Ekstover di Masa Pandemi
Dunia sedang berada dalam masa pandemi. Sedikit banyak, pandemi mengubah sendi-sendi kehidupan baik individu hingga komunitas. Di tengah situasi pandemi yang berubah, banyak laku baru yang menggeser kebiasaan lama.
Misalnya, menjaga jarak aman ketika sedang berkumpul. Paling tidak sediakan ruang 1,5 meter dengan orang lain agar risiko penularan bisa diminimalkan. Lainnya adalah membiasakan diri untuk bekerja dari rumah. Hal ini dialami oleh sebagian orang yang tugasnya bisa dilakukan dimana saja.
Rindu ke festival musik via Krists Luhaers/Unsplash
Menjadi ekstrover di tengah keterisolasian tentunya sangat menyiksa. Biasanya setiap hari kerja selalu dipenuhi canda tawa rekan sekantor. Namun kini binasa karena sebagian besar staf bekerja dari kediaman masing-masing.
Selain
itu, kehidupan bergaul yang di masa sebelumnya bisa dengan mudah dijalankan
kini harus ditinggalkan. Tiada lagi pergi ke kedai kopi, pergi menonton film,
menyaksikan pagelaran musik, dan bervakansi.
Tentu
ini sangat bertolak belakang dengan sifat manusia yang merupakan makhluk
sosial, yang selama ini dilakukan dengan bertemu dan bercengkerama secara
fisik.
Saya
sendiri yang sudah melakukan bekerja dari rumah sejak akhir Maret sangat
tersiksa dengan adanya kebijakan ini. Berkegiatan di luar rumah harus
dikurangi. Bertemu dengan teman sepermainan juga. Belum lagi tidak adanya
pertunjukan musik yang diselenggarakan. Ini membuat kebiasaan selama ini erat
hubungannya dengan seorang ekstrover menghilang,
Sebulan
rasanya sudah cukup untuk membatasi diri untuk tidak pergi kemana-mana. Di
rentang waktu ini pula, rasanya juga sudah cukup untuk mendetoksifikasi
kegiatan yang nirfaedah selama menjadi seorang ekstrover (suka berbelanja,
nongkrong, makan di luar).
Bagaimana
pun juga, saya juga bersyukur karena sudah bertahan sejauh ini. Tetap kreatif
dalam memenuhi tanggung jawab pekerjaan. Bertahan karena memang saya perlu
bertahan dan menemukan vitalitas hidup.
Menjadi
seorang ekstrover yang dibatasi pergerakannya cukup menantang. Termasuk menjaga
pikiran agar tetap sehat dan waras sehingga masih bisa bekerja dengan optimal.
Saya
juga harus mengakui bahwa saya masih manusia. Artinya, saya juga masih ada
kekurangan. Saya harus mengakui itu, dan saya harus memeluk diri saya yang
sudah lelah bertahan dengan pembatasan yang ada.
Di akhir
akhir hari, terima kasih diri sendiri! Ternyata kamu begitu kuat dengan
ketidaklaziman ini. Terus bertahan, dan jangan lupa menjadi manusia ya!
0 comments