Perbedaan Anak Yang (Pernah) Merantau dan Yang Bukan
Disclaimer: tulisan kali ini bukan nyinyir semata, namun juga tiada maksud untuk menyindir
Long weekend banyak didamba sebagian orang, apalagi yang sudah bekerja. Yang sudah gawe. Tak terkecuali saya.
Selama saya bekerja di Maluku Utara, tiada beda antara hari kerja dan hari libur. Meski sudah tertera di lembar SOP kalau Sabtu dan Minggu libur. Tetap, bekerja di LSM haruslah dengan semangat kesukarelaan.
Ya, meskipun bekerja lintas pulau, lintas daerah, lintas provinsi (kadang) apabila konteksnya bekerja, akan selalu ada yang menghantui (baca: laporan perjalanan, laporan kegiatan, dsb). Hal itu membuat saya jenuh.
Di bulan ini, ada dua minggu strategis untuk berlibur agak panjang. Awal bulan dan menuju akhir bulan. Saya sudah melepas libur Hari Raya Iduladha, dan apakah saya akan melepas long weekend berikutnya? Jadi begini ceritanya....
Di dalam lubuk hati yang terdalam, saya mendamba untuk bervakansi ke Pulau Morotai. Ya, pulau ini sedang menjadi destinasi wisata prioritas pemerintah. Segala keindahan yang ditawarkan bisa ditanya di Mbah Google.
Akhirnya saya sampaikan keingin itu ke teman yang bekerja di pulau seberang. Akhirnya kita akan bervakansi ke Morotai! Yay!
Singkat cerita, saya sudah mengantongi izin. Harga dan jam berangkat kapal menuju Morotai sudah di tangan. Nahas, kami gagal berangkat!
Salah satu teman dalam rombongan kecil kami tidak diizinkan karena mengalami musibah.
Gagal sudah.
Setiap orang menghadapi perubahan bisa berbeda-beda reaksinya. Ada yang ngambek, ada yang jadi "Miss Ikut Kemana Aja", alias tujuan kemana pasti "ngikut". Kebetulan yang ngambek ini memang orang "sini", yang tak pernah merantau.
Saya sih, anteng aja. Saya diajari ibu saya untuk siap untuk segala skenario yang akan terjadi, termasuk rencanawacana vakansi ke Morotai ini.
Akhirnya saya menyadari semangat merantau pada orang yang pernah merantau.
Anak rantau pasti sudah mengalami asam garam kehidupan. Mau itu yang senang, sedih, pasti sudah merasakan. Artinya segala perubahan itu sudah dilahapnya, dan tentunya menjadikannya lebih waspada pada perubahan. Menjadikannya lebih tangguh, daripada yang tidak.
Menjadi anak rantau pastilah kuat. Hidup serba kekurangan (oke, ini lebay) menjadinnya lebih kreatif. Kreatif merupakan sebuah solusi alternatif, alias bisa diakali. Itulah ciri anak rantau!
Akhir kata, di tulisan yang semena-mena ini, saya bersyukur bisa merasakan merantau. Di tanah rantau nilai-nilai dan pelajaran hidup berlomba-lomba membentuk kita. Seperti kata pepatah: terbentur, terbentur, terbentur, terbentur, terbentuK.
Ngomong-ngomong bervakansi, yuk dengarkan dulu lantunan suara biduanita Nona Sari dari kelompok musik indie White Shoes & The Couples Company sembari menghibur diri. Enjoy!
Long weekend banyak didamba sebagian orang, apalagi yang sudah bekerja. Yang sudah gawe. Tak terkecuali saya.
Selama saya bekerja di Maluku Utara, tiada beda antara hari kerja dan hari libur. Meski sudah tertera di lembar SOP kalau Sabtu dan Minggu libur. Tetap, bekerja di LSM haruslah dengan semangat kesukarelaan.
Ya, meskipun bekerja lintas pulau, lintas daerah, lintas provinsi (kadang) apabila konteksnya bekerja, akan selalu ada yang menghantui (baca: laporan perjalanan, laporan kegiatan, dsb). Hal itu membuat saya jenuh.
Di bulan ini, ada dua minggu strategis untuk berlibur agak panjang. Awal bulan dan menuju akhir bulan. Saya sudah melepas libur Hari Raya Iduladha, dan apakah saya akan melepas long weekend berikutnya? Jadi begini ceritanya....
Di dalam lubuk hati yang terdalam, saya mendamba untuk bervakansi ke Pulau Morotai. Ya, pulau ini sedang menjadi destinasi wisata prioritas pemerintah. Segala keindahan yang ditawarkan bisa ditanya di Mbah Google.
Akhirnya saya sampaikan keingin itu ke teman yang bekerja di pulau seberang. Akhirnya kita akan bervakansi ke Morotai! Yay!
Singkat cerita, saya sudah mengantongi izin. Harga dan jam berangkat kapal menuju Morotai sudah di tangan. Nahas, kami gagal berangkat!
Salah satu teman dalam rombongan kecil kami tidak diizinkan karena mengalami musibah.
Gagal sudah.
Ekspresi saya juga tidak jauh dari ini via memec(dot)com
Setiap orang menghadapi perubahan bisa berbeda-beda reaksinya. Ada yang ngambek, ada yang jadi "Miss Ikut Kemana Aja", alias tujuan kemana pasti "ngikut". Kebetulan yang ngambek ini memang orang "sini", yang tak pernah merantau.
Saya sih, anteng aja. Saya diajari ibu saya untuk siap untuk segala skenario yang akan terjadi, termasuk rencana
Akhirnya saya menyadari semangat merantau pada orang yang pernah merantau.
Anak rantau pasti sudah mengalami asam garam kehidupan. Mau itu yang senang, sedih, pasti sudah merasakan. Artinya segala perubahan itu sudah dilahapnya, dan tentunya menjadikannya lebih waspada pada perubahan. Menjadikannya lebih tangguh, daripada yang tidak.
Sebuah kenyataan hidup anak kost via fakhrikmt.blogspot.id
Menjadi anak rantau pastilah kuat. Hidup serba kekurangan (oke, ini lebay) menjadinnya lebih kreatif. Kreatif merupakan sebuah solusi alternatif, alias bisa diakali. Itulah ciri anak rantau!
Akhir kata, di tulisan yang semena-mena ini, saya bersyukur bisa merasakan merantau. Di tanah rantau nilai-nilai dan pelajaran hidup berlomba-lomba membentuk kita. Seperti kata pepatah: terbentur, terbentur, terbentur, terbentur, terbentuK.
Ngomong-ngomong bervakansi, yuk dengarkan dulu lantunan suara biduanita Nona Sari dari kelompok musik indie White Shoes & The Couples Company sembari menghibur diri. Enjoy!
0 comments