Ekstover di Masa Pandemi

by - 7/08/2020

Dunia sedang berada dalam masa pandemi. Sedikit banyak, pandemi mengubah sendi-sendi kehidupan baik individu hingga komunitas. Di tengah situasi pandemi yang berubah, banyak laku baru yang menggeser kebiasaan lama.

 

Misalnya, menjaga jarak aman ketika sedang berkumpul. Paling tidak sediakan ruang 1,5 meter dengan orang lain agar risiko penularan bisa diminimalkan. Lainnya adalah membiasakan diri untuk bekerja dari rumah. Hal ini dialami oleh sebagian orang yang tugasnya bisa dilakukan dimana saja.


Rindu ke festival musik via Krists Luhaers/Unsplash

Menjadi ekstrover di tengah keterisolasian tentunya sangat menyiksa. Biasanya setiap hari kerja selalu dipenuhi canda tawa rekan sekantor. Namun kini binasa karena sebagian besar staf bekerja dari kediaman masing-masing.

 

Selain itu, kehidupan bergaul yang di masa sebelumnya bisa dengan mudah dijalankan kini harus ditinggalkan. Tiada lagi pergi ke kedai kopi, pergi menonton film, menyaksikan pagelaran musik, dan bervakansi.

 

Tentu ini sangat bertolak belakang dengan sifat manusia yang merupakan makhluk sosial, yang selama ini dilakukan dengan bertemu dan bercengkerama secara fisik.

 

Saya sendiri yang sudah melakukan bekerja dari rumah sejak akhir Maret sangat tersiksa dengan adanya kebijakan ini. Berkegiatan di luar rumah harus dikurangi. Bertemu dengan teman sepermainan juga. Belum lagi tidak adanya pertunjukan musik yang diselenggarakan. Ini membuat kebiasaan selama ini erat hubungannya dengan seorang ekstrover menghilang,

 

Sebulan rasanya sudah cukup untuk membatasi diri untuk tidak pergi kemana-mana. Di rentang waktu ini pula, rasanya juga sudah cukup untuk mendetoksifikasi kegiatan yang nirfaedah selama menjadi seorang ekstrover (suka berbelanja, nongkrong, makan di luar).

 

Bagaimana pun juga, saya juga bersyukur karena sudah bertahan sejauh ini. Tetap kreatif dalam memenuhi tanggung jawab pekerjaan. Bertahan karena memang saya perlu bertahan dan menemukan vitalitas hidup.

 

Menjadi seorang ekstrover yang dibatasi pergerakannya cukup menantang. Termasuk menjaga pikiran agar tetap sehat dan waras sehingga masih bisa bekerja dengan optimal.

 

Saya juga harus mengakui bahwa saya masih manusia. Artinya, saya juga masih ada kekurangan. Saya harus mengakui itu, dan saya harus memeluk diri saya yang sudah lelah bertahan dengan pembatasan yang ada.

 

Di akhir akhir hari, terima kasih diri sendiri! Ternyata kamu begitu kuat dengan ketidaklaziman ini. Terus bertahan, dan jangan lupa menjadi manusia ya!


You May Also Like

0 comments