• Home
  • Author
  • Send a raven!
spotify goodreads SoundCloud

Huis van Abdï

Diberdayakan oleh Blogger.
Langit dan laut saling membantu
Mencipta awan hujan pun turun
Ketika dunia saling membantu
Lihat, cinta mana yang tak jadi satu?
Lihatlah, arahkan pandanganmu ke langit di atas dan laut di bawahnya. Pernahkah kau berpikir bahwa mereka saling bekerja sama meski tak saling bersentuhan? Meski tak ada tangan yang saling menjabat? Diam-diam, awan tercipta dari kebisuan mereka berdua. Keduanya mungkin terlihat diam, tapi saling membantu. Keduanya mungkin saling diam, tapi bisakah kau amati ada cinta dari mereka berdua? Cinta yang tidak perlu terlihat, tapi begitu bergelora. Mereka bisa saja terlihat tak acuh, tapi  mereka satu.

Kau memang manusia sedikit kata
Bolehkah aku yang berbicara?
Kau memang manusia tak kasat rasa
Biar aku yang mengemban cinta
Lamat-lamat kusadari, aku bersamamu. Seseorang yang mirip langit yang kita pandangi. Atau kau mirip laut? Ah, tak penting. Yang kutahu, kata-kata tak banyak keluar dari bibirmu. Tapi, tak lantas membuat kebersamaan kita hambar. Kesadaran itu menuntunku untuk bercerita lebih ke padamu. Karena kutahu engkau bukanlah penggombal, namun pendengar terbaikku. Aku lebih sering mendongeng ya, dipikir-pikir. Dan kaulah sang pendengar setia. Pun demikian tak lantas membuatmu ekspresif meski kau paham dongeng-dongengku. Tak apa, melihat dan bersamamu saja aku sudah bungah. Rasa-rasanya, aku saja yang menikmati kebersamaan ini? Semoga saja tidak. Karena kuharap kita seperti langit dan laut diam namun bekerja.


Awan dan alam saling bersentuh
Mencipta hangat, kau pun tersenyum
Ketika itu kulihat syahdu
Lihat, hati mana yang tak akan jatuh
Hei, perhatikan awan yang kian melambung tinggi. Menyatu menjadi bagian dari tatanan alamsemesta, menyentuh langit-langit langit tak terbatas. Rasakan hangat yang ia hasilkan. Kulihat kau tersenyum tipis. Tak terlalu kasat mata memang, tapi aku bisa merasakan kehangatan yang kau rasakan jua. Di sini, di titik ini aku tak sekadar bersamamu rasanya. Tapi aku merasa menjadi satu, menjadi kita. Syahdu. Aku rasa, aku pun jatuh. Hatiku jatuh. Jatuh dalam kehangatan dan kesyahduan senyummu. 


Kau dan aku saling membantu
Membasuh hati yang pernah pilu
Mungkin akhirnya tak jadi satu
Namun bersorai pernah bertemu
Awalnya tak saling sentuh, langit dan laut akhirnya menjadi satu. Kita pun demikian. Semula adalah individu tersendiri, akhirnya menjadi satu. Tak hanya menjadi satu kurasa, tetapi saling membantu. Mulanya kita membasuh hati sendiri-sendiri, namun sekarang kita saling membasuh. Airku, airmu juga. Tak boleh lagi ada pilu di hati kita. Kalaupun ada, kau dan aku bersiap untuk membasuh hati-hati kita. Jujur, aku nikmati kebersamaan kita. Di akhir hari, akhirnya kita harus merelakan jika tak bersama lagi. Hatiku dan hatimu mungkin pernah jadi satu. Begitu, aku masih bersyukur kita bersama untuk beberapa waktu. Aku tak menyesal sekalipun, seperti langit dan laut yang tak lelah mencipta awan meski --sekali lagi-- mereka tak saling satu.


****

Beberapa waktu lalu di Twitter, ramai-ramai penggunanya mengomentari kata-kata Nadin Amizah saat konser. Pasalnya, sebelum menyanyi ia memberikan kata-kata pembuka sebelum menutup penampilannya.

Ada yang bilang cringe dan kata-kata bully lain pada penyanyi yang tahun ini baru meluncurkan albumnya. Ya terserah mereka mau berkomentar apa. Tapi, apa mereka punya pilihan untuk tidak melakukannya. Karena akhirnya, lewat cuitannya meminta maaf karena dia kadang grogi kalau tidak berkata-kata demikian.

Warga +62 memang ada-ada saja.

Sebenarnya aku sudah pernah mendengar lagu ini. Tapi karena ada ramai-ramai di linimasa Twitterku, maka aku dengar lagi dan lagi. Akhirnya aku berkesimpulan bahwa....aku sedang di momen ini. Momen untuk merelakan kalau boleh kubilang.

Ya, kadang dalam hidup kita bertemu orang untuk belajar dari apa-apa yang pernah kita lakukan bersamanya. Mungkin seperti inilah interpretasiku.

Ambyar juga harus berulang-ulang mendengarkan dengan kondisi kejiwaan yang sedang naik turun bak menaiki wahana rolles coaster. Tapi sadarlah, ini pelajaran. 


Bogor coret, 24 Oktober 2020.

Ditemani hujan, petir, kilat, dan rembesan air di tembok.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Hei, kamu. Semoga semesta menunjukkan tulisan ini untukmu.

Jadi, temanku bilang aku cukup persisten saat mengirim pesan ke padamu yang seringnya meninggalkanku dengan tanda "Read" saja.

Dia bilang aku persisten. Gigih, dalam mengirim pesan. Entah hanya bertanya kabar atau basa-basi. Padahal dalam hati aku mau juga dikirim pesan pertama. 

Tapi, ya sudahlah. Dalam hati aku sudah bulat bahwa aku yang akan berperan sebagai "pemberi". Ini konsekuensinya.

Aku lelah, jujur. Tapi tak aku sampaikan saja padamu. Biar semesta yang akhirnya menunjukkannya.

Menjadi pemberi itu melelahkan, aku sadar. Tapi hidup tak cuma tentang mengambil apa yang bertebaran, memanen apa yang ditanam. 

Jadi aku masih percaya bahwa mungkin di kehidupan sebelumnya aku terlalu banyak mengambil, sedikit memberi. Saatnya untuk memberi sebanyak-banyaknya. Selapang-lapangnya.

Airku, airmu juga. Tak 'kan kemana.

Mungkin kalau saat ini --di masa pandemi-- kita harus jarang bertukar kabar, mungkin seterusnya kita akan bersama? Ya. Aku harap begitu. Meski terdengar agak berhalusinasi tapi tak apa. 

Jadilah pemberi, karena yang kauberi tak kan juga kemana.

Memberi via Unsplash


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Minggu ini saya merasa agak mampu menerapkan tindakan --yang sekali lagi menurut saya-- sudah sesuai dari buku Filosofi Teras karangan Om Manampiring. Atur yang bisa diatur, jangan terlalu khawatirkan yang tidak bisa diatur.

Sebenarnya saya sudah mendengar ucapan serupa saat menggarap skripsi, di semester 8. Di dunia ini memang ada hal yang tidak bisa kita atur, namun ada juga yang bisa kita atur. Nah, hendaknya kita bisa berfokus pada hal yang bisa kita atur saja.



Tapi namanya manusia, terkadang masih belajar untuk menerima hal yang tak bisa diatur tadi. Terlalu memikirkannya sehingga lupa akan sesuatu yang seharusnya bisa kita kendalikan.

Dalam buku Filosofi Teras juga disebutkan dikotomi kendali, yang meletakkan dasar bahwa ada beberapa hal yang perlu kita fokus untuk kendalikan.

Entah saya sedikit demi sedikit sudah bisa menerapkan tindakan-tindakan ala stoic atau tidak, tapi saya merasa lebih damai. Dengan cara memfokuskan diri pada hal-hal yang bisa kendalikan.

Bicara masalah kendali, nampaknya kita punya otoritas penuh atas apa yang sudah kita pilih. Kita merdeka sepenuhnya.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Bulan-bulan belakangan ini, saya makin tidak karuan. Mood naik turun. Kadang bisa saya kendalikan, tetapi sebagian besar biasanya tidak.

Saya juga tidak bisa mengeksplorasi sekitar (baca: Jakarta), tidak ada dick dating appointment, maupun pengalaman berjalan-jalan yang menyenangkan. Sebabnya adalah suatu yang tidak bisa kita kendalikan: pandemi.

Pandemi memang mengubah hampir seluruh tatanan kehidupan diri dan masyarakat. Mulai dari biasanya kita bebas pergi kemana saja sampai berbaju apa saja tanpa perlindungan.

Saya rasa para ekstrover juga mengalami hal yang menjadikan hidup mereka berada di titik nadir kehidupan. Pertemuan secara langsung dibatasi, pertemuan daring meningkat. Tentu ini akan menurunkan getaran pengalaman bertemu orang secara fisik. Dan itu membuat saya --dan mungkin ekstrover lainnya-- merasa dunia sudah kiamat.

Pergi kemana saja nampaknya harus dipikir dua kali kalau tidak penting-penting amat.

Hei! Tapi.... di situ letak masalahnya!

Sebagai seorang ekstrover yang suka spontanitas dan bersosialiasi dengan orang baru, itu yang hilang! Ini mungkin tidak terikat dengan kepribadi, sih, memang. Tapi, mari kita selami pernyataan itu bersama.

Adanya banyak trait manusia, salah satunya adalah suka bertualang dan berkenalan dengan orang baru. Saya misalnya.

Saya bisa dibilang suka bertualang, mengeksplorasi hal baru, mengalami hal-hal yang menyenangkan sampai yang tidak mengenakkan. Itu yang harus saya rasakan sebagai manusia: mengalami.

Berjalan-jalan spontan tanpa rencana adalah jalan untuk merasakan itu semua. Dan itu akan kita catat di memori kita, yang entah suatu hari dan kepada siapa nantinya akan kita ceritakan.

Ilustrasi oleh Benjamin Davies di Unsplash

Kembali ke zaman pagebluk pandemi sialan ini, rasa-rasanya tidak semua bisa merasakan hal itu. Saya, yang juga punya trait mudah paranoid ini adalah salah satunya.

Akibat pandemi, saya menjadikan dunia dan aktivitas luar ruangan menjadi momok menakutkan. Ya meski sudah ada pernyataan umum kalau nanti bisa sembuh sendiri dan orang berusia lanjut yang akan terdampak berat tetap saja tidak menciutkan paranoid saya tadi.

Selain menjadikan dunia dan aktivitas luar sebagai bahan bakar paranoid, saya juga jadi sering merasa tidak aman ketika berada di dekat orang-orang. Apalagi jika mereka berasal atau pernah ke luar tempat saya tinggal. Rasa-rasanya ingin membungkus diri dengan hazmat!

Tapi hasrat itu saya tahan, karena selain hazmat harganya mahal ternyata berdasarkan penuturan orang-orang, memakainya pun tidak nyaman. Apalagi itu cuma sekali pakai! Menghabiskan uang saya saja rasanya. Duh!

Nampaknya, saya membiarkan diri saya dimakan paranoid tak berkesudahan. Api keberanian yang biasanya berkobar tak kunjung padam entah kemana. Mungkin kalah dengan suhu rendah dan lembab kaki Gunung Salak? 

Apalagi setelah membaca artikel Remotivi ini, saya makin menjauh dari dunia luar. Hubungan dengan orang lain sebatas digital, seperti lagu Mardial bersama Ramengvrl ini.

Berjalan-jalan tanpa tujuan itu penting.

Kita mungkin tidak tahu akan kemana. Tapi, sembari duduk anteng di kendaraan umum kita bisa membaca review tempat nongkrong yang bagus maka kita bisa ke sana.

Atau, rencana awalnya ingin ke suatu tempat, ternyata karena bisikan gut feeling jadi berbelok arah ke tempat lain. Eh ternyata tempat baru yang dituju lebih jelek atau pelayanannya kurang memuaskan! Haha.

Itu semua asyiknya pergi kemana-mana dengan tujuan yang tidak penting-penting amat. Ada keseruan di situ tersendiri di situ. 

Dan pastinya berbeda dengan bepergian dengan tujuan yang penting, yang saklek. Asal sampai tujuan, mengurusi hal-hal penting, setelah beres, langsung pulang. Nikmatnya dimana? Can't relate anymore.

Omong-omong tentang mengalami, saya jadi ingat suatu bagian di buku Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh.

Cinta adalah mengalami.
 
Dengan berkurang bertualang tanpa kepentingan di situasi pandemi ini, saya jadi kurang mengalami. Saya kurang mengalami hal-hal di luar dugaan. Dan sepertinya saya butuh asupan mengalami tadi. 

Jika cinta adalah mengalami, apakah artinya saya juga kekurangan cinta? Apakah itu yang saya dambakan?

Atau, itukah jawabnya?
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
I woke up in not-so-fit condition. I dreamt about you, or at least my mind told me that the person was you.

At that time, your lips didn't moving, meaning you didn't talk to me nor everyone. You remained silent. 

I was happy yet sad when I woke up, opening my eyes without your presence around me. It got me saddened when I realised that lately, we're kind of loose contact. Not so frequent.

On recent days, friends of mine also striked by unlucky situation in their loves. Broke-up if I might supposed.

Finally it striked me as well even though we're not officialy in relationship but I feel theirs. Lost is humans' best friend at the end of the day. So do I.

Badai melankoli menerpa via Sasha Freemind/Unsplash

Honestly, I want to make many memories with you, not just dream. It's true, today was your visit to me. But, please don't come again. I need to make memories with you, not only dreams. 

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Dunia sedang berada dalam masa pandemi. Sedikit banyak, pandemi mengubah sendi-sendi kehidupan baik individu hingga komunitas. Di tengah situasi pandemi yang berubah, banyak laku baru yang menggeser kebiasaan lama.

 

Misalnya, menjaga jarak aman ketika sedang berkumpul. Paling tidak sediakan ruang 1,5 meter dengan orang lain agar risiko penularan bisa diminimalkan. Lainnya adalah membiasakan diri untuk bekerja dari rumah. Hal ini dialami oleh sebagian orang yang tugasnya bisa dilakukan dimana saja.


Rindu ke festival musik via Krists Luhaers/Unsplash

Menjadi ekstrover di tengah keterisolasian tentunya sangat menyiksa. Biasanya setiap hari kerja selalu dipenuhi canda tawa rekan sekantor. Namun kini binasa karena sebagian besar staf bekerja dari kediaman masing-masing.

 

Selain itu, kehidupan bergaul yang di masa sebelumnya bisa dengan mudah dijalankan kini harus ditinggalkan. Tiada lagi pergi ke kedai kopi, pergi menonton film, menyaksikan pagelaran musik, dan bervakansi.

 

Tentu ini sangat bertolak belakang dengan sifat manusia yang merupakan makhluk sosial, yang selama ini dilakukan dengan bertemu dan bercengkerama secara fisik.

 

Saya sendiri yang sudah melakukan bekerja dari rumah sejak akhir Maret sangat tersiksa dengan adanya kebijakan ini. Berkegiatan di luar rumah harus dikurangi. Bertemu dengan teman sepermainan juga. Belum lagi tidak adanya pertunjukan musik yang diselenggarakan. Ini membuat kebiasaan selama ini erat hubungannya dengan seorang ekstrover menghilang,

 

Sebulan rasanya sudah cukup untuk membatasi diri untuk tidak pergi kemana-mana. Di rentang waktu ini pula, rasanya juga sudah cukup untuk mendetoksifikasi kegiatan yang nirfaedah selama menjadi seorang ekstrover (suka berbelanja, nongkrong, makan di luar).

 

Bagaimana pun juga, saya juga bersyukur karena sudah bertahan sejauh ini. Tetap kreatif dalam memenuhi tanggung jawab pekerjaan. Bertahan karena memang saya perlu bertahan dan menemukan vitalitas hidup.

 

Menjadi seorang ekstrover yang dibatasi pergerakannya cukup menantang. Termasuk menjaga pikiran agar tetap sehat dan waras sehingga masih bisa bekerja dengan optimal.

 

Saya juga harus mengakui bahwa saya masih manusia. Artinya, saya juga masih ada kekurangan. Saya harus mengakui itu, dan saya harus memeluk diri saya yang sudah lelah bertahan dengan pembatasan yang ada.

 

Di akhir akhir hari, terima kasih diri sendiri! Ternyata kamu begitu kuat dengan ketidaklaziman ini. Terus bertahan, dan jangan lupa menjadi manusia ya!


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Dua minggu ini terasa tidak produktif. Ingin rasanya untuk tidak merasa tidak produktif. Tapi apa daya, sepertinya memang sedang macet pikirannya.

Memalaskan diri via Isabela Kronemberger/Unsplash
Memalaskan diri via Isabela Kronemberger/Unsplash


Kalau dipikir-pikir ada beberapa yang menyebabkan saya dua pekan belakangan menjadi super tidak produktif, yakni:

  1. Bulan puasa, dimana segalanya terasa terkungkung. Dalam ajaran Islam, selama bulan puasa setan dipenjara tidak boleh berkeliaran menggoda manusia. Karena jiwa saya sebagian adalah terdiri dari serpihan-serpihan setan, maka saya memang merasa terkungkung. Dan ini sangat tidak nyaman.
  2. Hubungan yang tidak "sefrekuensi" lagi dengan teman bermain. Maksudnya teman bermain di sini adalah yang saya temui sehari-hari. Mereka puasa sedangkan saya tidak (sama sekali!) Ya meski mereka toleran dengan membiarkan saya makan di hadapan mereka tapi tetap rasanya tak sama.
  3. Efek macet karena tidak pernah ngopi di luar karena pandemi. Selama pandemi memang kami menghentikan kegiatan ngopi cantik di luar. Boro-boro mau ngopi, ke luar bangunan tempat tinggal saja rasanya jarang sekali. Kecuali membeli makanan untuk mengisi perut yang kosong.
Sebenarnya masih banyak yang menjadi ganjalan, tapi itu tiga penyebab yang membuat pikiran macet, akhirnya tidak produktif.

Padahal saya sudah menghibur diri dengan belanja secara daring, menonton Neflix, membaca buku-buku baru tapi tetap saja masih amcet.

Apa mungkin ini fase? Ya saya rasa juga begitu. Nanti kalau sudah lewat fasenya pasti produktif (saya meyakinkan diri sendiri).

Sepertinya saya harus menulis agar bisa meluapkan segala emosi negatif yang sudah tak terbendung lagi.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Halo! Kembali lagi dengan rubrik Kotak Musik. Dimana di rubrik ini membahas tentang review atau interpretasi dari sebuah lagu.

Pertama kali mendengar lagu Serenata Jiwa Lara ini langsung suka! Mungkin karena sebulan terakhir juga sedang senang-senangnya mendengarkan genre Pop Kota.

Atau semesta sudah berkonspirasi? Karena di akhir tahun (iya, 31 Desember) saya mendengar Bersandar-nya White Shoes and The Couples Company digubah menjadi terdengar seperti lagu di lantai dansa!

Dan saya baru tahu itu genrenya Pop Kota. Akhirnya saya mencari-cari informasi tentang genre yang popular di era 80-an itu.

Di lagu ini, saya membayangkan seorang dara yang sedang berpetualang dalam lautan percintaan.

Mengendap-endap tatkala tengah malam menuju ke diskotek untuk bertemu pujaan hati. Berdansa, menjadi idola di lantai dansa sambil memacaki wajah dengan riasan yang sedikit menor. Tujuannya satu: menggaet hati pemuda.

Namun di ujung hari, dia sakit hati karena pemuda yang berhasil ia pikat hanya bermain-main. Mungkin konteksnya saat ini di-ghosting. Ditinggal saat sedang sayang-sayangnya. Kasihan!

Setidaknya itu imajinasi saya ketika mendengar, membaca lirik, dan menonton videonya. Apalagi di video resminya, Dian Sastro diajak untuk berkolaborasi. Imajinasi saya makin menjadi-jadi.

Tanpa casciscus lagi, silakan menyimak!

* * * *

Poster yang menggugah jiwa untuk segera ikut terjun ke lantai dansa via Instagram/Diskoria Selekta


Jeritan perih hati yang luka
Cinta sederhana kau buat merana
Bilang-bilang sayang lalu hilang tanpa bayang
Sesuka diri
Tak ‘ku sangka, hatiku bisa seluka ini. Mungkin kalau ia punya mulut, ia akan menjerit menahan perih. Perih karena percintaan yang selalu kandas di tengah jalan. Merana sudah hatiku kini. Sesederhana mencintai tapi tak berujung. Jeritan ini untukmu, wahai yang memulai semuanya, yang berkata manis bak madu namun menghilang di tengah jalan. Menghilang, berteleportasi diri ke dimensi lain, sesuka hatimu. Tanpa memikirkan diriku di sini.

Merona mata namun percuma
Kau anggap bercinta hanya tawa canda
Ajak 'ku bermanja dan pergi begitu saja
Ditelan bumi
Kau buat mataku merona tiap kita bertemu, tiap ‘ku terima kabar darimu. Ini hal yang diriku selalu tunggu. Tapi semua kandas saat kau menghilang. ‘Ku pikir, cinta dan hubungan ini akan menjadi segalanya bagiku, bagimu jua. Tapi aku salah. Kau hanya menganggap cinta ini lelucon belaka. Memang ini membuatku nyaman dengan segala candamu, tawamu yang menggelegar. Aku tenggelam dalam kata-katamu yang membuatku menjadi membutuhkanmu. Mengajakku bercanda dan bermanja ria. Tapi di ujung hari, kau bak ditelan bumi. Menghilang tanpa jejak. Tahukah kamu, aku merasa kehilangan!

Nyanyian hati, serenata jiwa yang lara sunyi
Aku pulang
Kau buat hati ini bernyanyi dengan nada yang lara. Nada yang keluar begitu sumbang, sampai-sampai ingin aku pulang ke peraduanku yang sunyi. Biarkan aku pulang ke peraduanku. Sendiri lagi, seperti sebelum mengenalmu.

Terbenam sudah mentari hati
Aku pulang
Tenggelam sudah rona matahari dalam hatiku. Tiba-tiba semuanya redup. Tak kulihat lagi pancaran kilau hati yang tampak memesona. Sirna sudah. Biarkan aku pulang, kembali ke peraduan sunyiku.

Gugur lagi asmara mewangi
Sorai gelora hati menepi
Tak ada bintang-bintang menari
Sendiri lagi, oh-oh-oh
Hati yang dulu penuh bunga warna-warni kini layu. Tak ada sisa wewangian yang dahulu semerbak di hati. Semuanya kerontang. Hati yang terbiasa bergelora ketika mendapat kabar darimu pun kini diam tergeletak tak berdaya. Lemas dan lemah. Kilau bintang-bintang di hati juga hilang sudah cahayanya. Tak ada lagi gerakan tari-menari bintang di hati. Hatiku kembali sendiri tanpa denyut yang bergelora. Huhuhuhu…..

Nyanyian hati, serenata jiwa yang lara sunyi menyepi
Kemana rasa yang kucari, bila kau tinggal 'ku sendiri
Jadi, dengan hatiku yang lara ini mau dibawa kemana? Aku pun tak tahu tujuannya selain pulang ke peraduan sunyi itu. Ke mana lagi akan kucari? Tak ada penuntun lagi. Tiada tempat lagi untuk melanjutkan ini semua. Percuma.

Maaf sayang, 'ku tak ingin melukai
Namun cinta ini bukan untukmu lagi
Maafkan daku, sayang. Ini aku lakukan agar kau tidak terlalu bersedih hati. Niatku tak ingin memberi sembilu pada hatimu. Hati ini, cinta ini bukan untukmu. Bukan kamu tujuannya. Sekali lagi, mohon maafkan diriku.

Oh, aku pulang, kasih
Agar kau temukan cintamu, belahan relung hati
Ya, ‘ku putuskan untuk pulang ke peraduanku untuk yang ke sekian kalinya lagi. Mungkin ini sudah jalannya. Mungkin dengan pulang ke peraduanku ini, aku bisa menemukan sisa-sisa rasa yang pernah ada. Yang pernah bergelimang di palung hati terdalam. Kau jua pulanglah, Kasih.



Share
Tweet
Pin
Share
1 comments
Well, I supposed this is my last writing on #3haribercerita. 

I hate to say that I'm too clingy, detached, demanding to someone that I fond of. Well, that person that I never met.

Poor me. I set my expectation so high, as high as my ego. 

Finally I found myself plunged to the lowest. I'm dying right now. Decaying.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kemarin saya begitu kompulsif: membeli dua tiket pertunjukan grup musik yang berbeda.

Yang pertama di acara Fuse Experience. Alasan pertama saya ingin sekali menonton The Trees and The Wild (TTATW). Saya sudah lama ingin menyaksikan secara langsung pertunjukan mereka. Namun apa daya pembelian tiket yang murah (menurut saya) habis pada 24 Februari.

Ya memang saya salah sih, kemarin harinya saya tidak langsung membelinya. Yang bikin uring-uringan, saya sudah telanjur transfer ke Gopay pada hari Seninnya! Makin meradanglah kejiwaan saya.

Beruntungnya saat saya iseng melihat tiket pertunjukan Stars & Rabbit (SR) di aplikasi Gojek, muncullah tombol pembelian tiket Fuse Experience tadi! Sungguh hari yang berutung!

Langsung tanpa babibu lagi saya membelinya, untung saldonya berlebih!

Pertunjukkan kedua, adalah tentu SR seperti yang sudah saya tulis tadi. Setelah men-top up saldo Gopay, kembalilah saya membayar tiket pertunjukan Stars and Rabbit--dengan warna baru.

Saya penasaran sekali karena personelnya baru. Saya tidak mengikuti kiprah Elda sejak dari EVO Band, jadinya saya penasaran dengan personel baru dari EVO tadi.

Kita lihat, minggu depan saya akan menonton SR di M-Bloc, ada yang menonton juga?
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Hal paling tidak menyenangkan ketika sendiri di kamar di tengah hujan lebat. Hujan yang bukan lagi rintik terdengar menyeramkan.

Saya tidak masalah sendiri, tapi kalau di tengah hujan lebat --meski tanpa petir-- itu lain cerita. Yang saya takutkan adalah jika terjadi hal yang sangat tidak diinginkan, tanah longsor misal.

Meski rumah kontrakan saya tidak bersisian dengan tebing gundul, namun tetap perasaan paranoid itu ada. Rasa yang boleh dibilang lebay tapi itu harus saya akui.

PS: Di Bogor, ternyata jarang sekali hujan dengan kilat.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sejujurnya saya bingung mau menulis apa di tantangan 30 Hari Bercerita ini. Tapi sepertinya harus ada yang diceritakan.

Jadi, sebenarnya saya memiliki masalah dalam menentukan skala prioritas. Saya butuh ini, maka saya membeli itu yang prioritasnya bisa lebih rendah.

Selain itu, saya kadang kompulsif karena mendengar atau membaca sesuatu yang menurut saya menarik. Padahal tidak butuh butuh amat.

Minggu depan mungkin saya akan bertemu orang yang sudah lama berinteraksi di internet namun baru kali ini akan bertemu. Dan saya rasa saya butuh untuk upgrade penampilan.

Tapi yang saya beli malah shampoo. Ya, meski itu untuk jangka panjang tapi prioritas untuk meng-upgrade penampilan jadi terabaikan.

Begini hidup, selalu ada prioritas ada yang tidak 🙄
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Saya akhirnya tersadar, hari ini saya disadarkan oleh seseorang di Tinder.

Ketika saya bertanya: apakah kita pantas dicintai?, Tentu jawabannya: semua orang pantas.

Lalu dia bilang, tapi tidak semua bisa melihat cinta. Padahal cinta itu dimana-mana. Misal saat kita bernapas, itu ada bentuk cinta Yang Maha Agung mencintai umatnya.

Saya mengatakan bahwa cinta seperti itu yang saya maksud. Saya lebih merujuk kepada cinta dua orang: sebuah hubungan.

Dengan telak, dia membalas bahwa saya sebenarnya dikelilingi cinta. Cinta yang memang disediakan olehNya dalam bentuk lain: cinta dari persahabatan.

Saya tersentak karena penjelasannya yang mengagumkan. Saya akhirnya sadar, dan saya harus mengakui bahwa memang ada bentuk cinta lain yang tersedia untuk saya dan siap untuk direngkuh.

Merasa mencelos namun lega pada saat yang sama rasanya.

Namun saya berpikir, kenapa orang lain dengan mudahnya jatuh dalam hubungan percintaan? Dalam dua hubungan komitmen?

Apakah memang saya diberikan bentuk cinta yang lain dahulu sebelum bisa menggandeng cinta dalam arti hubungan (relationship)?

Entah, namun saya merasa bersyukur pernah "cocok" dengannya, dan bertukar isi kepala dengan dia :)
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Saya percaya saya adalah orang yang adaptif. Tingkat adaptasi saya untuk memulai percakapan sangat cepat. 

Namun, tingkat adaptasi fisik saya sepertinya tidak bsia dibohongi kalau melambat. Setidaknya itu yang saya rasakan.

Seminggu ini rasanya saya agak susah bernapas. Tenggorokan gatal, feses selalu cair (atau setidaknya lembek), dan ada ingus di hidung yang menyumbat.

Saya kira saya mau flu. Tapi ternyata tidak. Saya jadi teringat dua tahun yang lalu.

Jadi, di tahun 2017 dan separuh 2018 saya hidup di Ternate. Dengan rerata cuaca yang bisa dibilang panas lembab.

Ketika saya pindah ke Malang, cuaca ikut berubah. Perubahan dari panas lembab ke cuaca yang lebih kering membuat saya mengalami apa yang saya rasakan di paragraf ketiga.

Saya akhirnya harus menerima bahwa saya memang masih beradaptasi dengan iklim bagian barat pulau Jawa yang lebih lembab daripada di kampung halaman saya di Jawa bagian timur yang lebih kering.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Mungkin terlalu lebay ya judulnya. Aku pun belum pernah menonton filmnya, tapi biar ala-ala sahaja.

Jadi, dua hari kemarin adalah hari yang menguras energi raga. Benar-benar raga saja karena perjalanan panjang.

Perjalanan ini mengakibatkan pulang ke kamar kost yang laruh malam. Ingin sekali pulang sudah tersedia air hangat untuk membilas tubuh, tapi apa daya tidak ada.

Akhirnya harus berpuas diri dengan tidur lebih cepat meski pundak dan punggung pegal.

Ya tidak apa-apa selama kita menikmati, kan?
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Jadi, hari ini aku mengirim pesan kembali pada crush-ku di aplikasi Tinder. Aku sudah tidak keruan dan gregetan dibuatnya.

Dan tahukah kamu apa yang menjadi balasannya? Mengapa dia tidak membalas pesan terakhirku?

Karena tidak ada balasanku yang berarti bagi dia.

Memang bikin gemas anak satu ini! Bagaimana tidak? Dia dengan seenaknya bilang bahwa pesanku tidak berarti bagi dia?

Ya semesta, kenapa harus sepolos itu jawabannya? Aku bingung dibuatnya. Ingin melampiaskan emosi tapi sadar bahwa kami bukan siapa-siapa.

Ya meski sudah kenal dan me jadi siapa-siapa harus tetap menjaga emosi. Cukup sudah untuk hari ini, ya.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Baru mau menulis, ternyata aku doyong. Benar, saya hampir saja njomplang.

Saya duduk bersandar di kursi, saya memainkan sehingga menyerupai gerakan kursi malas. Yang bsia digoyang-goyangkan.

Karena terlalu bersemangat, kursi saya hampir jatuh dan saya berteriak heboh.

Ya, saya Heri. Alias heboh sendiri.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Hari ini sepertinya lagu yang saya putar berulang adalah lagu dengan genre pop kota. Genre ini dikenal juga dengan nama genre city pop.

Sungguh saya baru tahu bahwa genre ini populer di lantai dansa tahun 1980an. Dan ternyata telinga saya sudah lebih dahulu menikmatinya ketimbang pikiran saya.

Lewat lagu Selangkah Ke Seberang yang diaransemen ulang oleh White Shoes and the Couples Company (WSATCC), ternyata saya sudah menikmatinya. Meski namanya tak begitu saya kenal.

Hari ini mood saya tidak terlalu bersemangat. Rasanya overwhelmed sekali. Entah karena pengakuan yang saya buat semalem ketika sedang bersama dengan teman-teman atau apa.

Akhirnya meluncur jemari dengan mencari lagu Mariya Takeuchi di YouTube.

Perlahan saya cari lagu Plastic Love yang dia nyanyikan hampir setengah abad lalu ini. Ternyata, terdengar familiar karena sebelumnya saya mendengarkan gubahan Pablo Cikaso di lagu Bersandar milik WSATCC.

Puas berulang kali mendengar baik Bersandar dan Plastic Love, saya menemukan satu penyanyi Indonesia yang lagu-lagunya bergenre pop kota: Aya Anjani.

Saya langsung menyukai lagu-lagunya. Setidaknya, telinga saya tidak menolak atau merasa risi dengan deretan lagu Aya.

Lantas saya berselancar di Spotify dan menemukan daftar putar lagu-lagu bergenre pop kota, namun dalam bahasa Jepang.

Jiwa "jejepangan" saya kembali bergolak dari tidur panjangnya. Saya sepertinya jatuh cinta dengan genre satu ini.

Meski mood hari ini tidak begitu berkobar-kobar, tapi saya nobatkan hari ini sebagai Hari dengan Genre Pop Kota.

Karena sebagian besar lagu yang saya dengarkan hari ini bergenre pop kota. Agak susah sebenarnya untuk menggambarkan secara tepat, namun saya akan menambah mood dengan "pop kota".

Mood yang tidak terikat cuaca dan faktor abiotik lainnya. Ya.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Dua hari ini semacam punya kewajiban sebelum tidur: membaca 1 bab buku.

Ini dalam rangka mengejar target alih-alih memang menikmati alur bukunya.

Sebenarnya saya sudah merasa "berat" untuk menamatkan buku ini, judulnya Wuthering Heights.

Saya membeli karena ingin gaya-gayaan dan korban rekomendasi buku yang wajib dibaca versi zenius.

Sungguh jangan ditiru. Anda entah akan penasaran dengan alurnya atau hanya menggugurkan kewajiban saja.

Pada kasus saya, sangat jelas: memenuhi keegoisan diri.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Entah apa yang menginfeksi sehingga tiba-tiba aku diterpa panas dalam. Padahal aku ingat tidak meminum yang satu cangkir dengan orang lain.

Bisa dikatakan, transmisi akibat ciuman tak langsung tadi nol. Tapi kenapa panas dalam --yang mulai merembet apda flu-- kembali menyerang?

Memangnya aku kurang makan serat? Sayur? Buah? Mungkin saja. Mengingat, intensitas makan kedua jenis makanan tadi sangat berkurang.

Sepertinya hari-hari ke depan aku akan lebih sering sayur dan buah.

Untuk sekarang, ' kan kuambil pil vitamin C agar segera pulih. Semoga.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kalau sudah malas, ga sreg, bukan passion agaknya sudah untuk saya mengerjakan sesuatu.

Ini yang terjadi ketika saya membuat konten mengenai virus Corona baru atau yang dikenal 2019-nCoV.

Mulanya susah karena memang, topiknya agak tidak terlalu berhubungan secara langsung antara variabel ini dan itu.

Pun, presedennya terbatas dengan potensi. Inilah susahnya 

Karena potensi bisa saja terjadi di segala lini. 

Tapi, setidaknya saya sudah berusaha. Like akhirnya penambal rasa gamang tadi.

Gamang tidak bisa mengerjakan. Padahal tidak mengerjakan apa susahnya?
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Seperti inilah kalau lagi creative block, tiada inspirasi yang menghampiri. Kenapa bisa ya?

Setelah ditilik ternyata karena kurangnya berita mengenai suatu topik. Mau membuat topiknya? Eh keburu kena creative block tadi.

Seharusnya punya standar, misalnya satu unggahan tiap hari. Tapi ini tidak terjadi karena tidak ada artikel beritanya.

Ya, kadang hidup serumit itu.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Jadi ceritanya, saya kembali menanyakan pekerjaan saya. Apakah dengan mengunggah ke media sosial orang-orang akan berubah persepsinya?

Apakah akan berubah perangainya? Apakah akan berubah perilakunya?

Kalau dipikir-pikir, pekerjaan ini mudah, tapi menantang.

Agak tricky memang, tapi harus dijalani ya.

Sudah setengah tahun tapi serasa baru sebulan ini optimal melakukan "sesuatu" itu. Entahlah.

Mari kita nikmati setahun ke depan :)
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Hari ini rasanya senang. Pertama karena kerjaan, hal yang kedua karena pertinderan. Hehe.

Tapi, sampai kapan aku akan senang? Senang jua belum tentu produktivitas meningkat. Terus gimana?

Nah, itu pertanyaan yang sedang aku cari jawabannya. Senang ini apakah perasaan? Emosi? Mood? Atau apa?

Tapi yang jelas, senang tidak selamanya. Dia bergantian dengan macam emosi yang lain, sedih misalnya.

Ya, yang penting saat ini menikmati dan menyadari adanya senang dulu aja. Yang lain, biar waktu yang menjawabnya :)
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Inilah aku, yang apabila sedang menyukai sesuai pasti serasa terburu-buru

Inilah aku, yang kalau merasa malas bergerak, seperti mayit yang siap dikubur. Kaku, tak beranjak.

Inilah aku, yang masih muda namun kadang juga merasa bijak bak filsuf

Inilah aku, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang kadang ada kadang tiada. 

Aku, anehnya aku. Harus kuakui itu, wahai diriku.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Seharusnya hari ini aku menonton konser musisi indie. Sayangnya, hari ini temanku tidak jadi datang, karena haidnya terllau nyeri untuk diabaikan. Jadilah aku tidak jadi juga.

Memang kami membeli tiket saat masih murah, jadi tidak ada penyesalan juga.

Kalau tidak salah ingat, terakhir menonton band indie itu sekitar bulan November, di awal bulan. Kupikir tingal di Bogor bisa semudah itu menonton gigs namun tidak juga.

Tergantung jarak, waktu, tempat, dan biaya. Kupikir akan semakin mudah, tapi tidak juga.

Ya sudah, mungkin lain kali bisa menonton dengan artis yang lebih beragam dan kusukai!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sudah dua hari ini mengalami semacam writer's block. Seperti ada yang memblokir pikiran untuk mengeksekusi.

Kemarin, bingung memikirkan caption Instagram. Hari ini tidak tahu mau berbuat apa untuk content. Sungguhlah, hari ini menjadi hari pikiran yang terblokir.

Entah sampai kapan.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Today I feel quite Weary, both physically and mentally. 

On the morning, I should go to attend forum discussion regarding the new capital, and it could affect the biodiversity around it.

The discussion is interesting, and many insights I got from the QnA session. For example, many students and attendees worry about the next presidents who won't obey the "green city" concept that planned before.

It's important to know how our following government will apply certain mandate in the future. What if the president disobey previous mandate?

I myself to agree that we as citizens need to be assured about its sustainability, both biotic and abiotic matters.

At the end of the QnA session, one speaker said that we have to adaptable to the change. And together, we should watch and monitor the next step of this new capital.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Hari ini dapat mainan baru lagi: Canva. Ya itu, aplikasi desain yang banyak diminati content creator Instagram.

Tapi sedihnya, hari ini hari kedua tanpa belajar R. Begini nih kalau sedang bersemangat melakukan sesuatu. Harusnya dijaga ya, agar stabil. Tapi aku tidak bisa.

Aku tidak tahu sampai kapan akan bersemangat bermain dengan Canva. Di sisi lain aku ingin mengerjakan sesuatu yang lain, tapi masih kurang bersemangat.

Tunggulah saatnya aku bisa bersemangat untuk melakukan yang lain, hingga Canva sebagai mainan baru terganti oleh yang lain!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Dua Minggu sudah aku tidak ber-instagram ria. Sebenarnya masih menggunakan Instagram tetapi bukan memakai akun pribadi.

Kenapa tidak memakai akun pribadi? Ceritanya panjang. Mulai dari hp yang hilang sehingga harus install ulang sampai nomor hp yang ikut kandas.

Karena akunku memakai pengamanan ganda, dan nomor keamanannya dikirim ke nomor hp lama (yang hilang itu), jadi untuk masuk ke akun tidaklah mudah.

Ada serangkaian langkah yang malas aku ceritakan di sini.

Intinya dengan kebaikan administrator surel Instagram siang ini, akhirnya aku bisa masuk kembali mengoperasikan akun pribadiku. Syukurlah!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Flashback ke beberapa hari belakang, aku sedang menggemari pelajaran baru: yaitu bahasa R. Itu tuh, bahasa pemrograman yang katanya paling fleksibel dan banyak komunitasnya.

Aku akhirnya mendapat wawasan apa itu R, dan tentunya kegunaan nanti di bidangku. Ya semoga tetap konsisten di jalan R ya 😂

Sebelumnya aku mencari insight lewat berbagai aplikasi dan course gratis di internet tapi tiada hasil. Aku masih belum mengerti sama sekali.

Akhirnya aku buka laptopku pribadi, dan akhirnya menemukan aplikasi yang sudah terpasang di laptop dan sedikit mengulik dari internet. Voila! Akhirnya aku tercerahkan.

Sayangnya aku hanya bisa latihan R di kantor, karena laptopku nampaknya tidak terlalu mendukung RStudio -- nama aplikasi untuk menjalankan R.

Aku jadi berpikir untuk membeli laptop baru. Apakah mungkin? 🤔
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Virus corona baru jadi sorotan. Semua orang mulai membicarakannya.

Ada yang berpendapat, kebiasaan makan daging satwa liar penyebabnya.  Pendapat lain karena virus yang lepas dari laboratorium.

Pendapat pertama tentu ada dasar ilmiahnya, tapi pendapat kedua hanya berasal dari opini dan asumsi.

Tentu orang Indonesia lebih percaya pendapat kedua. Pathetic.

Apalagi jika Anda pendukung konsumsi satwa liar adalah oke-oke saja, tentu pendapat kedua lebih diterima. Atau Anda terlalu paranoid akibat menonton film serupa?
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Ternyata sudah lama ngga nulis. Kegiatan emang kadang suka menyita perhatian. Prioritas jadi bergeser. Tapi, itu esensi menjadi dewasa(?)

Seminggu ini memang agendanya seru.

Tanggal 22 lalu pergi edukasi ke Sekolah Global Jaya. Target edukasinya kelas 1 dan 2, yang masih unyu-unyu tapi aktif.

Tanggal 23, menjadi moderator diacara Obrolan Kamis Sore. Pembahasannya emang teknis banget, dan peneliti banget. 

Akupun sebagai moderator dibuat terdiam....meski ngga terdiam banget sih. Namanya moderator harus cuap-cuap. Beruntungnya juga aku mencatat beberapa catatan menarik, jadilah ada bahan untuk didiskusikan.

Kesibukan ini ideal sih. Bekerja di ruang oke, di luar pun juga boleh.

Masih nyaman dengan zona ini 🤗
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Jadi hari ini saya baru tahu salah satu job desk saya sebagai digital campaigner. Salah satunya selain membuat konten di website, adalah membuat konten visual di akun Instagram.

Nah, saya pikir konten visual di Instagram haruslah didesain dari awal. Namun ternyata tidak. Bisa saja foto dokumentasi dari artikel, atau screen capture yang diunggah. Nanti caption foto yang diunggah juga ditambahkan kalimat yang provokatif dan interaktif.

Ya meski tidak dengan gawai seperti ini via Unsplash


Ya ini berbeda tentunya dengan menjadi offline campaigner. Dimana kita bertindak langsung dan nyata. Di dunia maya nan digital ini, tentu cara berinteraksinya berbeda.

Tapi, selain mengunggah konten tentunya ada skill tertentu yang harus dipelajari juga, sih. Apa itu? Itu adalah desain dasar. Dan mungkin ke depannya juga bertambah dari tingkat dasar menjadi intermediate.

Dunia digital adalah dunia yang dinamis, orang yang berkecimpung juga harus dinamis. Banyak yang perlu dieksplorasi dan dipelajari. Inilah PR saya ke depannya.

Yuk enjoy yuk sama kerjaan!


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Hari adalah outing di kantor. Intinya seru sekali! Akhirnya menikmati menjadi peserta dari outing. Di pekerjaan sebelumnya biasanya saya menjadi fasilitator.

Sebenarnya yang menjadi seru ketika mengikuti kegiatan outdoor seperti ini adalah kita bisa menggila. Dan tentunya menunjukkan sisi gila adalah hal yang mengasyikkan --setidaknya untuk saya, sih.

Bukan masalah menang atau kalah, tapi memang lebih ke bagaimana kita akhirnya kita bisa tahu kelebihan dan kekurangan dalam tim. Apa saja yang bisa di-improve dan apa yang perlu dipertahankan.

Beberapa gim baru saya coba hari ini. Mulai dari take the ball, roulette, buta-tuli-bisu, paintball, sampai merangkai jembatan di akhir kegiatan.

Paintball via Unsplash

Ini sungguh menyenangkan karena memang sudah lebih dari satu tahun saya tidak melakukannya. Di pekerjaan sebelumnya, biasanya sebulan sekali minimal saya ikut, karena saya salah satu fasilitatornya.

Bersyukur saat menjadi staf baru di kantor ini, saya mencicipi outing bersama rekan sekantor. Sungguh pengalaman yang sangat mengesankan!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Hari ini hari baik. Mari saya buat daftar apa yang baik untuk saya hari ini, jadi saya lebih banyak bersyukur.

Pertama, saya berhasil membuat tulisan di situs gibbonesia. Tulisan ini adalah tulisan organik dan perdana saya. Penting untuk memnarik pengunjung ke situs ini, karena situs ini adalah wadah edukasi dan kampanye penyadartahuan tentang pentingnya melindungi owa.

Kedua, mood terjaga dengan baik. Biasanya ada saja di kantpr yang membuat tidak bergairah. Namun, hari ini berjalan sesuai dengan keinginan.

Ketiga, hari buah! Bagaimana tidak? Di sore hari, rekan-rekan kantor membeli durian. Dan tidak cuma sekali, melainkan sampai tiga kali!

Saya juga turut mencicipi buah kemang, yang ternyata masih satu genus dengan mangga dan kweni. Rasa cukup baru bagi saya. Dari segi rasa, menurut saya seperti nangka yang terfermentasi (atau tape?). Dari segi tekstur lebih seperti sawo. Dari segi wanginya seperti nangka, menyeruak alkohol --sepertinya.

Keempat, HP kantor yang dipesan sudah datang! Akhirnya ga harus pakai HP pribadi sewaktu mengoperasikan akun pekerjaan.

Harusnya di setiap harus sering-sering bersyukur ya. Semoga apapun yang terjadi, bisa tetap bersyukur.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Bukan. Tulisan kali ini bukan ingin membahas lagu karya .Feast yang berjudul sama. Tapi memang, sebuah kehilangan barang.

Tadi subuh, HP saya dicuri oleh orang tak dikenal. Kronologinya, saya dan teman-teman sedang beristirahat di balai-balai terbuka (tanpa pintu) yang kami sewa sebagai tempat berteduh. Sialnya, HP saya tersambung dengan headset dan tidak dimasukkan ke dalam kantong jaket. Jaket saya juga tidak memiliki kantong di dalam sehingga hanya saya taruh di bagian kupluknya.



Mungkin saking aktifnya saya tidur --mikir ke kanan dan kiri-- sehingga HP tersebut tergeletak. Dan itu sangat kentara terlihat. Orang tak dikenal itu langsung mengambil HP saya karena memang di balai itu bersifat terbuka. Tanpa dinding yang menutupi. Jadinya orang pun bisa mengambil dengan leluasa barang yang terlihat terlantar. Lagi pula kami tertidur pulas.

Sebuah keapesan di awal tahun ini semoga memberi banyak pelajaran berharga bagi saya, teman-teman dan yang sedang membaca tulisan ini. Semoga, Ya.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kembali menulis setelah tidak tahu harus menulis apa untuk menyambut 2020.

Berbicara menyambut tahun baru, terhitung sudah 3 tahun saya tidak menargetkan apa-apa. Tiga tahun belakangan juga tidak merasa tertantang untuk melakukan apa-apa karena saya merasa tidak tertantang.

Lagi pula, saya sendiri bukan orang yang terlalu ambisius untuk menentukan resolusi baru tiap tahunnya. Hal paling ambisius yang saya lakukan mungkin saat menghadapi semester terakhir sebagai mahasiswa tingkat akhir.

Di tahun itu saya menantukan target. Target yang ambisius: sempro di bulan ini, semhas di bulan ini, kompre di bulan ini, hingga yudisium di bulan ini. Ya meski tidak berjalan mulus setidaknya saya sangat merasa "berjuang" saat itu. Saya lantas menjadi orang yang paling berjuang!

Sepertinya saya butuh vakansi via Unsplash


Tahun 2020 ini sebenarnya saya menentukan beberapa target (buka resolusi), tapi sebatas di kepala saja. Tanpa menumpahkan pada sehelai kertas atau file di laptop.

Tapi, saya sadar, tanpa ditulis pun tantangan dan target selalu ada. Apalagi kalau kalian sudah bekerja. Barang tentu jelas!

Selain target yang sudah ditentukan oleh pekerjaan(!), di awal tahun ini saya menantang diri untuk mengikuti #30haribercerita. Meski saya akui saya bukan orang yang konsisten (baca: tidak suka rutinitas monoton), saya menantang diri saya untuk mengikuti gerakan digital ini.

Marilah kita lihat apakah saya bisa bertahan tanpa alpa dengan menulis selama 30 hari tiap harinya!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Valar morghulis

About Me

Me, is an enigma --for you, for the universe and for I myself. I write what I want to write. Scribo ergo sum. I write, therefore I am.

Follow Me

  • spotify
  • goodreads
  • SoundCloud

Hot Post

Maester's Chamber

  • ►  2024 (1)
    • ►  Maret 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Januari 2023 (1)
  • ►  2022 (2)
    • ►  April 2022 (1)
    • ►  Januari 2022 (1)
  • ►  2021 (5)
    • ►  Oktober 2021 (2)
    • ►  Juli 2021 (1)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (1)
  • ▼  2020 (38)
    • ▼  Oktober 2020 (2)
      • Interpretasi Lagu Sorai oleh Nadin Amizah
      • Persisten itu Melelahkan
    • ►  September 2020 (1)
      • Merasa Stoa
    • ►  Agustus 2020 (1)
      • Keresahan
    • ►  Juli 2020 (2)
      • Memories, Not Dreams
      • Ekstover di Masa Pandemi
    • ►  Mei 2020 (1)
      • Halo, Pekan Tidak Produktif
    • ►  April 2020 (1)
      • Interpretasi Lagu Serenata Jiwa Lara oleh Diskoria...
    • ►  Februari 2020 (18)
      • #30haribercerita: shouldn't end up this way
      • #30haribercerita: Kompulsif
      • #30haribercerita: Hujan Lebat
      • #30haribercerita: Prioritas
      • #30haribercerita: Susahnya Memahami Cinta
      • #30haribercerita: Beradaptasi Kembali
      • #30haribercerita: Dua Hari tuk Selamanya
      • #30haribercerita: Tidak Berarti
      • #30haribercerita: Aku Heri
      • #30haribercerita: Pop Kota
      • #30haribercerita: 1 Hari, 1 Bab
      • #30haribercerita: Panas Dalam
      • #30haribercerita: Apa ya?
      • #30haribercerita: Kembali Creative Block
      • #30haribercerita: Apa Bisa?
      • #30haribercerita: Terus?
      • #30hatibercerita: Inilah Aku
      • #30haribercerita: Tidak Jadi alias Batal
    • ►  Januari 2020 (12)
      • #30haribercerita: Block, blocking
      • #30haribercerita: Worries on New Capital Thing
      • #30harubercerita: Mainan Baru
      • #30haribercerita: Instagramku Kembali!
      • #30haribercerita: RStudio, Mainan Baruku
      • #30haribercerita: Tentang Isu Virus Corona Baru
      • #30haribercerita: Aku Mau Jadi Apa?
      • #30haribercerita: Oh gitu
      • #30haribercerita: Outing Kantor
      • #30haribercerita: Hari Baik, Hari Buah
      • #30haribercerita: Berita Kehilangan
      • #30haribercerita: Menantang Diri
  • ►  2019 (9)
    • ►  Desember 2019 (1)
    • ►  November 2019 (2)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Juli 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (2)
    • ►  Februari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  September 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (2)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Maret 2018 (1)
    • ►  Januari 2018 (1)
  • ►  2017 (21)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  Agustus 2017 (1)
    • ►  Juli 2017 (2)
    • ►  Juni 2017 (1)
    • ►  Mei 2017 (1)
    • ►  April 2017 (1)
    • ►  Maret 2017 (4)
    • ►  Februari 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (3)
  • ►  2016 (10)
    • ►  Desember 2016 (1)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  Oktober 2016 (1)
    • ►  Agustus 2016 (1)
    • ►  Juni 2016 (1)
    • ►  Mei 2016 (1)
    • ►  Maret 2016 (2)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (22)
    • ►  Desember 2015 (4)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  Oktober 2015 (1)
    • ►  September 2015 (1)
    • ►  Agustus 2015 (6)
    • ►  Juli 2015 (2)
    • ►  Juni 2015 (2)
    • ►  Mei 2015 (2)
    • ►  Maret 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (1)
  • ►  2014 (5)
    • ►  Desember 2014 (1)
    • ►  September 2014 (4)

Tags

acara berjalan-jalan dapur kamar renungan kamar tengah kotak musik perpustakaan ruang tengah taman belakang

Created with by ThemeXpose