Mengikuti #FestivalPusakaTernate (Bagian 2)

by - 2/14/2017

Ini merupakan lanjutan dari tulisan saya pada bagian pertama. Silakan dibaca!


Dari instagram @ternateheritage

****

Sebelum menuju ke Bastion Real, kami main game dulu. Saya lupa apa namanya, tapi mirip dengan game "Kehilangan Habitat" di P-WEC. Tidak sampai gendong-gendongan sih, mungkin karena panitia tau kami -peserta- masih jaim. Ya sudah, yang penting ada gelak tawa juga di sini!

Tempat game atau ice-breaking ini dulunya merupakan tembok belakang benteng. Namun entah kenapa (baca: tanpa ada alasan yang jelas) akhirnya dibongkar jua. Asumi yaitu dulu bagian belakang yang terletak di arah barat ini berdekatan dengan Kesultanan Ternate. Kompeni Belanda lebih kooperatif dibanding Kompeni Portugis, jadi buat apa memagari benteng yang berbatasan dengan kawan sendiri? Jadilah tembok belakang ini dibongkar.


Kartu keempat yang dibagikan, side A


Kartu keempat yang dibagikan, side B

Keunikan Benteng Oranje yang lain yaitu adanya parit yang melintang. Fungsi parit ini bukan sekadar drainase, melainkan bagian dari taktik pertahanan dari musuh. Parit dibuat lebar dan panjang menyesuaikan benteng, fungsinya agar musuh enggan atau terhalang saat memasuki benteng. Selain itu juga ada jembatan yang fungsinya sebagai penghubung satu-satunya antara benteng dan laut (ingat dulu di depan Benteng Oranje ini berbatasan langsung dengan laut).


Berlanjut ke bastion selanjutnya yang berada di barat daya, yaitu Bastion Real. Meski bastion ini bernama Bastion Real, keadaanya ironis. Bentuknya sudah tidak terlihat utuh, tidak real lagi hehe. Untuk menuju ke bastion ini, di kanan kiri tersaji pemandangan sampah dan bekas hunian bekas militer.


Gusur digusur


Bastion Real


Peserta dan panitia membaur jadi satu

Bastion terakhir yaitu Bastion Groot Boelwreck. Sesuai namanya, "groot" berarti "besar". Bastion memang yang paling besar dari segi luasan dan letaknya di tenggara. Waktu itu kami dihujani air, cukup deras. Sehingga setelah mendengar penjelasan dari Mas Helmi kami berhambur ke bangunan yang nantinya dipakai untuk pemutaran film.


Kartu kelima yang dibagikan, side A


Kartu kelima yang dibagikan, side B

Di tenda tempat pos terakhir ini juga dibagikan kartu terakhir. Serta, kami mendapat semacam jurnal, yang judulnya Kora-kora dari mas Helmi.


Gerbang ini malah mengingatkan saya saat saya ke Jogja


Prasasti yang menggunakan bahasa Latin (setelah saya terjemahkan menggunakan Google Translate)


Lumayan ada bahan bacaan :D

****


Dengan ditutup dengan hujan di bulan Februari deras, maka disudahilah acara Jelajah Benteng Oranye. Sebenarnya sih, saya lebih suka menyebut Benteng Oranye dibanding dengan Benteng Orange. Ya, meski sama-sama berarti "jingga" tapi kalau kita menyebutnya "oranje" lebih terasa kalau benteng tersebut pernah digunakan oleh Belanda.

#FestivalPusakaTernate ini masih berlanjut di malam hari dan keesokan harinya. Namun saya lebih tidak memilih datang di malam penutupannya. Sangat disayangkan bukan?

You May Also Like

0 comments