• Home
  • Author
  • Send a raven!
spotify goodreads SoundCloud

Huis van Abdï

Diberdayakan oleh Blogger.

Aku bukan orang yang sering mengalami hubungan romantis. Seringnya layu sebelum berkembang: PDKT iya, jadian engga. Boro-boro mencintai seperti di film-film, mencintai seperti di masa SMA saja terlewat *puk puk*.

Ketika ditanya "sudah pacaran berapa kali?" aku bingung jawabnya karena merasa tidak pernah pacaran. Ketika direspons balik "Kalau sebulan termasuk pacaran kah, Bang Jago?", dijawab "Itu pacaran apa promo Agustusan?" 💀💢

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Hari terakhir di 2022. Di tengah ingar-bingar wrapped dari penyedia jasa aliran musik, maka tak ada salahnya membuat kaleidoskop tahun ini.

Selain itu, setelah menuliskan wrapped ala-ala di LinkedIn yang menghasilkan item baru di ResearchGate, rasanya tepatlah sudah membuat "bingkisan" lain.

Awan: Perjalanan Memandang Langit

Buku ini saya kategorikan sebagai buku sains populer, dengan format buku foto. Menurut prolognya, buku ini adalah "Atlas Awan" pertama di Indonesia. Tak salah, karena isinya juga masih sains menurut saya. 

Meski terdengar saintifik, atlas di sini lebih kepada dokumentasi awan yang dipotret oleh kontributor dan penulisnya. Memang ada deskripsi awannya, tetapi bahasa yang digunakan masih populer. Dengan kata lain, masih bisa dikonsumsi oleh masyarakat awam.

Saya sendiri sebagai lulusan Fakultas Pertanian yang juga sedikit belajar awan, langsung merasa relate. Tak cuma itu, kenangan semasa di bangku kuliah juga langsung terputar di benak.

Bukunya bisa dibaca secara gratis melalui Google Drive ini.

Dokumentasi Awan di 2022 oleh Saya

Penafian: beberapa foto awan telah saya unggah di Wikimedia Commons dengan lisensi CC-BY-SA 4.0.

Tahun 2022 boleh jadi tahun dengan perjalanan terbanyak yang membawa saya ke tempat yang belum saya kunjungi sebelumnya. Baik kota, pulau, bahkan negara. 

Di kesempatan itu, saya bongkar arsip di Google Photos saya dan menemukan beberapa tangkapan foto awan di berbagai tempat. Berikut foto-fotonya:

  • Cirrocumulus stratiformis

Foto ini saya ambil saat saya berkunjung ke dapur umum gempa di Cianjur saat pagi hari. Terlihat kumpulan awan cirrocumulus stratiformis waktu itu, menjadi latar gedung yang sedang dibangun.

  • Altocumulus stratiformis


Siapa yang tak suka duduk di sisi jendela pesawat saat terbang? Saya suka menjepret dari sisi dalam jendela pesawat karena membuat saya seolah-olah Alice through looking window. Di perjalan dari Pontianak ke Ketapang ini saya berkesampatan melihat pelangi dan juga spesies awan altocumulus stratiformis.

  • Altostratus

Sebenarnya foto ini akan saya masukkan ke dalam photo essays bertema warisan kolonial, tetapi tidak jadi karena menurut saya terlalu berat topiknya, hehe. Foto ini diambil ketika mobil yang disewa tersendat saat melewati jalan yang licin dan berbatu di Kebun Teh Nirmala. Jujurly, saya agak bingung mengkategorikan spesies awan ini. Apakah benar altostratus? Yang tau, komen aja....

  • Cumulus humilis 

Masih tentang jepretan kameran dari jendela pesawat, saya ditemani spesies awan cumulus humilis. Senja itu saya terbang dari Kualanamu menuju Cengkareng, sembari melihat deretan pulau-pulau kecil di Samudera Hindia. Entah mereka berpenghuni atau tidak, yang jelas terbang saat senja adalah kenikmatan tersendiri.

  • Cumulus congestus dan cirrus fibratus

Di foto ini memang tak terlalu banyak proporsi awannya, tapi kita bisa melihat spesies cumulus congestus dan cirrus fibratus sebagai latar belakang. Proporsi utamanya adalah Sekolah Alam Leuser di Desa Bukit Mas. Hal yang mengimpresi saya adalah biaya pendaftarannya yang tidak menggunakan uang, tetapi beberapa batang bibit pohon!

  • Cumulus mediocris dan cirrus fibratus

Setelah saya perhatikan, ternyata ada dua spesies waktu mau mendarat di Padang. Sebetulnya saya hanya fokus pada cumulus mediocris (berbentuk kapas) saja yang melayang lebih rendah dari cirrus fibratus.  Cuaca cerah memang identik dengan suasana pantai, dan ini sangat pas dengan gambaran itu --meski dipotret saat critical eleven.

  • Cirrus spissatus

Saya harus menyadari bahwa pergi ke pantai itu menyenangkan. Kita berinteraksi dengan udara, pasir, air, cahaya matahari. Semua indera berperan. Spesies awan satu ini memang pas dengan tema pantai: serabut-serabutnya saling melilit dan bersentuhan. Saya kira pantai di Kalimantan akan berpasir hitam semua, ternyata saya salah. Di Pantai Tanah Merah Tanjung Harapan ini malah seperti pantai-pantai di Jawa.

  • Cirrus fibratus, tapi sendiri

Tanpa terbang pun, duduk termenung di bibir pantai juga syahdu. Cocok juga untuk melakukan donothingfor2minutes.com atau bahkan lebih. Saya lupa lokasinya tetapi masih di sekitaran Kota Padang.

Prolog

Selama mata kuliah Klimatologi di bangku kuliah, memang tidak begitu diperdalam wawasan tentang awan. Makanya dengan buku Atlas Awan tadi, saya jadi semangat mengobrak-abrik jepretan awan selama 2022. Jadi pensaran, 2023 ketemu awan apalagi ya?
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Prolog

Apa yang ada di benakmu waktu denger kata "festival"? Pasti yang terbayang adalah ingar-bingar, ramai, orang-orang berbagai rupa. Ya, itu juga yang ada di pikiranku waktu pertama kali bakal ada festival musik-musikan akan digelar secara luring lagi.

Tahu bahwa dua tahun terakhir absen menghadiri kegiatan luring (meski ga seluruhnya), apalagi festival musik langsung tancap gas deh beli tiketnya. Kapan lagi coba? Apalagi dengan kebiasaan pamrentah yang suka labil di dua tahun terakhir tentang restriction.

FYI, Joyland Festival terakhir sebelum pandemi diadakan 2019 lalu. Dua tahun absen karena pandemi. Tahun ini, tepatnya Maret lalu akhirnya diadakan lagi! Pasti orang-orang juga mulai jenuh sama "festival" daring. 

Ini highlight Joyland Festival sebelum pandemi menyerang:



Refleksi (bukan pijat!)

Manusia Seutuhnya: Kenal Orang Baru

Isyana waktu manggung, kocak juga! Haha.
Siapa yang kemana-mana suka sendiri ngacung? Aku tau aku ga bakal sendiri. Kemana-mana sendiri bukan berarti ga punya temen (meski ada benernya, hehe). Bisa aja emang circle ga suka ke tempat rame, bisa aja waktunya ga pas, bisa aja lagi bokek, atau emang ga ngajak aja wkwk.

Aku sendiri? Entah kenapa di Bogor ga punya temen yang klop buat diajak ke festival atau gig gitu. Jadi ya berangkat sendiri. Sebetulnya aku lagi di Surabaya waktu itu, jadi lebih deket untuk ke Bali.

Beda dengan saat Folk Music Festival di 2018 yang hari terakhir ga ada temen jalan, di Joyland aku ketemu orang-orang baru. Yay!

Kalo ga ikutan komen di salah satu unggahan akun @joylandfest, kayanya ga bakal ada yang approach sih, hihi. Ini juga kalo ga didorong temenku juga ga bakal komen. Aku maunya dateng dan nikmatin sendiri. Tapi kayanya bakal bosen juga karena keterisolasian selama dua tahun. Apalagi buat orang yang ekstrover kaya aku yang perluuuu banget ketemu dan kenal orang baru.

Akhirnya sebelum hari H, ada dua orang yang kirim DM di Instagram dan akhirnya selama tiga hari, bareng mereka terus. Happy!

Bertemu teman baru!

Manusia Seutuhnya: Nyoba Pengalaman Baru

Iya, selama di Joyland juga nyoba pengalaman baru meski ga banyak. At least, ada yang baru selama pandemi melanda.

Gimana rasanya kalian dimasakin sama orang yang kalian kagumi? Nah di hari terakhir, aku nyoba masakan yang dimasak oleh para personil grup musik White Shoes and Couples Company! Sekaligus dapet bir gratis dari Guinness (makasih banget!).

Smooth Session-nya Guinness yang berkesan.
Jadi di Smooth Session-nya Guinness, ada acara penampil yang masak masakan yang dipadukan dengan produk Guiness. Nah waktu hari terakhir aku niat banget ke sana karena di hari sebelumnya diumumkan kalo WSATCC bakal gabung di sesi itu.

Mereka masak tiga resep kalo ga salah, dan aku dapet sesi makanan pertama yaitu kuliner Korea nasi bulgogi. Ini spesial soalnya dagingnya dimasak pake bir jadi nama masakannya beergogi. Enak! Apalagi dapetnya gratis, haha.

Beergogi spesial (dan gratis!)
Kedua, selain nyicip masakan idola, udah disebutin tadi kalo pengalaman ke festival musik kali ini juga ada temen baru. Aku sebenernya agak skeptis sama orang yang nyari temen di komen festival musik, tapi di festival kali ini aku nyoba sendiri dan not bad at all! Malah seru ternyata. Kayanya bakal gini juga kalo ke festival-festival berikutnya.

Ketiga, aku nyoba bis ke [deket] venue. Aku baru tau kalo di Bali juga ada bus buat berkendara di jalur-jalur ramai di Pulau Dewata itu. Ini juga atas rekomendasi temen kalo ada bus dari bandara ke daerah Tanjung Benoa tempat dimana Joyland bakal diadakan ini. Wah ini seru! Meski sempet nyasar wkwkwkwk.

Terakhir, ujan-ujanan! Terima kasih kepada semesta yang udah ngasih hujan sesaat sebelum penampil terakhir manggung. Ini bakal ga terlupakan, sih. Soalnya waktu break sebelum panggung Diskoria, ternyata hujan! 

Yakin deh pasti waktu itu baik penampil maupun panitia bingung mau lanjut apa ngga. Apalagi ujannya lumayan deres, dan agak molor juga dari waktu yang dijadwalkan. Tapi berpikir ini festival luring pertama dan ga disia-siain, show must go on. Sungguh ini spekulasi yang sangat sotoy haha.

Begitu Diskoria main lagu pertama, langsung berhamburan ke depan panggung meski hujan. Bodo amat sama HP dan keujanan yang penting joget! Ini festival dan ujan-ujanan pertama di 2022 dan berkesan banget!

Hujan-hujanan di hari terakhir~

Udah gitu di tengah-tengah panggung Diskoria yang sarat akan berdansa ria kita juga main ular-ularan. Ngerti kan? Jadi kita ngebentuk formasi ular/kereta pas joget-joget. Aku inget ini ngelakuin terakhir kali 2011 pas ospek fakultas, dan ngelakuin lagi setelah hampir 11 tahun berikutnya. Gokil!

Manusia Seutuhnya: Bertemu Teman Lama

Ga cuma ketemu temen-temen baru, di Joyland aku juga ketemu temen-temen lama. Rasanya pasti rasa nostalgia karena emang, dulu waktunya ketemu waktu masih....ya masih ini masih itu. Masih banyak kurangnya, masih banyak lebihnya. Nyadar ga sih kalo ketemu orang yang udah kita kenal dulu, terus ga ketemu di waktu yang lama kita kaya buka kotak pandora? Haha. Ya gitulah. Inget ini, inget itu. Ini yang ga bakal kita rasain sensasinya selama pandemi, meski juga terhubung secara virtual. Tapi "cermin" tempat kita ngaca itu fana, maya, dan kurang terasa.

Epilog

Dari pengalaman ke Joyland, aku jadi mikir: gimana kalo kita hidup di dalam gelembung kita terus-menerus? Apa tidak gila?

Sebagai ekstrover yang butuh asupan pergi keluar, menjadi party animal dan social butterfly kayanya beneran bakal gila sih. Gila yang membuat mental breakdance down.

Dari zaman moyang manusia masih suka manjat pohon sampai nebang pohon kaya sekarang, hidup berkelompok sudah menjadi mekanisme yang manjur buat bertahan hidup. Begitu juga senang-senang. Kalo sendiri? Bisa. Tapi tentu lebih afdol jika dilakukan bersama-sama seperti mengunjuni festival.

Dua tahun cukup buatku menarik diri, membentengi diri dalam gelembung. Kini saatnya kita menghadiri acara-acara luring lagi sumpah mau lagi ke festival! Jadi diingetin kalo masih ada tiket Synchronize Festival yang belum di-refund. Ini pasti ditunggu-tunggu karena sudah diundur dua tahun. Yakin.

Kalopun diundur lagi, masih ada festival luring lain yang menunggu. Siapa tahu?

Sampe hari terakhir!

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

[Verse 1]
Ro'om bâuna jhuko' è ghir sèrèng
ꦫꦺꦴꦃꦲꦺꦴꦩ꧀ꦧꦲꦸꦤꦗꦸꦏꦺꦴꦃꦲꦺꦒꦶꦂꦱꦺꦫꦺꦁ

Malekko' buḍu'en dhâlko' è ghir sèrèng
ꦩꦊꦏ꧀ꦏꦺꦴꦃꦧꦸꦝꦸꦃꦲꦼꦤ꧀ꦢꦭ꧀ꦏꦺꦴꦃꦲꦺꦒꦶꦂꦱꦺꦫꦺꦁ

Tèra' bulânna nèko lè'
ꦠꦺꦫꦃꦧꦸꦭꦤ꧀ꦤꦤꦺꦏꦺꦴꦭꦺꦃ

Tèra' bulânna nèko lè' paḍḍhâng samporna è ghir sèrèng
ꦠꦺꦫꦃꦧꦸꦭꦤ꧀ꦤꦤꦺꦏꦺꦴꦭꦺꦃꦥꦝ꧀ꦝꦁꦱꦩ꧀ꦥꦺꦴꦂꦤꦲꦺꦒꦶꦂꦱꦺꦫꦺꦁ

[Verse 2]

Akasa' ḍâunna tènjhâng è ghir sèrèng
ꦲꦏꦱꦃꦝꦲꦸꦤ꧀ꦤꦠꦺꦤ꧀ꦗꦁꦲꦺꦒꦶꦂꦱꦺꦫꦺꦁ

Laon tambuna ombâ' è ghir sèrèng
ꦭꦲꦺꦴꦤ꧀ꦠꦩ꧀ꦧꦸꦤꦲꦺꦴꦩ꧀ꦧꦃꦲꦺꦒꦶꦂꦱꦺꦫꦺꦁ

Tèra' bulânna nèko lè'
ꦠꦺꦫꦃꦧꦸꦭꦤ꧀ꦤꦤꦺꦏꦺꦴꦭꦺꦃ

Tèra' bulânna nèko lè' paḍḍhâng samporna è ghir sèrèng
ꦠꦺꦫꦃꦧꦸꦭꦤ꧀ꦤꦤꦺꦏꦺꦴꦭꦺꦃꦥꦝ꧀ꦝꦁꦱꦩ꧀ꦥꦺꦴꦂꦤꦲꦺꦒꦶꦂꦱꦺꦫꦺꦁ

[Chorus]

Ro'om bâuna jhuko' è ghir sèrèng
ꦫꦺꦴꦃꦲꦺꦴꦩ꧀ꦧꦲꦸꦤꦗꦸꦏꦺꦴꦃꦲꦺꦒꦶꦂꦱꦺꦫꦺꦁ

Malekko' buḍu'en dhâlko' è ghir sèrèng
ꦩꦊꦏ꧀ꦏꦺꦴꦃꦧꦸꦝꦸꦃꦲꦼꦤ꧀ꦢꦭ꧀ꦏꦺꦴꦃꦲꦺꦒꦶꦂꦱꦺꦫꦺꦁ

Akasa' ḍâunna tènjhâng è ghir sèrèng
ꦲꦏꦱꦃꦝꦲꦸꦤ꧀ꦤꦠꦺꦤ꧀ꦗꦁꦲꦺꦒꦶꦂꦱꦺꦫꦺꦁ

Laon tambuna ombâ' è ghir sèrèng
ꦭꦲꦺꦴꦤ꧀ꦠꦩ꧀ꦧꦸꦤꦲꦺꦴꦩ꧀ꦧꦃꦲꦺꦒꦶꦂꦱꦺꦫꦺꦁ

Tèra' bulânna nèko lè'
ꦠꦺꦫꦃꦧꦸꦭꦤ꧀ꦤꦤꦺꦏꦺꦴꦭꦺꦃ

Tèra' bulânna nèko lè' paḍḍhâng samporna è ghir sèrèng
ꦠꦺꦫꦃꦧꦸꦭꦤ꧀ꦤꦤꦺꦏꦺꦴꦭꦺꦃꦥꦝ꧀ꦝꦁꦱꦩ꧀ꦥꦺꦴꦂꦤꦲꦺꦒꦶꦂꦱꦺꦫꦺꦁ




Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Prolog

Aktif menulis ya, Bund?

Ya mumpung cuti....meski masih mikirin kerjaan juga. Duh! Anda mengglorifikasi cuti sambil bekerja yha? 

Sekelumit percakapan dalam otak, setelah menyerupu kopi dingin bikinan Mbah saat azan maghrib tadi. Ini otak emang suka random. Hitung-hitung jadi prolog di tulisan kali ini yang mungkin agak panjang *cie*.

Isi

Jadi gimana? Kenapa Tiga Indra, bukan Tiga Dara?

Jadi, aku kepikiran buat tulisan ini karena setelah melakukan refleksi diri, masuk ke dalam tiap sel abu-abu, hingga terjadi hubungan kosmis yang transendental, ngomong opo cok aku pikir ternyata ada tiga indra yang membangkitkan kita (seenggaknya aku, sih) akan sesuatu.

Makanya judulnya tiga indra. Bukan karena Si Indra ada tiga orang. Bukan. Tapi lebih ke indra yang sense.

Suka kepikiran dan baru sadar juga, kalo tiga indra ini yang bikin otakku nge-rewind ingatanku terhadap suatu hal. Indra apa aja tuh?

Indra Pendengaran. Indra yang suka mendengar.


Ilustrasinya dengerin musik via Unsplash/Daniel Fontenele

Jujurly, aku termasuk orang yang katanya punya ingatan kuat. Meski kadang suka lupa juga haha. Ngerti kan ya ingatan kuat tuh maksudnya gimana? Nah setelah 27 tahun hidup sebagai manusia baru nyadar aku bisa deja vu atau apalah suatu kejadian dan orang jadinya.

Jadi misal aku denger album RAJAKELANA-nya Mondo Gascaro, duh langsung itu ingatan pas masih hidup di Maluku Utara keluar semua. Atau ketika dengerin lagu-lagu Stars and Rabbit x Bottle Smoker yang Pieces That Fit jadi inget kamar kos yang sebelumnya haha.

Suka random sih tapi nyata kejadian.

Oh ya, dulu-dulu aku pernah download pdf gitu isinya tes kecerdasan jaman atau multiple intelligence. Jadi ada rangking kan tuh diurut dari yang paling pintar kitanya. Pintar bukan kaya di IQ gitu. Jadi ga ada skor mutlak. Cuma ranking kita cerdas di apa.

Nah aku termasuk orang yang cerdas di musik. Dimana orang yang punya kecerdasan musikal ini suka dengerin lagu kalo lagi beraktivitas, bersenandung, bisa mainin alat musik dan seterusnya.

Ini kayaknya bisa jelasin kenapa suatu lagu bisa bikin aku sedikit banyak ngerasa deja vu. Karena ya aku inget kejadian atau seseorang pas lagi dengerin suatu lagu.

Ya ga jarang sih suatu lagu ngingetin ke orang juga. Aku jadi inget suka "ngasih" suatu lagu buat people that I love yet I can't have. Dan kayanya sekarang masih kebiasaan gitu juga. Anjay! Haha udah gilak!

Ada enak ga enaknya. Kalo kenangan sama seseorang itu bagus ya enjoy tapi kalo yang nggak tetep UUS. Ujung-ujungnya sedih. Wkwk.

Indra Penciuman. Syukur belum anosmia.

    Nyium bunga bisa inget sesuatu via Unsplash/Ruslan Zh

Ini agak sensitif soalnya bagi alumni Kopet-19 anosmia begitu tersiksa dan sembuhnya juga ga serta-merta. Semangat buat #AlumniKopet!

Selain indra pendengaran, indra penciumanku juga agak sensitif. Kadang suka nyium dulu bebauan yang biasanya diikuti oleh kehebohan orang di sekitar. Ya meski ga sesensitif punya Jati Wesi atau Tanaya Suma.

Nah, ini aku sadari kayanya pas bulan Juni lalu. Jadi ceritanya berhasil check out salah satu jenama eau de perfume (EDP) lokal yang hype. HMNS The Perfection. Dari review orang-orang sih bilang wanginya kaya pria sukses lah, bapack-bapack lah, cool lah segala macem.

Di hidungku malah jauh dari itu semua. Alih-alih bau bapack-bapack dan semacamnya, EDP ini malah ngingetin pas hidup di Maluku Utara (yes, lagi!).

Kenapa? Karena baunya pala banget, dan ngerti lah kalo Maluku Utara juga salah satu produsen pala yang udah terkenal banget. Di situ aku berasa langsung ke pulau Bacan, liat petani pala jemur pala dan fulinya.

FYI, indra penciuman emang unik. Katanya, indra penciuman lebih dulu berkembang saat kita janin daripada indra lainnya. Makanya Ibu Suri Dee bikin buku Aroma Karsa karena kurang banyak literatur yang ngeksplorasi tema ini. Hm oke, udah kejauhan bahasnya.

Contoh lain pas lagi pdkt sama si onoh dulu, terus di bus ada orang yang pake pewangi yang mirip sama dia. Alhasil inget masa-masa jahiliyah suka pdkt tapi ga jadian. Hidup emang securang itu. F-word! 

Indra pengecap. Aman kaya penciuman.


Makanannya difoto biar a e s t h e t i c via Unsplash/Brooke Lark

Nah indra pengecap ini masih berhubungan dengan indra penciuman katanya. Jadi kalo ada masalah di indra pengecap, ada kemungkinan indra penciuman juga kena. Katanya sih ini.

Organ indra pengecap yang tak lain tak bukan adalah lidahku ini termasuk sensitif sih. Dari lidah bisa naik ke otak terus autorewind kejadian yang enak atau ga enak.

Ini lebih ke ingatan rasa sih. Kaya pertama kali makan bakcang, terus keinget rasa dan tekstur lalampa. Terus akhirnya inget kejadian-kejadian di Maluku Utara. Haha.

Ini berhubung sejak kerja di Bogor suka liwetan kalo di masa depan ada acara makan bareng, ndoprok, piringnya pake daun pisang kayanya bakal inget kenangan selama di Bogor. 

Dasar aku dan otak dan indraku.

Epilog

Ga tau di kalian kaya apa. Tapi emang sesuatu ini (kemunculan ingatan dan kenangan) sesuatu yang susah kita kontrol karena sifatnya otomatis di aku. Nah, yang bisa kontrol itu perasaan yang muncul setelahnya. Misalnya seneng, sedih, pengen nangis, nyesek, geli dan semacamnya.

Ya begitulah kira-kira pemirsa. Ingatan akan sesuatu yang biasa disebut kenangan emang suka random. Kadang enak, tapi makin gede makin banyak ga enaknya. Namanya juga hidup kan? Gimana kita bikin kenangan yang baik-baik aja sih.

Karena aku ga tau bakal nyium apa, nanti inget siapa atau apa! Haha.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Kamu kerap mengalami lewah pikir? Overthinking? Dan pikiran yang kadang berkecamuk dan susah diredam? Bagus! Selamat datang di dunia dewasa!

Sungguh saat menulis ini saya sedang berada di kondisi mental yang tidak nyaman. Kestabilan yang di minggu-minggu lalu ada, dalam dua minggu nampaknya sirna.

Saya harus setengah hidup setengah mati menjaga mood, tetap haha-hihi ketika bersama teman, dan terlihat biasa-biasa saja. Padahal dalam pikiran, beuhhhh rasanya mau melompat ini otak!

Makin dewasa (ehem), saya makin sadar bahwa membanding-bandingkan diri itu bukan suatu yang baik dan patut dilestarikan. Makin dewasa (ehem lagi), saya makin mengerti kalau alih-alih membandingkan diri (dan kepemilikan) dengan orang lain, baiknya kita membandingkan kita dengan versi kita sebelumnya.

Hah gimana tuh?

Iya, jadi coba bandingkan diri kita setahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun yang lalu. Bandingkan saat kita di masa sekolah menengah atau bangku kuliah. Apa yang sudah berubah menjadi baik? Sadarkah kalau kita sudah berjalan sejauh sekarang?

Berprogres yah! via Unsplash/Hayley Seibel

Jujur saya sedang mencoba mengerti dan merasakan hal-hal yang saya berhasil upgrade. Ini memang absurd, tapi kadang ini berhasil juga. Kita mencoba menggali hal yang dulu ada pada diri kita, eh sekarang udah ga ada.

Contoh, dulu saya ngga sikat gigi sebelum tidur. Entah kenapa suatu malam di 2013 saya mulai menyikat gigi sebelum tidur. Dan itu terjadi hingga sekarang! Sudah jadi kebiasaan.

Contoh lainnya saya dulu orangnya bodo amat dengan yang namanya pengeluaran. Pengeluaran seringkali tidak tercatat dan akhirnya melabeli diri boros. Ya padahal itu tindakan saya sendiri yang tidak disiplin. Akhirnya saya mulai mencatat pengeluaran saya. Setelah dievaluasi, saya ngga boros-boros amat kok. Malah saya sekarang jadi mikir ternyata saya termasuk pelit pada diri sendiri! Haha.

Sepertinya membandingkan dengan versi diri sebelumnya ini jadi salah satu contoh yang baik untuk ditiru dand diaplikasikan. Saya jadi ingat Apple selalu membandingkan produk saat ini dengan sebelumnya. Bukan membandingkan dengan produk lain. Akhirnya kita tau apa yang belum di-upgrade dari diri kita.

Harusnya saya juga sadar bahwa saya sudah banyak berubah. Dari orang yang ceplas-ceplos menjadi lebih agak mengerem omongan ketika berbicara. Ya meski menurut saya ngga harus jadi orang yang lemah lembut panas terik(?) juga sih. Tinggal dipersonalisasikan saja.

Ya, saya cocoknya pakai metode ini sih untuk memotivasi (dan menghibur) diri. Mungkin ini tidak cocok di kamu, atau malah cocok banget! Siapa tau, kan?

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Itu yang saya lontarkan (dalam hati, lalu dari mulut) ketika seorang teman menghidu aroma rilisan terbaru eau de parfum karya Christian Sugiono bersama HMNS: The Perfection.


Secara hiperbola, wangi berkas atas (top note) akan menarik imajinasi saya jauh ke abad pertengahan ketika rentetan kejadian dalam buku Nathaniel's Nutmeg terjadi.


Ada hubungan abstrak antara buku dan berkas aroma The Perfection yang sudah diterjemahkan menjadi Pulau Run.


Sehingga akhirnya menjadi "wangi tema" dari buku tersebut –setidaknya menurut saya pribadi. 


Kok gitu? Lanjut aja bacanya~

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Halo! Ini topik yang sensitif bagi sebagain orang, ya namanya juga krisis. Tapi sumpah, ini topik yang tidak akan habis dibahas semalam suntuk bak tugas membangun candi dalam semalam.

Krisis seperempat abad ini akan menemani kita hingga usia yang berbeda tiap orang, mungkin di menuju kepala tiga. Atau bahkan, sebelum itu? Mungkin.

Setidaknya untuk saya, fase ini masih menemani hingga sekarang. Tidak sampai terlalu akut, sih, overthinking-nya. Tapi tetap, membikin pikiran gundah gulana.


Anjing ras golden retriever sedang tersenyum via Unsplash/@JohnPrince

Tahun ini saya berusia 27 tahun, tetapi masih akrab sekali dengan krisis yang satu ini. Memikirkan secara berlebihan, dan tentunya masih mengalami kegalauan yang tak habis-habis.

Bersyukur sebenarnya kegalauan ini tak terbatas, karena artinya saya masih bertahan. Masih hidup, dan ingin hidup. Masih ada yang harus dicapai, diraih, dan dikerjakan.Masih ingin mengalami jatuh dan bangun.

Abdi, kamu kuat. Kamu bertahan, kamu berjuang, kamu hidup, dan menghidupi. Tetaplah hidup (dan menghidupi)!

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Setelah "dierami" selama dua bulan lebih, akhirnya tulisan ini saya tetaskan. Sebelumnya tulisan ini saya beri judul ala-ala "2020Wrapped", tetapi tidak jadi karena terlalu banyak rasanya yang perlu ditumpahruahkan. Maka izinkanlah saya bercerita bagaimana selama pandemi, ada sesuatu kebermanfaatan yang kita telurkan.

Omong-omong, dari tadi kata yang dipilih tidak jauh dari konteks peternakan ayam ya? Coba perhatikan diksi "dierami", "tetaskan", dan "telurkan".

Jadi selama 2020, saya sok sibuk menyiapkan proyek Wikipedia bahasa Madura.

Loh Wikipedia ada versi bahasa daerah?

Sudah tentu ada! Sekarang saja sudah ada 13 bahasa daerah di Indonesia yang sudah ada versi Wikipedia-nya!

Nah, selama 2020 saya dan beberapa teman kontributor rajin menulis artikel berbahasa Madura di Wikipedia. Sebelum "menetas", Wikipedia ini diujicoba konsistensinya berdasarkan artikel yang ditulis oleh kontributor selama beberapa bulan. Jika konsisten, maka Wikipedia bahasa daerah ini dipertimbangkan untuk diberi domain sendiri.

Cerita lengkap tentang proses penetasan Wikipedia bahasa Madura bisa dibaca di sini ya!

Ternyata, selain masih bisa bertahan hidup di tengah pandemi, saya dan teman-teman lain juga melakukan hal positif lainnya. 

Lahirnya Wikipedia bahasa Madura ini tentunya menambah eksistensi bahasa daerah di dunia maya. Agar tak lekang oleh zaman, dan tentunya bisa melestarikan sedikit apa yang kita ketahui.



Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Langit dan laut saling membantu
Mencipta awan hujan pun turun
Ketika dunia saling membantu
Lihat, cinta mana yang tak jadi satu?
Lihatlah, arahkan pandanganmu ke langit di atas dan laut di bawahnya. Pernahkah kau berpikir bahwa mereka saling bekerja sama meski tak saling bersentuhan? Meski tak ada tangan yang saling menjabat? Diam-diam, awan tercipta dari kebisuan mereka berdua. Keduanya mungkin terlihat diam, tapi saling membantu. Keduanya mungkin saling diam, tapi bisakah kau amati ada cinta dari mereka berdua? Cinta yang tidak perlu terlihat, tapi begitu bergelora. Mereka bisa saja terlihat tak acuh, tapi  mereka satu.

Kau memang manusia sedikit kata
Bolehkah aku yang berbicara?
Kau memang manusia tak kasat rasa
Biar aku yang mengemban cinta
Lamat-lamat kusadari, aku bersamamu. Seseorang yang mirip langit yang kita pandangi. Atau kau mirip laut? Ah, tak penting. Yang kutahu, kata-kata tak banyak keluar dari bibirmu. Tapi, tak lantas membuat kebersamaan kita hambar. Kesadaran itu menuntunku untuk bercerita lebih ke padamu. Karena kutahu engkau bukanlah penggombal, namun pendengar terbaikku. Aku lebih sering mendongeng ya, dipikir-pikir. Dan kaulah sang pendengar setia. Pun demikian tak lantas membuatmu ekspresif meski kau paham dongeng-dongengku. Tak apa, melihat dan bersamamu saja aku sudah bungah. Rasa-rasanya, aku saja yang menikmati kebersamaan ini? Semoga saja tidak. Karena kuharap kita seperti langit dan laut diam namun bekerja.


Awan dan alam saling bersentuh
Mencipta hangat, kau pun tersenyum
Ketika itu kulihat syahdu
Lihat, hati mana yang tak akan jatuh
Hei, perhatikan awan yang kian melambung tinggi. Menyatu menjadi bagian dari tatanan alamsemesta, menyentuh langit-langit langit tak terbatas. Rasakan hangat yang ia hasilkan. Kulihat kau tersenyum tipis. Tak terlalu kasat mata memang, tapi aku bisa merasakan kehangatan yang kau rasakan jua. Di sini, di titik ini aku tak sekadar bersamamu rasanya. Tapi aku merasa menjadi satu, menjadi kita. Syahdu. Aku rasa, aku pun jatuh. Hatiku jatuh. Jatuh dalam kehangatan dan kesyahduan senyummu. 


Kau dan aku saling membantu
Membasuh hati yang pernah pilu
Mungkin akhirnya tak jadi satu
Namun bersorai pernah bertemu
Awalnya tak saling sentuh, langit dan laut akhirnya menjadi satu. Kita pun demikian. Semula adalah individu tersendiri, akhirnya menjadi satu. Tak hanya menjadi satu kurasa, tetapi saling membantu. Mulanya kita membasuh hati sendiri-sendiri, namun sekarang kita saling membasuh. Airku, airmu juga. Tak boleh lagi ada pilu di hati kita. Kalaupun ada, kau dan aku bersiap untuk membasuh hati-hati kita. Jujur, aku nikmati kebersamaan kita. Di akhir hari, akhirnya kita harus merelakan jika tak bersama lagi. Hatiku dan hatimu mungkin pernah jadi satu. Begitu, aku masih bersyukur kita bersama untuk beberapa waktu. Aku tak menyesal sekalipun, seperti langit dan laut yang tak lelah mencipta awan meski --sekali lagi-- mereka tak saling satu.


****

Beberapa waktu lalu di Twitter, ramai-ramai penggunanya mengomentari kata-kata Nadin Amizah saat konser. Pasalnya, sebelum menyanyi ia memberikan kata-kata pembuka sebelum menutup penampilannya.

Ada yang bilang cringe dan kata-kata bully lain pada penyanyi yang tahun ini baru meluncurkan albumnya. Ya terserah mereka mau berkomentar apa. Tapi, apa mereka punya pilihan untuk tidak melakukannya. Karena akhirnya, lewat cuitannya meminta maaf karena dia kadang grogi kalau tidak berkata-kata demikian.

Warga +62 memang ada-ada saja.

Sebenarnya aku sudah pernah mendengar lagu ini. Tapi karena ada ramai-ramai di linimasa Twitterku, maka aku dengar lagi dan lagi. Akhirnya aku berkesimpulan bahwa....aku sedang di momen ini. Momen untuk merelakan kalau boleh kubilang.

Ya, kadang dalam hidup kita bertemu orang untuk belajar dari apa-apa yang pernah kita lakukan bersamanya. Mungkin seperti inilah interpretasiku.

Ambyar juga harus berulang-ulang mendengarkan dengan kondisi kejiwaan yang sedang naik turun bak menaiki wahana rolles coaster. Tapi sadarlah, ini pelajaran. 


Bogor coret, 24 Oktober 2020.

Ditemani hujan, petir, kilat, dan rembesan air di tembok.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Hei, kamu. Semoga semesta menunjukkan tulisan ini untukmu.

Jadi, temanku bilang aku cukup persisten saat mengirim pesan ke padamu yang seringnya meninggalkanku dengan tanda "Read" saja.

Dia bilang aku persisten. Gigih, dalam mengirim pesan. Entah hanya bertanya kabar atau basa-basi. Padahal dalam hati aku mau juga dikirim pesan pertama. 

Tapi, ya sudahlah. Dalam hati aku sudah bulat bahwa aku yang akan berperan sebagai "pemberi". Ini konsekuensinya.

Aku lelah, jujur. Tapi tak aku sampaikan saja padamu. Biar semesta yang akhirnya menunjukkannya.

Menjadi pemberi itu melelahkan, aku sadar. Tapi hidup tak cuma tentang mengambil apa yang bertebaran, memanen apa yang ditanam. 

Jadi aku masih percaya bahwa mungkin di kehidupan sebelumnya aku terlalu banyak mengambil, sedikit memberi. Saatnya untuk memberi sebanyak-banyaknya. Selapang-lapangnya.

Airku, airmu juga. Tak 'kan kemana.

Mungkin kalau saat ini --di masa pandemi-- kita harus jarang bertukar kabar, mungkin seterusnya kita akan bersama? Ya. Aku harap begitu. Meski terdengar agak berhalusinasi tapi tak apa. 

Jadilah pemberi, karena yang kauberi tak kan juga kemana.

Memberi via Unsplash


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Minggu ini saya merasa agak mampu menerapkan tindakan --yang sekali lagi menurut saya-- sudah sesuai dari buku Filosofi Teras karangan Om Manampiring. Atur yang bisa diatur, jangan terlalu khawatirkan yang tidak bisa diatur.

Sebenarnya saya sudah mendengar ucapan serupa saat menggarap skripsi, di semester 8. Di dunia ini memang ada hal yang tidak bisa kita atur, namun ada juga yang bisa kita atur. Nah, hendaknya kita bisa berfokus pada hal yang bisa kita atur saja.



Tapi namanya manusia, terkadang masih belajar untuk menerima hal yang tak bisa diatur tadi. Terlalu memikirkannya sehingga lupa akan sesuatu yang seharusnya bisa kita kendalikan.

Dalam buku Filosofi Teras juga disebutkan dikotomi kendali, yang meletakkan dasar bahwa ada beberapa hal yang perlu kita fokus untuk kendalikan.

Entah saya sedikit demi sedikit sudah bisa menerapkan tindakan-tindakan ala stoic atau tidak, tapi saya merasa lebih damai. Dengan cara memfokuskan diri pada hal-hal yang bisa kendalikan.

Bicara masalah kendali, nampaknya kita punya otoritas penuh atas apa yang sudah kita pilih. Kita merdeka sepenuhnya.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Bulan-bulan belakangan ini, saya makin tidak karuan. Mood naik turun. Kadang bisa saya kendalikan, tetapi sebagian besar biasanya tidak.

Saya juga tidak bisa mengeksplorasi sekitar (baca: Jakarta), tidak ada dick dating appointment, maupun pengalaman berjalan-jalan yang menyenangkan. Sebabnya adalah suatu yang tidak bisa kita kendalikan: pandemi.

Pandemi memang mengubah hampir seluruh tatanan kehidupan diri dan masyarakat. Mulai dari biasanya kita bebas pergi kemana saja sampai berbaju apa saja tanpa perlindungan.

Saya rasa para ekstrover juga mengalami hal yang menjadikan hidup mereka berada di titik nadir kehidupan. Pertemuan secara langsung dibatasi, pertemuan daring meningkat. Tentu ini akan menurunkan getaran pengalaman bertemu orang secara fisik. Dan itu membuat saya --dan mungkin ekstrover lainnya-- merasa dunia sudah kiamat.

Pergi kemana saja nampaknya harus dipikir dua kali kalau tidak penting-penting amat.

Hei! Tapi.... di situ letak masalahnya!

Sebagai seorang ekstrover yang suka spontanitas dan bersosialiasi dengan orang baru, itu yang hilang! Ini mungkin tidak terikat dengan kepribadi, sih, memang. Tapi, mari kita selami pernyataan itu bersama.

Adanya banyak trait manusia, salah satunya adalah suka bertualang dan berkenalan dengan orang baru. Saya misalnya.

Saya bisa dibilang suka bertualang, mengeksplorasi hal baru, mengalami hal-hal yang menyenangkan sampai yang tidak mengenakkan. Itu yang harus saya rasakan sebagai manusia: mengalami.

Berjalan-jalan spontan tanpa rencana adalah jalan untuk merasakan itu semua. Dan itu akan kita catat di memori kita, yang entah suatu hari dan kepada siapa nantinya akan kita ceritakan.

Ilustrasi oleh Benjamin Davies di Unsplash

Kembali ke zaman pagebluk pandemi sialan ini, rasa-rasanya tidak semua bisa merasakan hal itu. Saya, yang juga punya trait mudah paranoid ini adalah salah satunya.

Akibat pandemi, saya menjadikan dunia dan aktivitas luar ruangan menjadi momok menakutkan. Ya meski sudah ada pernyataan umum kalau nanti bisa sembuh sendiri dan orang berusia lanjut yang akan terdampak berat tetap saja tidak menciutkan paranoid saya tadi.

Selain menjadikan dunia dan aktivitas luar sebagai bahan bakar paranoid, saya juga jadi sering merasa tidak aman ketika berada di dekat orang-orang. Apalagi jika mereka berasal atau pernah ke luar tempat saya tinggal. Rasa-rasanya ingin membungkus diri dengan hazmat!

Tapi hasrat itu saya tahan, karena selain hazmat harganya mahal ternyata berdasarkan penuturan orang-orang, memakainya pun tidak nyaman. Apalagi itu cuma sekali pakai! Menghabiskan uang saya saja rasanya. Duh!

Nampaknya, saya membiarkan diri saya dimakan paranoid tak berkesudahan. Api keberanian yang biasanya berkobar tak kunjung padam entah kemana. Mungkin kalah dengan suhu rendah dan lembab kaki Gunung Salak? 

Apalagi setelah membaca artikel Remotivi ini, saya makin menjauh dari dunia luar. Hubungan dengan orang lain sebatas digital, seperti lagu Mardial bersama Ramengvrl ini.

Berjalan-jalan tanpa tujuan itu penting.

Kita mungkin tidak tahu akan kemana. Tapi, sembari duduk anteng di kendaraan umum kita bisa membaca review tempat nongkrong yang bagus maka kita bisa ke sana.

Atau, rencana awalnya ingin ke suatu tempat, ternyata karena bisikan gut feeling jadi berbelok arah ke tempat lain. Eh ternyata tempat baru yang dituju lebih jelek atau pelayanannya kurang memuaskan! Haha.

Itu semua asyiknya pergi kemana-mana dengan tujuan yang tidak penting-penting amat. Ada keseruan di situ tersendiri di situ. 

Dan pastinya berbeda dengan bepergian dengan tujuan yang penting, yang saklek. Asal sampai tujuan, mengurusi hal-hal penting, setelah beres, langsung pulang. Nikmatnya dimana? Can't relate anymore.

Omong-omong tentang mengalami, saya jadi ingat suatu bagian di buku Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh.

Cinta adalah mengalami.
 
Dengan berkurang bertualang tanpa kepentingan di situasi pandemi ini, saya jadi kurang mengalami. Saya kurang mengalami hal-hal di luar dugaan. Dan sepertinya saya butuh asupan mengalami tadi. 

Jika cinta adalah mengalami, apakah artinya saya juga kekurangan cinta? Apakah itu yang saya dambakan?

Atau, itukah jawabnya?
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
I woke up in not-so-fit condition. I dreamt about you, or at least my mind told me that the person was you.

At that time, your lips didn't moving, meaning you didn't talk to me nor everyone. You remained silent. 

I was happy yet sad when I woke up, opening my eyes without your presence around me. It got me saddened when I realised that lately, we're kind of loose contact. Not so frequent.

On recent days, friends of mine also striked by unlucky situation in their loves. Broke-up if I might supposed.

Finally it striked me as well even though we're not officialy in relationship but I feel theirs. Lost is humans' best friend at the end of the day. So do I.

Badai melankoli menerpa via Sasha Freemind/Unsplash

Honestly, I want to make many memories with you, not just dream. It's true, today was your visit to me. But, please don't come again. I need to make memories with you, not only dreams. 

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Dunia sedang berada dalam masa pandemi. Sedikit banyak, pandemi mengubah sendi-sendi kehidupan baik individu hingga komunitas. Di tengah situasi pandemi yang berubah, banyak laku baru yang menggeser kebiasaan lama.

 

Misalnya, menjaga jarak aman ketika sedang berkumpul. Paling tidak sediakan ruang 1,5 meter dengan orang lain agar risiko penularan bisa diminimalkan. Lainnya adalah membiasakan diri untuk bekerja dari rumah. Hal ini dialami oleh sebagian orang yang tugasnya bisa dilakukan dimana saja.


Rindu ke festival musik via Krists Luhaers/Unsplash

Menjadi ekstrover di tengah keterisolasian tentunya sangat menyiksa. Biasanya setiap hari kerja selalu dipenuhi canda tawa rekan sekantor. Namun kini binasa karena sebagian besar staf bekerja dari kediaman masing-masing.

 

Selain itu, kehidupan bergaul yang di masa sebelumnya bisa dengan mudah dijalankan kini harus ditinggalkan. Tiada lagi pergi ke kedai kopi, pergi menonton film, menyaksikan pagelaran musik, dan bervakansi.

 

Tentu ini sangat bertolak belakang dengan sifat manusia yang merupakan makhluk sosial, yang selama ini dilakukan dengan bertemu dan bercengkerama secara fisik.

 

Saya sendiri yang sudah melakukan bekerja dari rumah sejak akhir Maret sangat tersiksa dengan adanya kebijakan ini. Berkegiatan di luar rumah harus dikurangi. Bertemu dengan teman sepermainan juga. Belum lagi tidak adanya pertunjukan musik yang diselenggarakan. Ini membuat kebiasaan selama ini erat hubungannya dengan seorang ekstrover menghilang,

 

Sebulan rasanya sudah cukup untuk membatasi diri untuk tidak pergi kemana-mana. Di rentang waktu ini pula, rasanya juga sudah cukup untuk mendetoksifikasi kegiatan yang nirfaedah selama menjadi seorang ekstrover (suka berbelanja, nongkrong, makan di luar).

 

Bagaimana pun juga, saya juga bersyukur karena sudah bertahan sejauh ini. Tetap kreatif dalam memenuhi tanggung jawab pekerjaan. Bertahan karena memang saya perlu bertahan dan menemukan vitalitas hidup.

 

Menjadi seorang ekstrover yang dibatasi pergerakannya cukup menantang. Termasuk menjaga pikiran agar tetap sehat dan waras sehingga masih bisa bekerja dengan optimal.

 

Saya juga harus mengakui bahwa saya masih manusia. Artinya, saya juga masih ada kekurangan. Saya harus mengakui itu, dan saya harus memeluk diri saya yang sudah lelah bertahan dengan pembatasan yang ada.

 

Di akhir akhir hari, terima kasih diri sendiri! Ternyata kamu begitu kuat dengan ketidaklaziman ini. Terus bertahan, dan jangan lupa menjadi manusia ya!


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Dua minggu ini terasa tidak produktif. Ingin rasanya untuk tidak merasa tidak produktif. Tapi apa daya, sepertinya memang sedang macet pikirannya.

Memalaskan diri via Isabela Kronemberger/Unsplash
Memalaskan diri via Isabela Kronemberger/Unsplash


Kalau dipikir-pikir ada beberapa yang menyebabkan saya dua pekan belakangan menjadi super tidak produktif, yakni:

  1. Bulan puasa, dimana segalanya terasa terkungkung. Dalam ajaran Islam, selama bulan puasa setan dipenjara tidak boleh berkeliaran menggoda manusia. Karena jiwa saya sebagian adalah terdiri dari serpihan-serpihan setan, maka saya memang merasa terkungkung. Dan ini sangat tidak nyaman.
  2. Hubungan yang tidak "sefrekuensi" lagi dengan teman bermain. Maksudnya teman bermain di sini adalah yang saya temui sehari-hari. Mereka puasa sedangkan saya tidak (sama sekali!) Ya meski mereka toleran dengan membiarkan saya makan di hadapan mereka tapi tetap rasanya tak sama.
  3. Efek macet karena tidak pernah ngopi di luar karena pandemi. Selama pandemi memang kami menghentikan kegiatan ngopi cantik di luar. Boro-boro mau ngopi, ke luar bangunan tempat tinggal saja rasanya jarang sekali. Kecuali membeli makanan untuk mengisi perut yang kosong.
Sebenarnya masih banyak yang menjadi ganjalan, tapi itu tiga penyebab yang membuat pikiran macet, akhirnya tidak produktif.

Padahal saya sudah menghibur diri dengan belanja secara daring, menonton Neflix, membaca buku-buku baru tapi tetap saja masih amcet.

Apa mungkin ini fase? Ya saya rasa juga begitu. Nanti kalau sudah lewat fasenya pasti produktif (saya meyakinkan diri sendiri).

Sepertinya saya harus menulis agar bisa meluapkan segala emosi negatif yang sudah tak terbendung lagi.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Halo! Kembali lagi dengan rubrik Kotak Musik. Dimana di rubrik ini membahas tentang review atau interpretasi dari sebuah lagu.

Pertama kali mendengar lagu Serenata Jiwa Lara ini langsung suka! Mungkin karena sebulan terakhir juga sedang senang-senangnya mendengarkan genre Pop Kota.

Atau semesta sudah berkonspirasi? Karena di akhir tahun (iya, 31 Desember) saya mendengar Bersandar-nya White Shoes and The Couples Company digubah menjadi terdengar seperti lagu di lantai dansa!

Dan saya baru tahu itu genrenya Pop Kota. Akhirnya saya mencari-cari informasi tentang genre yang popular di era 80-an itu.

Di lagu ini, saya membayangkan seorang dara yang sedang berpetualang dalam lautan percintaan.

Mengendap-endap tatkala tengah malam menuju ke diskotek untuk bertemu pujaan hati. Berdansa, menjadi idola di lantai dansa sambil memacaki wajah dengan riasan yang sedikit menor. Tujuannya satu: menggaet hati pemuda.

Namun di ujung hari, dia sakit hati karena pemuda yang berhasil ia pikat hanya bermain-main. Mungkin konteksnya saat ini di-ghosting. Ditinggal saat sedang sayang-sayangnya. Kasihan!

Setidaknya itu imajinasi saya ketika mendengar, membaca lirik, dan menonton videonya. Apalagi di video resminya, Dian Sastro diajak untuk berkolaborasi. Imajinasi saya makin menjadi-jadi.

Tanpa casciscus lagi, silakan menyimak!

* * * *

Poster yang menggugah jiwa untuk segera ikut terjun ke lantai dansa via Instagram/Diskoria Selekta


Jeritan perih hati yang luka
Cinta sederhana kau buat merana
Bilang-bilang sayang lalu hilang tanpa bayang
Sesuka diri
Tak ‘ku sangka, hatiku bisa seluka ini. Mungkin kalau ia punya mulut, ia akan menjerit menahan perih. Perih karena percintaan yang selalu kandas di tengah jalan. Merana sudah hatiku kini. Sesederhana mencintai tapi tak berujung. Jeritan ini untukmu, wahai yang memulai semuanya, yang berkata manis bak madu namun menghilang di tengah jalan. Menghilang, berteleportasi diri ke dimensi lain, sesuka hatimu. Tanpa memikirkan diriku di sini.

Merona mata namun percuma
Kau anggap bercinta hanya tawa canda
Ajak 'ku bermanja dan pergi begitu saja
Ditelan bumi
Kau buat mataku merona tiap kita bertemu, tiap ‘ku terima kabar darimu. Ini hal yang diriku selalu tunggu. Tapi semua kandas saat kau menghilang. ‘Ku pikir, cinta dan hubungan ini akan menjadi segalanya bagiku, bagimu jua. Tapi aku salah. Kau hanya menganggap cinta ini lelucon belaka. Memang ini membuatku nyaman dengan segala candamu, tawamu yang menggelegar. Aku tenggelam dalam kata-katamu yang membuatku menjadi membutuhkanmu. Mengajakku bercanda dan bermanja ria. Tapi di ujung hari, kau bak ditelan bumi. Menghilang tanpa jejak. Tahukah kamu, aku merasa kehilangan!

Nyanyian hati, serenata jiwa yang lara sunyi
Aku pulang
Kau buat hati ini bernyanyi dengan nada yang lara. Nada yang keluar begitu sumbang, sampai-sampai ingin aku pulang ke peraduanku yang sunyi. Biarkan aku pulang ke peraduanku. Sendiri lagi, seperti sebelum mengenalmu.

Terbenam sudah mentari hati
Aku pulang
Tenggelam sudah rona matahari dalam hatiku. Tiba-tiba semuanya redup. Tak kulihat lagi pancaran kilau hati yang tampak memesona. Sirna sudah. Biarkan aku pulang, kembali ke peraduan sunyiku.

Gugur lagi asmara mewangi
Sorai gelora hati menepi
Tak ada bintang-bintang menari
Sendiri lagi, oh-oh-oh
Hati yang dulu penuh bunga warna-warni kini layu. Tak ada sisa wewangian yang dahulu semerbak di hati. Semuanya kerontang. Hati yang terbiasa bergelora ketika mendapat kabar darimu pun kini diam tergeletak tak berdaya. Lemas dan lemah. Kilau bintang-bintang di hati juga hilang sudah cahayanya. Tak ada lagi gerakan tari-menari bintang di hati. Hatiku kembali sendiri tanpa denyut yang bergelora. Huhuhuhu…..

Nyanyian hati, serenata jiwa yang lara sunyi menyepi
Kemana rasa yang kucari, bila kau tinggal 'ku sendiri
Jadi, dengan hatiku yang lara ini mau dibawa kemana? Aku pun tak tahu tujuannya selain pulang ke peraduan sunyi itu. Ke mana lagi akan kucari? Tak ada penuntun lagi. Tiada tempat lagi untuk melanjutkan ini semua. Percuma.

Maaf sayang, 'ku tak ingin melukai
Namun cinta ini bukan untukmu lagi
Maafkan daku, sayang. Ini aku lakukan agar kau tidak terlalu bersedih hati. Niatku tak ingin memberi sembilu pada hatimu. Hati ini, cinta ini bukan untukmu. Bukan kamu tujuannya. Sekali lagi, mohon maafkan diriku.

Oh, aku pulang, kasih
Agar kau temukan cintamu, belahan relung hati
Ya, ‘ku putuskan untuk pulang ke peraduanku untuk yang ke sekian kalinya lagi. Mungkin ini sudah jalannya. Mungkin dengan pulang ke peraduanku ini, aku bisa menemukan sisa-sisa rasa yang pernah ada. Yang pernah bergelimang di palung hati terdalam. Kau jua pulanglah, Kasih.



Share
Tweet
Pin
Share
1 comments
Newer Posts
Older Posts

Valar morghulis

About Me

Me, is an enigma --for you, for the universe and for I myself. I write what I want to write. Scribo ergo sum. I write, therefore I am.

Follow Me

  • spotify
  • goodreads
  • SoundCloud

Hot Post

Maester's Chamber

  • ▼  2024 (1)
    • ▼  Maret 2024 (1)
      • Merenungkan Eros dan Growing Into Love
  • ►  2023 (1)
    • ►  Januari 2023 (1)
  • ►  2022 (2)
    • ►  April 2022 (1)
    • ►  Januari 2022 (1)
  • ►  2021 (5)
    • ►  Oktober 2021 (2)
    • ►  Juli 2021 (1)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (1)
  • ►  2020 (38)
    • ►  Oktober 2020 (2)
    • ►  September 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (2)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (18)
    • ►  Januari 2020 (12)
  • ►  2019 (9)
    • ►  Desember 2019 (1)
    • ►  November 2019 (2)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Juli 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (2)
    • ►  Februari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  September 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (2)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Maret 2018 (1)
    • ►  Januari 2018 (1)
  • ►  2017 (21)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  Agustus 2017 (1)
    • ►  Juli 2017 (2)
    • ►  Juni 2017 (1)
    • ►  Mei 2017 (1)
    • ►  April 2017 (1)
    • ►  Maret 2017 (4)
    • ►  Februari 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (3)
  • ►  2016 (10)
    • ►  Desember 2016 (1)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  Oktober 2016 (1)
    • ►  Agustus 2016 (1)
    • ►  Juni 2016 (1)
    • ►  Mei 2016 (1)
    • ►  Maret 2016 (2)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (22)
    • ►  Desember 2015 (4)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  Oktober 2015 (1)
    • ►  September 2015 (1)
    • ►  Agustus 2015 (6)
    • ►  Juli 2015 (2)
    • ►  Juni 2015 (2)
    • ►  Mei 2015 (2)
    • ►  Maret 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (1)
  • ►  2014 (5)
    • ►  Desember 2014 (1)
    • ►  September 2014 (4)

Tags

acara berjalan-jalan dapur kamar renungan kamar tengah kotak musik perpustakaan ruang tengah taman belakang

Created with by ThemeXpose