Disentuh Petir dan Partikel
Halo! Saya sedang bernafsu untuk menulis, maka saya
menulis! Scribo ergo sum, saya menulis maka saya ada. Begitulah quote
ciptaan saya sendiri, yang diganti dari opto ergo sum di buku
Supernova.
Jadi, saya sekarang bisa membaca “petir” dan “partikel”.
Sebuah hal yang sudah banyak orang lakukan. Hah?! Kok bisa? Ya, karena yang
saya baca adalah dua onggok buku. Bukan petir dan partikel secara sungguhan loh
ya. Gila aja saya bisa membaca petir, emang saya pawang petir kaya si Etra?
Petir dan Partikel
Saya membaca buku karangan Ibu Suri Dee. Baru baca
sekarang sih, lebih tepatnya. Si Petir, sudah sampai di rumah bulan (tahun)
lalu malah. Si Partikel saya beli ketika mampir di Gramedia waktu di Malang.
Lengkap sudah saya seperti dukun yang bisa membaca petir, sekaligus partikel.
Petir
Membaca Petir, yang saya tangkap dari buku ini yaitu:
KOKOL. Apalagi tuh? KOnyol, KOcak, dan Lucu! Benar-benar
menghibur! Siapa yang tak terpingkal dengan kelakuan Etra yang di usia 20-annya
belum pernah pacaran? Dan segala tindak tanduknya.
Kalau bicara bagian mana yang menyentuh, paling dramatis,
paling membikin saya menyapu air mata ya bagian Etra “membaca” Pak Simorangkir.
Bagaimana tidak? Diceritakan bahwa Pak Simorangkir itu orang tua yang menghuni
Elektra Pop (bisnisnya Etra cs), pernah mengalami stroke. Dia selalu datang ke
Elektra Pop, sekedar ke sana ke mari. Dia dianggap ada dan tiada, tidak pernah
berbicara, cuma mengamati kawula muda yang kebetulan nongkrong di sana. Oleh
karena itu dia disebut “The Invisible Man”.
Saat-saat tertentu istri atau pembantunya menjemput Pak
Simorangkir pulang, sekadar makan atau minum obat. Belum pernah orang-orang di
Elektra Pop melihat bapak tua itu tersenyum, apalagi berbicara sehingga mereka
tidak tahu maunya si bapak itu apa.
Suatu waktu, dia mendatangi Etra dan Kewoy. Sambil duduk
di kursi plastik, bapak tua itu cuma diam. Kewoy bertanya si bapak mau ngapain.
Pak Simorangkir cuma mengulurkan tangannya pada Etra. Pikirannya menjadi
pikiranku. Emosinya menjadi emosiku, kata Etra.
Setelah sesi pembacaan tadi berakhir, istrinya menjemput
pulang Pak Simorangkir. Etra berbicara empat mata dengan suami Pak Simorangkir,
bahwa sebenarnya Pak Simorangkir ingin pulang ke kampung halaman. Dia ingin magot
ni horbo serta bermain margala saat terang bulan. Dan diketahui pula
bahwa Pak Simorangkir sudah lama kembali, namun selalu ditahan keluarganya
karena penyakitnya itu. Padahal, Pak Simorangkir malah makin tersiksa dengan
kebosanan serta sekapan obat-obat itu.
Dengan berlinang air mata, istrinya paham. Ia mengiyakan,
dan seminggu kemudian Pak Simorangkir berangkat ke Tarutung, Sumatera Utara.
"Pak Simorangkir ingin minum magot ni horbo segar dengan alas daun talas dan main margala saat terang bulan, aku menambahkan. Apa pun artinya itu."
Saya tidak bisa membayangkan. Seorang kakek-kakek yang
tidak berbicara (bukan karena bisu), dianggap ada dan tiada, tapi sering muncul
batang hidungnya akhirnya menemukan apa yang dia dambakan. Akhir kata, Elektra
Pop kehilangan hantu gentayangannya, Pak Simorangkir.
Partikel
Akhirnya kehausan saya dengan teori-teori ilmu eksak di
serial Supernova ini tuntas oleh buku keempat, Partikel. Seperti meneguk
kembali buku pertama Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh.
Judul bukunya sangat IPA, tentunya. Saya jadi ingat
pelajaran fisika waktu SMA, sekaligus tidak merasakan memori khusus dengan
pelajaran satu ini. Saya anggap pelajaran fisika seperti Pak Simorangkir, ada
dan tiada.
Meski judulnya sangat fisika, tapi bagian dalam buku ini
lebih biologi (pelajarang yang teramat sangat saya sukai sekali!), tepatnya
mikologi dan biologi konservasi. Bagaimana tidak? Kita disuguhkan topik
mengenai jamur, yang akhirnya bermuara pada makhluk luar angkasa.
Bagian yang menyentuh di buku ini yaitu saat Zarah berada
di Tanjung Puting. Rela menetap, dan menjadi ibu asuh bagi Sarah. Sarah
merupakan bayi orangutan yang induknya dibunuh oleh pemburu gelap. Umur Sarah
masih sangat kecil, yaitu satu tahun, sedangkan kakaknya berumur enam tahun.
Dua tahun lagi memasuki masa independen. Ya, orangutan punya waktu delapan
tahun bersama induknya sebelum hidup sendiri.
Seperti primata lain, bayi Sarah butuh perlindungan
seorang ibu. Dan dia memilih Zarah sebagai ibu asuhnya, sebelum ia bisa
dilepasliarkan ke hutan.
Saat-saat paling dramatis yaitu saat bayi Sarah melompat
pada Zarah. Menggelayut erat di tubuh Zarah, tak mau lepas. Saat itu juga
suasana sempat diam beberapa saat, semua mata menatap duo orangutan dan orang
yang hidup di hutan. Memecah keheningan, Ibu Inga mengajak Zarah masuk untuk
diberi makan.
“Ibu mereka tewas oleh tiga pukulan fatal di kepala. Dua anaknya menangis dan meronta saat ditarik paksa oleh pembunuh ibunya. Secara instingtif mereka akan melekat terus pada badan induknya. Apa pun yang terjadi.”
“....Tak ada yang lebih lembut dan rapuh daripada bayi orangutan. Tanganku otomatis merentang.”
*
Saya pernah membaca kalau antropologi bukan cuma belajar manusia dan budayanya. Salah satu artikel yang saya baca bahwa bidang kajian antropologi mencakup primata besar macam gorilla dan simpanse. Saya juga pernah membaca judul disertasi seorang mahasiswa S2 di Inggris yang meneliti bagaimana respon lengan simpanse menjangkau makanan dengan lengannya. Menarik!
Membaca Partikel menyadarkan saya bahwa tanggal 30
Januari nanti merupakan perayaan Hari Primata Indonesia. Saya sebenarnya ingin
menyemarakkan acara tersebut bersama teman-teman di headquarter, di
Malang. Tapi apalah daya saya sekarang ada di belantar nusantara timur, di
Ternate.
Logo untuk Hari Primata Indonesia
Ayo beraksi nyata di Hari Primata Indonesia 2017!
Daripada tidak berbuat apa-apa, mending saya ikut
sebarkan saja poster kampanye Hari Primata Indonesia di tulisan ini. Masih
berhubungan, toh? Sekali tulis, dua tiga pesan tersampaikan!
0 comments