartokohnya.

Pesan yang disampaikan juga banyak menyentil perilaku dan watak orang Jawa secara umum. Misalnya yang mencari aman, tidak mau menanggung risiko, dan mau ambil enaknya saja.

Menurut saya, tiap tokoh di sini mengalami pendewasaan masing-masing. Dari Pak Mantri yang priyayi akhirnya mau merendah, tidak terlalu meninggi. Mau mendengarkan masukan dari orang lain, yang dalam hal ini adalah Paijo.

Paijo yang mewakili rakyat jelata akhirnya berani ambil suara, tidak selalu mengiyakan perkataan Pak Mantri, serta lebih cerdas. 

Siti Zaitun akhirnya harus berhenti menjadi juru ketik Bank Pasar dan memilih hengkang ke kota. Ini sangat mewakili apa yang terjadi di birokrat. Kalau kaku, akan tersingkir. Semoga birokrat di negeri ini bisa berkaca pada Siti Zaitun ini (terutama judesnya itu!).

Bagaimana dengan Kasan Ngali? Keserakahan dan kecerobohan pedagang kapitalis akhirnya kembali pada dirinya. Bank kredit pasarnya tutup, dia juga batal nikah. Sungguh ironis.

Jadi dari keempat tokoh itu, kepada siapakah tampuk kepemimpinan pasar akan dilanjutkan? Baca sendiri ya bukunya~
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Saya sadari ya, kalau saya menua. Iya, tahun ini menginjak usia 23 tahun. Senang, sedih. Suka, duka. Takut, marah. Cemas, puas. Semuanya sudah saya rasakan dalam rangka merayakan usia perak bertajuk #QuarterLifeCrisis ini.

Di usia ini saya sudah bekerja, tidak mengharapkan apa-apa kecuali bisa mengulang kembali masa-masa kuliah. Dan saya ketagihan akan masa-masa itu. Masa-masa dimana masih menjadi gembel, namun sekarang sudah meningkat statusnya menjadi gembel premium. Ya, cuma itu.

Tapi, yang jelas, perubahan mental terjadi. Namun, bukan revolusi mental Pak Jokowi. Atau kalau disebut demikian ya....monggo.

Jadi, sejujurnya saya belum siap dipanggil "bapak".

Lah?

Lantas kalau belum siap dipanggil bapak, maunya dipanggil apa? Ibu? iya pengennya jadi ibu aja.

Masa-masa memasuki bapak-bapak. Padahal saya berharap akan dipanggil "mas". Ini langsung dipanggil "bapak". Ya, meski bukan rekan-rekan kerja yang memanggil demikian, nampaknya saya butuh waktu untuk dipanggil "bapak". Toh saya tidak boros-boros amat, kan wajahnya?

Ternyata, bukan saya juga yang merasa demikian. Mbak Sofia juga mengalami hal yang sama. Dia menuliskannya di sini. Dan saya sok kenal dengan Mbak Sofia dengan memanggilnya "mbak", bukan ibu. Duh!

Saya juga terinspirasi menulis artikel ini dari Mbak Sofia juga. Dia juga merasa tidak, atau dalam kasusnya, belum siap dipanggil ibu.

Saya tidak tau ini fenomena apa. Yang jelas, saya merasa risih dipanggil bapak.

Panggilan bapak ini, pertama saya rasakan saat dua pertemuan, semacam lokakarya gitu. Otomatis, sebelumnya saya harus berhubungan dengan panitia melalui surel. Karena tidak pernah bertemu, akhirnya saya pun dipanggil "bapak" selama berkorespondensi dengan para panitia itu. Huft.

Ya, menua itu pasti. Saya pun lambat lain dipanggil om oleh krucil-krucil yang tinggal di sekitar kantor di Ternate ini. Duh, merasa menua sekali.

Ini cuma masalah waktu, dan saya harus terbiasa. Dari panggilan "mas" menjadi "bapak", semua berproses. Dan inilah prosesnya, sakit tapi tidak berdarah....


Ini lebih parah wkwk via google

Share
Tweet
Pin
Share
2 comments
Saya benci ketika harus menulis, dan berakhir dengan tanda khusus, yakni draft. Menjadi distraksi tersendiri bagi saya, apalagi itu sudah berbulan-bulan lamanya. Seperti ini misalnya.


Draft yang mengganggu via Dokumentasi Pribadi

Pun saya tidak bisa menulis karena merasa terdistraksi dengan warna oranye saat masuk ke tab "post" di blogger. Karena malas duluan, maka saya memutuskan untuk menutup tab blogger, dan memilih pergi berselancar ke situs yang lain. 

Ternyata tidak hanya saya yang gedek dengan draft ini, teman saya di Twitter juga. Ini buktinya:


Kzl juga siy via Dokumentasi Pribadi


Kayaknya, saya sedikit punya OCD ya? Sepertinya memang iya. 

At the end of the day, menulis memang harus saat itu juga dituntaskan, menurut saya. Tidak bisa tidak. Harus fokus, tidak boleh ada distraksi agar supaya tidak terbuang dan menjadi draft. 

Sekian.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kemarin, hari Kamis, 9 Juni 2017, saya berulang tahun. Setidaknya itu menurut standar umum. Saya lantas bertanya, memang makna ulang tahun itu apa?

Memaknai ulang tahun pasti berbeda-beda setiap orang. Ada yang bermakna bertambah usia, berkurang usia, (seharusnya) menjadi dewasa, dan lain sebagainya. Untuk saya sendiri, apa itu ulang tahun?

Selamat ulang tahun! via Pinterest


Dari pemaknaan kebahasaan (menurut saya), ada dua kata di sini yaitu ulang dan tahun. Tahun yang berulang? Mungkin. Saya sedang malas mencari kenapa akhirnya disebut ulang tahun. Akhirnya, saya merasa ulang tahun yaitu keadaan dimana kita mengulang tanggal dan bulan di tahun-tahun berikutnya dalam hidup kita. Ngomong-ngomong, kenapa tidak ulang tanggal atau ulang bulan ya? Karena kemungkinan jika terlalu sering mengulang tanggal dan bulan, sehingga akan mengalami kebosanan. Selain itu, apabila dirayakan sangat tidak ekonomis karena membuat pengeluaran tiap bulannya. Oke, setidaknya itu menurut saya.

Pemaknaan ulang tahun bisa jadi berbeda, merayakannya juga bisa jadi berbeda. Ada yang dengan mengundang teman, atau hanya mengundang keluarga dan teman dekat. Ada yang meriah, ada yang khidmat. Ada yang diberi kejutan, ada yang malah memberi kejutan. Dan ada juga yang tidak dirayakan, itu semua tergantung.

Lalu, apa hasil refleksi ulang tahun saya yang kedua puluh tiga ini?

Saya berpikir, kalau tubuh kita sebenarnya melakukan proses yang berulang-ulang. Tanpa diingatkan, tanpa diatur, dan tanpa diperintah. Secara teknis, tubuh kita memperbarui terus-menerus dan berulang. Mereka tidak kenal satuan waktu. Tidak kenal apa itu sekon, apa itu bulan, apa itu tahun. Dia membelah berulang kali, hingga menjadi kita yang baru setiap. Jadi, masihkah berulang tahun menjadi sesuatu yang spesial? Masihkah berulang tahun merasa menjadi diri kita baru sementara sel-sel di dalam tubuh kita bekerja memperbarui kita tanpa henti?

Jika Anda tanya saya, maka jawabannya adalah tidak.

Penting untuk diingat, sepertinya makna ulang tahun bukan sekadar bertambahnya atau berkurangnya usia. Saya memaknainya dengan pertanyaan kepada diri saya sendiri: "sudah sejauh mana kamu melangkah? Apakah ini jalan yang kauinginkan?". Ya, terkadang bertanya menjadi hal krusial yang penting ditanyakan pada diri sendiri..

Hal yang menjadikan hari ulang tahun terasa spesial yaitu surprise yang kadang muncul. Sesuatu di luar dugaan kita, yang beruntungnya, membuat kita bahagia. Karena selain teringat akan ulang tahun kita, kita juga merasa mendapat apresiasi dari lingkungan pertemanan kita. Hingar-bingar kejutan, apalagi mendapat kejutan yang memang kita idam-idamkan sangatlah menyenangkan. Meskipun saya belum pernah diberi kejutan yang "wow" dan tidak terlupa.

Akhirnya, selamat ulang tahun kepada diri saya sendiri. Suatu bentuk apresiasi kepada diri sendiri, terhadap apa yang sudah saya lakukan selama 23 tahun. Tidak akan sampai fase ini tanpa campur tangan dari orang tua, keluarga, sahabat, guru, serta orang-orang lain yang membantu hingga saat ini.

Sekali lagi, selamat ulang tahun Afrizal Maulana Abdi!



Agar suasananya tidak terlalu kelam, mari ceriakan tulisan kali ini dengan berdendang bersama Postmodern Jukebox!



Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kopi mendekatkan kita via akun instagram Coffeetarian 

Agak susah menurut saya mencari kedai kopi di Ternate. Mau cari angkringan seperti di Jawa, apalagi. Jadilah di awal-awal kepindahan saya di sini membawa kopi sendiri dari rumah.

Saya sendiri tidak terlalu fanatik kopi ya, bukan penikmat garis keras juga. Cuma setidaknya saya tau perbedaan kopi arabika dan robusta. Apa itu coffee speciality. Berapa perbandingan susu di latte dan cappucino. That's it.

Jangan lupa ngopi via funnygasm.com

Setelah sebulan di sini, akhirnya saya menemukan satu representasi kedai kopi seperti di Jawa, coffee shop hits lah istilah alaynya. Jadi, si empunya ini ternyata bukan orang asli Ternate, tapi pendatang seperti saya. Namanya Bang Rio, dari Makassar. Sebelumnya kedai kopinya ada di dekat kantor, Jati Perumnas. Tapi sekarang dia mendirikan kedai baru di lokasi yang agak jauh dari kantor. Akhirnya, saya ke sana.

Istilah yang umum di kedai kopi via Huffington Post


Di kedai barunya yang sudah lebih dari dua minggu soft opening, saya lebih menikmati. Kenapa? Karena tempatnya tidak terlalu besar, tapi hangat. Hangat karena percakapan antar staf kedai yang ramah. Sebuah privilege tersendiri pastinya.

Malam Minggu kemarin, saya akhirnya pergi ke Coffeetarian, nama kedai kopinya. Di situ saya langsung disapa oleh Bang Rio sendiri. Terlihat dia sedang sibuk mengutak-atik gawainya. Sudah saya tebak kalimat yang bakal dilontarkan pertama kali "lama ga keliatan Mas Abdi".

Akhirnya malam itu saya putuskan untuk memesan kopi toraja sesean dengan metode french press. Tidak ada yang bisa mengalahkan after taste kopi arabika menurut saya, sensasi asam di lidah tidak akan terganti. Lagi pula saya juga mengantisipasi naiknya asam lambung, yang biasa muncul setelah minum kopi robusta. Ampun!

Untung ada buku via dokumentasi pribadi

Sebuah kemajuan menurut saya, di suatu kedai kopi (dimanapun) ada buku yang menunggu untuk dibaca. Begitu juga malam itu yang saya habiskan dengan membaca novel Critical Eleven karya Ika Natassa. Such a perfecto <insert a cup of coffee emoji here>.

Malam mulai larut, selarut gula dalam kopi. Kedai tinggal satu dua orang. Akhirnya kami bersatu, dari yang tidak kenal akhirnya kenal. Termasuk Bang Rio yang turut bergabung dalam meja yang sudah disatukan itu. Kata Bang Rio, dia suka buka bisnis seperti ini. 

Soalnya bisa mengamati tingkah laku orang-orang minum kopi, selorohnya.

Dia pun bercerita, tiap orang punya kebiasaan tersendiri saat minum kopi.

Ada yang selalu sendirian datang ke kedai, selalu memesan yang dingin-dingin meski saat itu cuaca sedang dingin. Mau cuaca hujan, badai, hujan salju, dia selal memesan menu yang dingin.

Ada yang tidak berhenti merakit gunpla (figur robot Gundam) sebelum rakitannya selesai. Merakit butuh kesabaran, sembari menunggu kepulan asap kopi menguap, lebih baik membunuh waktu dengan merakit, bukan?

Ada yang memesan menu tanpa menghabiskan, sudah memesan lagi. Akhirnya, Bang Rio bilang "bayar segini aja mbak".

Dan ada pula orang yang memakan ampas kopi setelah kopinya habis *bercermin*. Kebiasaan aneh saya. Karena saya tidak terlalu suka yang manis-manis, akhirnya ampas kopi di dasar alat french press saya jadikan cemilan. Meski french fries yang saya pesan masih ada. Hehe.

Sampai masuk insta-story segala via dokumentasi pribadi

Malam itu akhirnya saya pamit pulang lebih dahulu. Pukul 01.00 WIT saya beranjak dari konferensi meja yang digabung itu. Tidak perlu neko-neko bermalam minggu bersama pacar, kalau rame-rame lebih seru, 'kan?

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kisah ini jadi semacam pertanda menurut saya, pertanda kematian seseorang yang tidak wajar. Sudah tahu kan kalau alam juga berbahasa?

Jadi, beberapa hari yang lalu tepatnya pada weekend di Ternate sendiri cuaca sedang buruk. Hujan dan berangin. Mendung menutup sang surya untuk membagi-bagikan cahayanya. Agak mencekam menurut saya, selain tidak bisa jemur pakaian juga. Bagi anak kos seperti saya, ini bukan pertanda baik. Apalagi harus berurusan dengan pakaian yang tak kunjung kering, dan berpotensi apak.

Tanda-tanda alam seperti ini merupakan pertanda. Orang-orang di Ternate sudah tahu itu. Apabila terjadi hujan dan angin setidaknya tiga hari berturut-turut, maka akan terjadi pembunuhan. Sebenarnya bukan cuma pembunuhan, tapi terkadang juga bunuh diri. Sadis ya?

Dan benar saja, terhitung kemarin, 26 April 2017 langit mulai cerah. Tiada mendung, tiada tanda-tanda hujan. Hasilnya? Benar saja, terjadi pembunuhan di Tidore, kata rekan kerja saya. Sialnya hari itu saya tidak membeli koran untuk membuktikannya.

Setidaknya -bersama kemarin- saya sudah merasakan dua kali pertanda ini. Yang satunya di Februari lalu. Ada hujan, ada angin ribut. Setelah diselisik ternyata ditemukan mayat yang gantung diri di kamarnya.

Memang agak sulit diterima nalar, apalagi kejadian ini sudah berulang kali terjadi. Sudah menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat di sini dengan hadirnya pertanda tadi.


Gunung Gamalama mengeluarkan asap via Tempo

Sebenarnya pertanda-pertanda seperti ini juga ada di daerah lain, tapi dengan versi yang berbeda. Pengetahuan lokal biasa yang menjembataninya, mungkin bisa masuk kearifan lokal. 

Misalnya bagi yang tinggal di lereng gunung berapi, turunnya satwa-satwa liar ke pemukiman bisa diartikan sebagai aktivitas vulkanik gunung. Hal ini wajar, karena biasanya salah satu tanda gunung meletus yaitu naiknya suhu di sekitar kaldera. Karena suhu yang meningkat, satwa tadi mau tidak mau harus berpindah ke tempat yang lebih nyaman. 

Saya jadi berpikir, di tengah isu pemanasan global ini, akankah pengetahuan seperti ini akan tetap lestari? Karena biasanya, pengetahuan semacam ini sifatnya terbatas dan spesifik lokasi. Terbatas pada penghuni wilayah, dan spesifik pada karakteristik geografisnya. Akankah?
Share
Tweet
Pin
Share
4 comments

Sampul depan buku Gerbang Dialog Danur karya teh Risa via tokopedia.com


Dalam rangka rilisnya film Danur: I Can See Ghosts, yang terilhami dari buku berjudul Gerbang Dialog Danur karya teh Risa Saraswati, vokalis band indie Sarasvati, maka saya ikut menuliskan perhatian saya terhadap karya ini.

Share
Tweet
Pin
Share
2 comments
Program #1bulan1buku sudah memasuki bulan keempat, sejak hiatusnya program itu dari kebiasaan rutin saya. Memang, bulan-bulan sebelumnya buku apa? Kok tidak ditulis? 

Buku sebelumnya yaitu Supernova #3, #4, dan #5, sebenarnya. Saya tidak berniat untuk mengulas karena saya kira sudah banyak. Lagi pula, saya membaca di saat semua sudah moksa ke Asko, sedangkan masuk angkatan terakhir yang tau Asko itu apa. Ya sudah, akhirnya saya meresensi buku ini saja.


 Tampak depan buku Rabu Rasa Sabtu



Biodata buku:
Judul: Rabu Rasa Sabtu
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama 
Tahun: 2015
Jumlah halaman: 240

Di sampul belakang buku tertulis:
Seorang gadis bernama Ayang menderita kelainan batuk, sebenarnya karena dikutuk setiap kali dipeluk. Nasib Ayang benar-benar malang. Ia menderita. Setiap kali batuk satu giginya tanggal, hingga akhirnya ia ompong. Pandangannya kosong. Untuk mengganti giginya yang tanggal, dipasang gigi anjing. Tapi suara Ayang jadi melengking....

Kutipan di atas ada dalam buku ini. Tapi itu bukan cerita yang sesungguhnya, karena kejadian membentuk ceritanya sendiri. Setiap kata mengajak kata yang berdekatan, lalu ada kalanya bergenit menyaru sebagai puisi, atau berusaha membentuk kalimat. Misalnya bahwa Ayang sudah ditentukan umurnya--meskipun mati karena batuk kurang dramatis, dan ada lelaki yang suka menggendong, mencintainya, walaupun Ayang tinggal separuh.
Barangkali itu terjadi karena Rabu selalu bergegas ke arah Sabtu yang selama ini menunggu.

Intro
Buku ini merupakan karya dari Arswendo Atmowiloto yang pertama kali saya baca. Sebelumnya saya cuma mendengar nama Arswendo, belum tau karya-karya beliau seperti apa. Ternyata setelah menelusuri Mbah Google, ternyata beliau juga menulis untuk Keluarga Cemara, yang adegannya saya tidak ingat jelas seperti apa.

Buku ini terdiri dari tiga bagian, yaitu:
  1. Bagian pertama - Aku Mencintaimu, Kalaupun Kamu Hanya Separuh
  2. Bagian kedua - Mencari Buaya Putih
  3. Bagian ketiga - Kematian dan Kelamin itu Kekuasaan Tuhan
Membaca halaman pertama dari bagian pertama adalah hal terbosan saya dengan buku ini. Saya sudah hampir menyerah dan sudah membuat saya ingin berhenti. Namun, saya tetap paksakan karena sayang dengan uang sudah saya keluarkan.

Tapi, lembar berganti lembar saya malah dibuat penasaran. Saya suka susunan kalimat yang membentuk rima, sudah mirip puisi saja. Saya kira beliau memang menuliskannya seperti puisi.

Mama Tera bisa bicara tajam, namun selalu memilih diam. Sebagian masyarakat hanya mengenalnya sebagai perempuan dengan wajah muram, semata karena kedua alis kiri-kanan seakan dipersatukan. -- halaman 19.

Bagian pertama bercerita tentang latar belakang Wayang Supraba, tokoh sentral dalam buku ini. Berikut perkenalan dengan tokoh utama lain yaitu Jalmo. Bagaimana mereka bertemu, dan keduanya tak sengaja saling jatuh hati. Demikian pula dengan ayah-ibu Wayang yang merestui hubungan keduanya.

Bagian kedua merupakan babak baru dimana Way --panggilan Wayang-- dan Jalmo berkelana menuju ke Sungai Eretan, dimana di sana ada buaya putih. Dan, bagian ini menceritakan tentang kampung yang sepi sebelum kedatangan Way dan Jalmo, dibuat ramai karena kedatangan keduanya.

Bagian ketiga adalah bagian terungkapnya masa lalu Jalmo, kepada siapa Way "bernafsu", dan serpihan ingatan Jalmo tentang teman masa kecilnya.

Interlude
Ya, sebagai pengalaman pertama membaca buku Arswendo, saya menilai buku ini unik. Selain karena dipenuhi diksi, kalimat dalam buku ini bisa diterima oleh orang awam seperti saya. Lagi, buku ini sangat vulgar, tidak cocok untuk dibaca bagi yang belum ber-eKTP. Banyak adegan enaena-nya.

Selain itu, di sini Arswendo bermain-main dengan definisi waktu. Saya jadi ingat buku Supernova: KPBJ, kalau manusia itu menciptakan konsep waktu dan ingin memiliki kuasa untuk waktu. Maka dibuat standar waktu 24 jam per hari, supaya manusia bisa memiliki kuasa untuk bekerja, makan, dan beraktivitas yang lain. Kira-kira mirip seperti itulah apa yang disampaikan beliau di buku ini.

Di buku juga ada istilah baru, misalnya selaksa yang artinya sepuluh ribu kali, dan daksa yang berarti tubuh. Buku ini sejak awal menyinggung masalah homoseksualitas, sedikit. Jangan dikira homoseksualitas ini cuma terbatas pria menyukai pria, tapi lebih luas.


Tampak belakang buku Rabu Rasa Sabtu

Penokohan
Tokoh di buku ini tidak terpusat pada duo Way-Jalmo. Tapi ada juga kisah keluarga angkat Jalmo yang menurut saya seperti Dimas Kanjeng, sama-sama tukang tipu. Tapi orang tua angkat Jalmo menipu dalam hal pengobatan.

Ada pula Pak Efendi yang apesnya, diPHK gara-gara Jalmo. Entahlah, cerita Pak Efendi membuat saya gemas karena dia juga orang yang sudah jatuh, tertimpa tangga, lalu dipatuk ular, masih digigit buaya lagi. Sialnya beruntun, tapi akhir kisahnya menggantung.

Kisah teman masa kecil Jalmo yang diketahui mengidap kanker menarik buat saya. Dari nama dua kawannya yang mirip, hingga akhirnya diketahui siapa yang menggambar Rajawali Gila.

Outro
Sebagai penutup, buku ini sangat menarik untuk dibaca. Meski banyak adegan yang vulgar, tapi bukan itu topik utamanya. Sayat tak menyangka Jalmo dan Way akan berakhir demikian, biarlah proses membaca buku ini yang menjadi penilaian pada akhirnya.

"Mo, aku mau kau nakal lagi".
"Mauuuu. Yuk."
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kemarin, saya mengunggah foto di akun Instagram saya, saya menuliskan caption tentang ruang sendiri. Karena waktu itu saya tidak punya kutipan atau kata-kata yang layak dijadikan caption, maka saya menuliskannya dengan random.

Tenang, tulisan kali ini bukan tentang pemaknaan lagu Ruang Sendiri karya Tulus, namun lebih ke apa yang saya butuhkan, terkadang.


Video klip lagu Ruang Sendiri
Share
Tweet
Pin
Share
2 comments
Bulan Februari memang cuma 28 hari, tapi edukasi tidak berhenti!

Di tulisan sebelumnya saya menuliskan tentang kepindahan saya ke Ternate ini. Sekarang setidaknya tamu-tamu pembaca sudah paham kan mengenai pekerjaan saya? Yup, seorang juru kampanye newbie yang selalu mencoba belajar.



Ditangkap so tara boleh, apalagi ngana pelihara di ngoni pe rumah, tara boleh lagi!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Well, finally I push myself to write in English. First of all, I have tried several times but it ends in "draft" or even worse, I deleted it. I think that write in English is a hard try, since I am a perfectionist person who do not tolerate any kind of mistake. Finally, here I am, I did it!


From here



When it comes to writing activity, I am quite passionate about it. I start my first journal on blog almost six years ago. When I was in senior high school. I remember how I write alay version of my life. Fortunately, the platform that I used is unavailable now (halleluya!). Well, forget it. My first blog is a random dairy which can makes you throw your stomach up. LOL.

Friends of mine always ask me, what are you doing in Ternate?


I simply answered: I am working here. 

The thing is, my friends are not quite satisfied when I answered such question. Therefore I write down those frequently asked questions. Here we go!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Ini merupakan lanjutan dari tulisan saya pada bagian pertama. Silakan dibaca!


Dari instagram @ternateheritage

****

Sebelum menuju ke Bastion Real, kami main game dulu. Saya lupa apa namanya, tapi mirip dengan game "Kehilangan Habitat" di P-WEC. Tidak sampai gendong-gendongan sih, mungkin karena panitia tau kami -peserta- masih jaim. Ya sudah, yang penting ada gelak tawa juga di sini!

Tempat game atau ice-breaking ini dulunya merupakan tembok belakang benteng. Namun entah kenapa (baca: tanpa ada alasan yang jelas) akhirnya dibongkar jua. Asumi yaitu dulu bagian belakang yang terletak di arah barat ini berdekatan dengan Kesultanan Ternate. Kompeni Belanda lebih kooperatif dibanding Kompeni Portugis, jadi buat apa memagari benteng yang berbatasan dengan kawan sendiri? Jadilah tembok belakang ini dibongkar.


Kartu keempat yang dibagikan, side A


Kartu keempat yang dibagikan, side B

Keunikan Benteng Oranje yang lain yaitu adanya parit yang melintang. Fungsi parit ini bukan sekadar drainase, melainkan bagian dari taktik pertahanan dari musuh. Parit dibuat lebar dan panjang menyesuaikan benteng, fungsinya agar musuh enggan atau terhalang saat memasuki benteng. Selain itu juga ada jembatan yang fungsinya sebagai penghubung satu-satunya antara benteng dan laut (ingat dulu di depan Benteng Oranje ini berbatasan langsung dengan laut).

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Akhirnya hari yang ditunggu pun tiba! Acara ini merupakan rangkaian acara yang dimulai pada tanggal 3, 4, dan 5 Februari 2017. Penyelenggara acara ini yaitu Ternate Heritage Society atau yang dikenal juga dengan sebutan THS, sebuah organisasi nirlaba dari Kota Ternate. Sudah jelas kan dari namanya organisasi ini bergerak di bidang apa? Organisasi ini bergerak pada bidang pelestarian dan pendidikan pusaka yang ada di Ternate.

Saya mengetahui acara ini dari akun instagram THS, seminggu sebelum acara dimulai. Saya sangat antusias karena ada jelajah benteng. Kita sudah tahu kan kalau Ternate dan wilayah-wilayah sekitarnya merupakan saksi bisu sejarah dari perdagangan rempah-rempah? Nah, di situ saya ingin menggali lebih dalam tentang benteng atau pun sejarah yang ada dibaliknya.


Flyer #FestivalPusakaTernate via akun  instagram @ternateheritage

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sudah ada yang pernah nonton video seorang siswa SD yang disuruh menyebut nama ikan oleh Pak Jokowi? Yha. Video itu sedang viral. Poor him.

Namanya juga netizen, seketika banyak meme-meme (dibaca mém ya, bukan mémé!) bermunculan terkait anak tersebut. Meski tidak bernada mengejek, atau melecehkan ada saja sisi lain dari suatu peristiwa. Setidaknya kita punya dua atau lebih versi cerita. Jadi begini....

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Halo! Saya sedang bernafsu untuk menulis, maka saya menulis! Scribo ergo sum, saya menulis maka saya ada. Begitulah quote ciptaan saya sendiri, yang diganti dari opto ergo sum di buku Supernova.

Jadi, saya sekarang bisa membaca “petir” dan “partikel”. Sebuah hal yang sudah banyak orang lakukan. Hah?! Kok bisa? Ya, karena yang saya baca adalah dua onggok buku. Bukan petir dan partikel secara sungguhan loh ya. Gila aja saya bisa membaca petir, emang saya pawang petir kaya si Etra?

Petir dan Partikel

Saya membaca buku karangan Ibu Suri Dee. Baru baca sekarang sih, lebih tepatnya. Si Petir, sudah sampai di rumah bulan (tahun) lalu malah. Si Partikel saya beli ketika mampir di Gramedia waktu di Malang. Lengkap sudah saya seperti dukun yang bisa membaca petir, sekaligus partikel.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Judulnya sok-sokan pake bahasa Perancis. Diajak pake bahasa Perancis lu tong jawabnya lagu Reste Avec Moi-nya mbakyu Danilla mampus!.

Entah sepertinya 2017 datang seperti tiba-tiba. Berderap bak kavaleri yang bergerilya(?) Kok bisa? 


Comment vas-tu?
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Valar morghulis

About Me

Me, is an enigma --for you, for the universe and for I myself. I write what I want to write. Scribo ergo sum. I write, therefore I am.

Follow Me

  • spotify
  • goodreads
  • SoundCloud

Hot Post

Maester's Chamber

  • ►  2024 (1)
    • ►  Maret 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Januari 2023 (1)
  • ►  2022 (2)
    • ►  April 2022 (1)
    • ►  Januari 2022 (1)
  • ►  2021 (5)
    • ►  Oktober 2021 (2)
    • ►  Juli 2021 (1)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (1)
  • ►  2020 (38)
    • ►  Oktober 2020 (2)
    • ►  September 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (2)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (18)
    • ►  Januari 2020 (12)
  • ►  2019 (9)
    • ►  Desember 2019 (1)
    • ►  November 2019 (2)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Juli 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (2)
    • ►  Februari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  September 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (2)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Maret 2018 (1)
    • ►  Januari 2018 (1)
  • ▼  2017 (21)
    • ▼  November 2017 (2)
      • Menjadi (Sedikit) Introver
      • Freshgraduate Bekerja di NGO? Kok bisa?
    • ►  September 2017 (3)
      • Merasa Nyaman Hidup di Daerah Rawan Bencana
      • Perbedaan Anak Yang (Pernah) Merantau dan Yang Bukan
      • Pemandangan Rute Penerbangan Ternate (TTE) - Labuh...
    • ►  Agustus 2017 (1)
      • Menilik Pewarisan Nilai-nilai Leluhur Jawa dalam P...
    • ►  Juli 2017 (2)
      • Menuju Bapak-bapak
      • Terdistraksi
    • ►  Juni 2017 (1)
      • Refleksi Hari Ulang Tahun
    • ►  Mei 2017 (1)
      • Cerita dari Sebuah Kedai Kopi
    • ►  April 2017 (1)
      • Sepotong Kisah dari Tanah Empat Gunung - Potongan ...
    • ►  Maret 2017 (4)
      • Gerbang Dialog Danur: Seharusnya Ditulis Pieter, B...
      • Membaca Rabu Rasa Sabtu, Karya Arswendo Atmowiloto...
      • Tolire Kecil dan Ruang Sendiri
      • Bulan-bulan Penuh Edukasi
    • ►  Februari 2017 (3)
      • 5W + 1H: What am I actually doing in Ternate?
      • Mengikuti #FestivalPusakaTernate (Bagian 2)
      • Mengikuti #FestivalPusakaTernate (Bagian 1)
    • ►  Januari 2017 (3)
      • Disleksia dan Ikan K*nt*l
      • Disentuh Petir dan Partikel
      • Comment vas-tu, 2017?
  • ►  2016 (10)
    • ►  Desember 2016 (1)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  Oktober 2016 (1)
    • ►  Agustus 2016 (1)
    • ►  Juni 2016 (1)
    • ►  Mei 2016 (1)
    • ►  Maret 2016 (2)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (22)
    • ►  Desember 2015 (4)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  Oktober 2015 (1)
    • ►  September 2015 (1)
    • ►  Agustus 2015 (6)
    • ►  Juli 2015 (2)
    • ►  Juni 2015 (2)
    • ►  Mei 2015 (2)
    • ►  Maret 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (1)
  • ►  2014 (5)
    • ►  Desember 2014 (1)
    • ►  September 2014 (4)

Tags

acara berjalan-jalan dapur kamar renungan kamar tengah kotak musik perpustakaan ruang tengah taman belakang

Created with by ThemeXpose