• Home
  • Author
  • Send a raven!
spotify goodreads SoundCloud

Huis van Abdï

Diberdayakan oleh Blogger.
Saya termasuk orang yang tertarik pada bacaan yang bertema kebiasaan, nilai, tradisi serta kebudayaan suatu etnis. Sebut saja sampai sekarang saya masih tekun membaca buku Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940. Selain itu, saya juga membaca Pasar, yang menceritakan bagaimana nilai-nilai Jawa diturunkan. Buku itu ditulis oleh Kuntowijoyo sudah sudah saya ulas di sini.

Kali ini saya akan mengulas buku Tarian Bumi karya Oka Rusmini, yang mengangkat budaya Bali. Kita semua sudah tahu pasti bahwa Bali, tidak bisa lepas dengan adat-istiadatnya yang mengakar. Menjelma dalam tingkah laku keseharian, sehingga banyak yang akhirnya tertarik, dan tentu kagum.

Namun dibalik itu, selalu ada kisah yang jarang dibicarakan. Kisah itu dirangkum oleh Oka Rusmini dengan apik dalam buku yang diterjemahkan menjadi "Earth Dance" ini.

****


Judul: Tarian Bumi
Penulis: Oka Rusmini
Cetakan: Ketiga, Maret 2017
Tebal: 176 halaman
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama





Sampul depan Tarian Bumi via dokumentasi pribadi




Menjadi perempuan tidak selalu mudah, apalagi seperti Luh Sekar. Luh Sekar adalah seorang perempuan dari kasta Sudra yang berambisi "keluar" dari lingkaran kemiskinan, dan hidup penuh hingar-bingar kemewahan. Nyatanya, ada hal-hal yang harus ia korbankan untuk keluar dari kehidupannya.

Hidup Luh Sekar muda penuh penderitaan yang tak berkesudahan. Ayahnya tak tau rimbanya setelah dituduh ikut PKI. Luh Dalem, ibunya dirampok, disiksa hingga matanya buta serta diperkosa oleh sekelompok lelaki. Ibunya kemudian hamil. Luh Sekar juga harus menahan gunjingan warga desa ketika ia mendengar kasak-kusuk bahwa Luh Kerta dan Luh Kerti, adik kembarnya merupakan anak haram.

Ambisi Luh Sekar adalah menjadi penari terkenal, menjadi pragina(1). Namun hal ini ditentang oleh Luh Kenten, teman satu-satunya Luh Sekar. Ia bersikeras agar Luh Sekar jangan sampai menjadi penari, karena sebenarnya....Luh Kenten menyukai Luh Sekar. Ia cemburu apabila ada orang lain baik perempuan maupun laki-laki yang memandang tubuh molek Luh Sekar ketika menari.

Seiring berjalannya waktu, Luh Sekar menjadi pragina di sekehenya(2). Menari dari satu kampung ke kampung lain, menyebabkan pengibing(3) manapun tak percuma menyelipkan saweran di kembennya. Hingga suatu waktu, ia membidik Ida Bagus Ngurah Pidada, anak bangsawan yang sering menyawer saat Luh Sekar menari.

Luh Sekar membuat Ida Bagus Ngurah Pidada bertekuk lutut, hingga suatu hari Luh Sekar diajak bertemu calon ibu mertuanya. Ida Ayu Sagra Pidada sangat tidak menginginkan anaknya menikahi "Ni Luh", calon menantunya haruslah "Ida Ayu" seperti dirinya. Luh Sekar sudah bulat tekadnya agar suaminya seorang lelaki Brahmana. Tak patah arang, Luh Dalem mencarikan jalan agar Luh Sekar dipersunting oleh bangsawan itu. Hingga ia berhasil dinikahi seorang Ida Bagus.


****

Isi buku ini tidak hanya berpusat pada Luh Sekar saja. Cerita berlanjut saat ia hidup di griya(4) dan harus menjadi bangsawan. Bagaimana Luh Sekar harus mengalami hari-hari yang keras karena dominasi Ida Ayu Sagra Pidada. Ada yang unik yaitu ibu mertuanya --secara adat-- menggantikan posisi ayah mertuanya. Sang istri menjadi suami, dan suami menjadi istri. Itulah sebabnya Ida Bagus Tugur, bapak mertua Luh Sekar lebih diam ketimbang ibu mertuanya.

Cerita Ida Ayu Telaga Pidada, anak Luh Sekar juga menarik. Bagaimana ibunya menjadikan ia sebagai penari. Penari yang tentu berbeda dengan ibunya karena Telaga menjadi penari saat ada upacara adat. Didatangkannya Luh Kambren, guru tari terbaik di Bali, yang juga menyimpan kisah kelam.

Di griya, Telaga juga menemui cinta pertamanya. Seorang Sudra yang mengabdi pada kakeknya. Akhirnya pergulatan batin menemui Telaga. Yakinkah ia bahwa seorang Sudra bernama Wayan Sasmitha itu laut yang akan dia arungi?

Buku ini tentunya sangat menarik karena banyak mengeksplorasi pakem-pakem dan aturan di masyarakat Bali, yang sedikit sekali kita ketahui. Selain itu, Oka Rusmini menggunakan banyak sudut pandang yang berbeda-beda. Kita diajak berganti tokoh. Menjadi tokoh Sudra, tokoh Brahmana. Menjadi tokoh yang berambisi, menjadi tokoh yang open minded, lalu menjadi tokoh yang nrimo.

Tarian Bumi menceritakan bagaimana adat-istiadat begitu ingin didobrak. Misalnya saja saat Luh Kenten bergulat batinnya ketika mengetahui bahwa dia berbeda. Dia berbeda, karena dia perempuan yang menyukai perempuan. Entah karena apa, dia menyukai lekuk tubuh Luh Sekar. Saat paling menyiksa adalah ketika Luh Sekar bertelanjang di hadapan Luh Kenten. Tentunya ini menjadi pergulatan sendiri bagi Luh Kenten. Sayangnya Luh Kenten tidak diceritakan lebih lanjut, apakah dia hidup tanpa lelaki atau akhirnya menikah.

Kita juga disajikan bagaimana kemolekan Bali dieksploitasi oleh Barat. Sebutlah cerita tentang nasib nahas Luh Dampar, teman Luh Kambren yang menikahi orang Jerman. Luh Dampar ditemukan mati gantung diri di studio suaminya, Galeri Dampar.

Di studio itu, Luh Kambren menemukan banyak foto, kartu pos, lukisan Luh Dampar dalam keadaan tak berbusana. Suaminya menjadikan Luh Dampar model bagi karyanya, yang kemudian karya itu dia jual ke teman-temannya di luar negeri. Naah juga menghampiri suaminya, ia harus mati dipukuli orang sekampung.

Sampul belakang Tarian Bumi via dokumentasi pribadi

****

Awalnya buku ini sangat njlimet, dengan beberapa catatan kaki (meski tidak sebanyak Supernova). Hal ini berkaitan dengan istilah panggilan dalam keluarga Bali, dimana kasta menjadi penentu. Kapan memanggil ratu, tuniang, tukakiang, atau odah.

Namun bagi penikmat kebudayaan, buku setebal 176 halaman ini sangat patut untuk dibaca. Cara Oka Rusmini mendeskripsikan nilai, adat-istiadat, pakem budaya Bali sangat menggairahkan. Seperti saat upacara turun kasta, patiwangi menjadi penutup perjalanan perempuan di buku ini. 

Banyak yang mengatakan Tarian Bumi bercerita tentang mimpi-mimpi perempuan. Mimpi yang kadang berkebalikan dengan realitas. Dimana konsekuensi dipikir belakangan, asal ambisi terus berjalan. Perempuan yang juga direduksi kedudukannya karena sistem patriakhis.

Secara keseluruhan, saya memberi nilai 8,5 dari skala 10 untuk Tarian Bumi. Tipis namun kaya akan pengalaman di dalamnya.


Keterangan
(1). Pragina: secara harfiah adalah seorang performer
(2). Sekehe: berarti perkumpulan, dalam buku ini semacam kelompok kesenian
(3). Pengibing: penonton pria yang datang saat penari joged menari

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Judul: Pasar
Penulis : Kuntowijoyo
Tata sampul: Buldanul Khuri
Cetakan: Pertama, Februari 2017
Tebal: 378 halaman
Penerbit: DIVA Press dan Mata Angin


Pasar dalam genggaman via dokumentasi pribadi

Pasar. Judulnya unik, ilustrasi sampulnya juga menarik. Saya sendiri seperti ditatap oleh bapak tua, yang dalam buku ini adalah representasi saya atas tokoh Pak Mantri Pasar.

Tenang, buku ini bukan mengenai teori-teori ekonomi. Tidak ada hubungannya pula dengan ekonomi inklusif yang digaungkan Ibu Ani. Buku ini malah menceritakan proses pewarisan nilai-nilai Jawa dan perubahan sosial di sebuah kota kecamatan.


Sampul belakang dan "blurb" novel Pasar via dokumentasi pribadi

Selain itu, buku ini menceritakan mengenai benturan antartokoh yang mewakili kelas priyayi, rakyat jelata, birokrat, serta pedagang kapitalis. Pak Mantri Pasar mewakili kelas priyayi. Paijo, penagih karcis pasar mewakili rakyat jelata alias wong cilik. Siti Zaitun, pegawai Bank Pasar yang mewakili kaum birokrat. Dan yang terakhir yaitu Kasan Ngali, sebagai seorang pedagang gaplek yang mewakili pedagang kapitalis.

Membaca Pasar membawa kita pada suasana pasar tradisional. Suara penjual menawarkan barang, suara ibu-ibu tawar-menawar, kucing kampung tanpa tuan, serta yang unik dari Pasar-nya Kuntowijoyo yaitu merpati peliharaan Pak Mantri.

Penokohan
Dikisahkan Pak Mantri memiliki banyak burung merpati, lengkap dengan pagupon alias rumah merpati. Selain merpati, Pak Mantri juga memelihara columbidae lain yaitu burung puter. Seperti diketahui, orang Jawa itu tak lengkap rasanya bila tak memelihara manuk alias burung. Begitu pula Pak Mantri ini.

Ada pula Paijo, yang menagih karcis pungutan pasar. Selain menagih karcis,juga diperintahkan untuk mengurus burung-burung Pak Mantri. Misal memberi pakan, menjemur burung, membersihkan kotoran burung dan lain-lain. Tentunya Paijo yang hanya rakyat jelata menuruti perintah instruksi priyayi. Di sini terlihat jelas Paijo ini tidak pernah menolak apa yang diperintahkan oleh Pak Mantri.

Di Pasar juga hidup Siti Zaitun, seorang juru ketik Bank Pasar. Gadis ini sangat mewakili kaum birokrat yang "sangat efisien". Maksudnya, ya kalau bukan urusannya ya tidak akan dikerjakan. Sungguh monoton hidup Zaitun ini menurut saya. Selain itu wataknya juga judes. Zaitun merupakan tokoh wanita utama satu-satunya di novel ini.

Kaum kapitalis di Pasar ini adalah Kasan Ngali, yang digambarkan kaya raya layaknya pedagang pada umumnya. Punya segalanya, namun rumah tangganya tidak berjalan mulus. Di bagian terakhir buku ini malah dia ingin nikah keenam kalinya dengan wanita pemain ketoprak, Sri Hesti, meski batal lantaran dia (diduga) diperas.

Plot
Yang saya tangkap dari buku ini adalah ya....seperti disebutkan sebelumnya yaitu pewarisan nilai. Bagian awal berkutat pada Pak Mantri dan Paijo. Paijo yang polos cenderung lemot memang bikin geregetan. Apalagi untuk Pak Mantri yang sudah tua, dan priyayi yang emosinya mudah tersulut. Wejangan-wejangan disampaikan kepada Paijo bak dia adalah anaknya sendiri. 

Masalah yang muncul pada pasar yaitu banyaknya keluhan dari pedagang bahwa burung merpati Pak Mantri mengganggu. Mulai dari bau khas kotoran burung, burung yang suka memakan dagangan penjual dan lain-lain. 

Paijo yang hanya menyampaikan aspirasi pedagang cuma bisa menyampaikan pada Pak Mantri bahwa burung-burung merpati itu baiknya dikurung saja. Sudah bisa ditebak, Pak Mantri bersikukuh agar burung merpati itu jangan dikurung.

Akhirnya, pelapak di pasar Pak Mantri berpindah pada pasar yang dibuat oleh Kasan Ngali. Tak heran karena pasar baru di halaman Kasan Ngali itu bebas pungutan, serta lebih bersih karena tak ada kotoran burung merpati.

Burung-burung merpati Pak Mantri memang membuat ulah. Bukan hanya pedagang yang berkeluh kesah, Zaitu yang sehari-hari berada di dalam kantor bank pun demikian. Pernah suatu saat Zaitun menggoreng burung merpati itu dan memberikan pada Pak Mantri. Pak Mantri awalnya tidak menyadari bahwa itu daging burung merpati, bukan ayam seperti asumsinya. Edyan!

Konflik ditutup dengan sadarnya priyayi akan keangkuhan dirinya. Pak Mantri sadar, musuhnya bukan lagi Kasan Ngali yang pada akhir cerita malah bangkrut. Dia sadar bahwa musuhnya adalah nafsunya sendiri. 

"Inilah, Nak. Kita menang, tanpa mengalahkan. Kita sudah bertempur tanpa bala tentara. Mengapa, musuh kita adalah kita sendiri. Di sini. Nafsu kita. Dan kita sudah menang!" -- hlm 355.

Kesan
Tiap buku memiliki kesan yang berbeda. Kesan saya membaca buku yaitu....buku ini masuk dalam DAFTAR-BUKU-YANG-HARUS-DIBACA-DALAM-HIDUP! Keren! Cara Kuntowijoyo merekam dan mengulas nilai-nilai yang ada sangat santai dan tentunya mengena! Saya begitu terpukau dengan nilai-nilai yang disisipkan dalam tiap percakapan antartokohnya.

Pesan yang disampaikan juga banyak menyentil perilaku dan watak orang Jawa secara umum. Misalnya yang mencari aman, tidak mau menanggung risiko, dan mau ambil enaknya saja.

Menurut saya, tiap tokoh di sini mengalami pendewasaan masing-masing. Dari Pak Mantri yang priyayi akhirnya mau merendah, tidak terlalu meninggi. Mau mendengarkan masukan dari orang lain, yang dalam hal ini adalah Paijo.

Paijo yang mewakili rakyat jelata akhirnya berani ambil suara, tidak selalu mengiyakan perkataan Pak Mantri, serta lebih cerdas. 

Siti Zaitun akhirnya harus berhenti menjadi juru ketik Bank Pasar dan memilih hengkang ke kota. Ini sangat mewakili apa yang terjadi di birokrat. Kalau kaku, akan tersingkir. Semoga birokrat di negeri ini bisa berkaca pada Siti Zaitun ini (terutama judesnya itu!).

Bagaimana dengan Kasan Ngali? Keserakahan dan kecerobohan pedagang kapitalis akhirnya kembali pada dirinya. Bank kredit pasarnya tutup, dia juga batal nikah. Sungguh ironis.

Jadi dari keempat tokoh itu, kepada siapakah tampuk kepemimpinan pasar akan dilanjutkan? Baca sendiri ya bukunya~
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Program #1bulan1buku sudah memasuki bulan keempat, sejak hiatusnya program itu dari kebiasaan rutin saya. Memang, bulan-bulan sebelumnya buku apa? Kok tidak ditulis? 

Buku sebelumnya yaitu Supernova #3, #4, dan #5, sebenarnya. Saya tidak berniat untuk mengulas karena saya kira sudah banyak. Lagi pula, saya membaca di saat semua sudah moksa ke Asko, sedangkan masuk angkatan terakhir yang tau Asko itu apa. Ya sudah, akhirnya saya meresensi buku ini saja.


 Tampak depan buku Rabu Rasa Sabtu



Biodata buku:
Judul: Rabu Rasa Sabtu
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama 
Tahun: 2015
Jumlah halaman: 240

Di sampul belakang buku tertulis:
Seorang gadis bernama Ayang menderita kelainan batuk, sebenarnya karena dikutuk setiap kali dipeluk. Nasib Ayang benar-benar malang. Ia menderita. Setiap kali batuk satu giginya tanggal, hingga akhirnya ia ompong. Pandangannya kosong. Untuk mengganti giginya yang tanggal, dipasang gigi anjing. Tapi suara Ayang jadi melengking....

Kutipan di atas ada dalam buku ini. Tapi itu bukan cerita yang sesungguhnya, karena kejadian membentuk ceritanya sendiri. Setiap kata mengajak kata yang berdekatan, lalu ada kalanya bergenit menyaru sebagai puisi, atau berusaha membentuk kalimat. Misalnya bahwa Ayang sudah ditentukan umurnya--meskipun mati karena batuk kurang dramatis, dan ada lelaki yang suka menggendong, mencintainya, walaupun Ayang tinggal separuh.
Barangkali itu terjadi karena Rabu selalu bergegas ke arah Sabtu yang selama ini menunggu.

Intro
Buku ini merupakan karya dari Arswendo Atmowiloto yang pertama kali saya baca. Sebelumnya saya cuma mendengar nama Arswendo, belum tau karya-karya beliau seperti apa. Ternyata setelah menelusuri Mbah Google, ternyata beliau juga menulis untuk Keluarga Cemara, yang adegannya saya tidak ingat jelas seperti apa.

Buku ini terdiri dari tiga bagian, yaitu:
  1. Bagian pertama - Aku Mencintaimu, Kalaupun Kamu Hanya Separuh
  2. Bagian kedua - Mencari Buaya Putih
  3. Bagian ketiga - Kematian dan Kelamin itu Kekuasaan Tuhan
Membaca halaman pertama dari bagian pertama adalah hal terbosan saya dengan buku ini. Saya sudah hampir menyerah dan sudah membuat saya ingin berhenti. Namun, saya tetap paksakan karena sayang dengan uang sudah saya keluarkan.

Tapi, lembar berganti lembar saya malah dibuat penasaran. Saya suka susunan kalimat yang membentuk rima, sudah mirip puisi saja. Saya kira beliau memang menuliskannya seperti puisi.

Mama Tera bisa bicara tajam, namun selalu memilih diam. Sebagian masyarakat hanya mengenalnya sebagai perempuan dengan wajah muram, semata karena kedua alis kiri-kanan seakan dipersatukan. -- halaman 19.

Bagian pertama bercerita tentang latar belakang Wayang Supraba, tokoh sentral dalam buku ini. Berikut perkenalan dengan tokoh utama lain yaitu Jalmo. Bagaimana mereka bertemu, dan keduanya tak sengaja saling jatuh hati. Demikian pula dengan ayah-ibu Wayang yang merestui hubungan keduanya.

Bagian kedua merupakan babak baru dimana Way --panggilan Wayang-- dan Jalmo berkelana menuju ke Sungai Eretan, dimana di sana ada buaya putih. Dan, bagian ini menceritakan tentang kampung yang sepi sebelum kedatangan Way dan Jalmo, dibuat ramai karena kedatangan keduanya.

Bagian ketiga adalah bagian terungkapnya masa lalu Jalmo, kepada siapa Way "bernafsu", dan serpihan ingatan Jalmo tentang teman masa kecilnya.

Interlude
Ya, sebagai pengalaman pertama membaca buku Arswendo, saya menilai buku ini unik. Selain karena dipenuhi diksi, kalimat dalam buku ini bisa diterima oleh orang awam seperti saya. Lagi, buku ini sangat vulgar, tidak cocok untuk dibaca bagi yang belum ber-eKTP. Banyak adegan enaena-nya.

Selain itu, di sini Arswendo bermain-main dengan definisi waktu. Saya jadi ingat buku Supernova: KPBJ, kalau manusia itu menciptakan konsep waktu dan ingin memiliki kuasa untuk waktu. Maka dibuat standar waktu 24 jam per hari, supaya manusia bisa memiliki kuasa untuk bekerja, makan, dan beraktivitas yang lain. Kira-kira mirip seperti itulah apa yang disampaikan beliau di buku ini.

Di buku juga ada istilah baru, misalnya selaksa yang artinya sepuluh ribu kali, dan daksa yang berarti tubuh. Buku ini sejak awal menyinggung masalah homoseksualitas, sedikit. Jangan dikira homoseksualitas ini cuma terbatas pria menyukai pria, tapi lebih luas.


Tampak belakang buku Rabu Rasa Sabtu

Penokohan
Tokoh di buku ini tidak terpusat pada duo Way-Jalmo. Tapi ada juga kisah keluarga angkat Jalmo yang menurut saya seperti Dimas Kanjeng, sama-sama tukang tipu. Tapi orang tua angkat Jalmo menipu dalam hal pengobatan.

Ada pula Pak Efendi yang apesnya, diPHK gara-gara Jalmo. Entahlah, cerita Pak Efendi membuat saya gemas karena dia juga orang yang sudah jatuh, tertimpa tangga, lalu dipatuk ular, masih digigit buaya lagi. Sialnya beruntun, tapi akhir kisahnya menggantung.

Kisah teman masa kecil Jalmo yang diketahui mengidap kanker menarik buat saya. Dari nama dua kawannya yang mirip, hingga akhirnya diketahui siapa yang menggambar Rajawali Gila.

Outro
Sebagai penutup, buku ini sangat menarik untuk dibaca. Meski banyak adegan yang vulgar, tapi bukan itu topik utamanya. Sayat tak menyangka Jalmo dan Way akan berakhir demikian, biarlah proses membaca buku ini yang menjadi penilaian pada akhirnya.

"Mo, aku mau kau nakal lagi".
"Mauuuu. Yuk."
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Halo! Saya sedang bernafsu untuk menulis, maka saya menulis! Scribo ergo sum, saya menulis maka saya ada. Begitulah quote ciptaan saya sendiri, yang diganti dari opto ergo sum di buku Supernova.

Jadi, saya sekarang bisa membaca “petir” dan “partikel”. Sebuah hal yang sudah banyak orang lakukan. Hah?! Kok bisa? Ya, karena yang saya baca adalah dua onggok buku. Bukan petir dan partikel secara sungguhan loh ya. Gila aja saya bisa membaca petir, emang saya pawang petir kaya si Etra?

Petir dan Partikel

Saya membaca buku karangan Ibu Suri Dee. Baru baca sekarang sih, lebih tepatnya. Si Petir, sudah sampai di rumah bulan (tahun) lalu malah. Si Partikel saya beli ketika mampir di Gramedia waktu di Malang. Lengkap sudah saya seperti dukun yang bisa membaca petir, sekaligus partikel.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Buku -- apalagi buat yang hobi baca adalah teman dekat. Sahabat sejati, benar-benar sejati di kala ingin sendiri.


Tahun 2016 udah hampir memasuki usia senja. Ga terasa udah tinggal dua bulan lagi buat menuju ke tahun 2017. Waktu melahap sekon lebih cepat daripada biasanya, kata Ibu Suri Dee di Supernova-nya. Terus setahun ini aku ngapain aja? HAHAHAHA. Talk to my hand. Aku ga ngapa-ngapain tahun ini. Cuma menikmati hidup sih *tsah*


Oh ya, tahun ini ada lebih keknya 10 judul buku yang udah kubaca. Beragam ya temanya, mulai dari yang mindblowing sampa hand book kuliah. Dari semua buku yang khatam kubaca, ada beberapa buku yang belum khatam. Bahkan saat aku nulis sekarang ini.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Artikel ini merupakan pembaharuan dari artikel sebelumnya....

Sudah tiga tahun rupanya saya menjadi anggota Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Sejak menjadi mahasiswa tingkat akhir, dalam rangka mencari pustaka waktu itu. Dan seminggu yang lalu saya mendapatkan surel bahwa Perpusnas memiliki aplikasi. Wah seperti apa aplikasinya? Mari kita bahas!

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Older Posts

Valar morghulis

About Me

Me, is an enigma --for you, for the universe and for I myself. I write what I want to write. Scribo ergo sum. I write, therefore I am.

Follow Me

  • spotify
  • goodreads
  • SoundCloud

Hot Post

Maester's Chamber

  • ▼  2024 (1)
    • ▼  Maret 2024 (1)
      • Merenungkan Eros dan Growing Into Love
  • ►  2023 (1)
    • ►  Januari 2023 (1)
  • ►  2022 (2)
    • ►  April 2022 (1)
    • ►  Januari 2022 (1)
  • ►  2021 (5)
    • ►  Oktober 2021 (2)
    • ►  Juli 2021 (1)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (1)
  • ►  2020 (38)
    • ►  Oktober 2020 (2)
    • ►  September 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (2)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (18)
    • ►  Januari 2020 (12)
  • ►  2019 (9)
    • ►  Desember 2019 (1)
    • ►  November 2019 (2)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Juli 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (2)
    • ►  Februari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  September 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (2)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Maret 2018 (1)
    • ►  Januari 2018 (1)
  • ►  2017 (21)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  Agustus 2017 (1)
    • ►  Juli 2017 (2)
    • ►  Juni 2017 (1)
    • ►  Mei 2017 (1)
    • ►  April 2017 (1)
    • ►  Maret 2017 (4)
    • ►  Februari 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (3)
  • ►  2016 (10)
    • ►  Desember 2016 (1)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  Oktober 2016 (1)
    • ►  Agustus 2016 (1)
    • ►  Juni 2016 (1)
    • ►  Mei 2016 (1)
    • ►  Maret 2016 (2)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (22)
    • ►  Desember 2015 (4)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  Oktober 2015 (1)
    • ►  September 2015 (1)
    • ►  Agustus 2015 (6)
    • ►  Juli 2015 (2)
    • ►  Juni 2015 (2)
    • ►  Mei 2015 (2)
    • ►  Maret 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (1)
  • ►  2014 (5)
    • ►  Desember 2014 (1)
    • ►  September 2014 (4)

Tags

acara berjalan-jalan dapur kamar renungan kamar tengah kotak musik perpustakaan ruang tengah taman belakang

Created with by ThemeXpose