• Home
  • Author
  • Send a raven!
spotify goodreads SoundCloud

Huis van Abdï

Diberdayakan oleh Blogger.

Dunia sedang berada dalam masa pandemi. Sedikit banyak, pandemi mengubah sendi-sendi kehidupan baik individu hingga komunitas. Di tengah situasi pandemi yang berubah, banyak laku baru yang menggeser kebiasaan lama.

 

Misalnya, menjaga jarak aman ketika sedang berkumpul. Paling tidak sediakan ruang 1,5 meter dengan orang lain agar risiko penularan bisa diminimalkan. Lainnya adalah membiasakan diri untuk bekerja dari rumah. Hal ini dialami oleh sebagian orang yang tugasnya bisa dilakukan dimana saja.


Rindu ke festival musik via Krists Luhaers/Unsplash

Menjadi ekstrover di tengah keterisolasian tentunya sangat menyiksa. Biasanya setiap hari kerja selalu dipenuhi canda tawa rekan sekantor. Namun kini binasa karena sebagian besar staf bekerja dari kediaman masing-masing.

 

Selain itu, kehidupan bergaul yang di masa sebelumnya bisa dengan mudah dijalankan kini harus ditinggalkan. Tiada lagi pergi ke kedai kopi, pergi menonton film, menyaksikan pagelaran musik, dan bervakansi.

 

Tentu ini sangat bertolak belakang dengan sifat manusia yang merupakan makhluk sosial, yang selama ini dilakukan dengan bertemu dan bercengkerama secara fisik.

 

Saya sendiri yang sudah melakukan bekerja dari rumah sejak akhir Maret sangat tersiksa dengan adanya kebijakan ini. Berkegiatan di luar rumah harus dikurangi. Bertemu dengan teman sepermainan juga. Belum lagi tidak adanya pertunjukan musik yang diselenggarakan. Ini membuat kebiasaan selama ini erat hubungannya dengan seorang ekstrover menghilang,

 

Sebulan rasanya sudah cukup untuk membatasi diri untuk tidak pergi kemana-mana. Di rentang waktu ini pula, rasanya juga sudah cukup untuk mendetoksifikasi kegiatan yang nirfaedah selama menjadi seorang ekstrover (suka berbelanja, nongkrong, makan di luar).

 

Bagaimana pun juga, saya juga bersyukur karena sudah bertahan sejauh ini. Tetap kreatif dalam memenuhi tanggung jawab pekerjaan. Bertahan karena memang saya perlu bertahan dan menemukan vitalitas hidup.

 

Menjadi seorang ekstrover yang dibatasi pergerakannya cukup menantang. Termasuk menjaga pikiran agar tetap sehat dan waras sehingga masih bisa bekerja dengan optimal.

 

Saya juga harus mengakui bahwa saya masih manusia. Artinya, saya juga masih ada kekurangan. Saya harus mengakui itu, dan saya harus memeluk diri saya yang sudah lelah bertahan dengan pembatasan yang ada.

 

Di akhir akhir hari, terima kasih diri sendiri! Ternyata kamu begitu kuat dengan ketidaklaziman ini. Terus bertahan, dan jangan lupa menjadi manusia ya!


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Dua minggu ini terasa tidak produktif. Ingin rasanya untuk tidak merasa tidak produktif. Tapi apa daya, sepertinya memang sedang macet pikirannya.

Memalaskan diri via Isabela Kronemberger/Unsplash
Memalaskan diri via Isabela Kronemberger/Unsplash


Kalau dipikir-pikir ada beberapa yang menyebabkan saya dua pekan belakangan menjadi super tidak produktif, yakni:

  1. Bulan puasa, dimana segalanya terasa terkungkung. Dalam ajaran Islam, selama bulan puasa setan dipenjara tidak boleh berkeliaran menggoda manusia. Karena jiwa saya sebagian adalah terdiri dari serpihan-serpihan setan, maka saya memang merasa terkungkung. Dan ini sangat tidak nyaman.
  2. Hubungan yang tidak "sefrekuensi" lagi dengan teman bermain. Maksudnya teman bermain di sini adalah yang saya temui sehari-hari. Mereka puasa sedangkan saya tidak (sama sekali!) Ya meski mereka toleran dengan membiarkan saya makan di hadapan mereka tapi tetap rasanya tak sama.
  3. Efek macet karena tidak pernah ngopi di luar karena pandemi. Selama pandemi memang kami menghentikan kegiatan ngopi cantik di luar. Boro-boro mau ngopi, ke luar bangunan tempat tinggal saja rasanya jarang sekali. Kecuali membeli makanan untuk mengisi perut yang kosong.
Sebenarnya masih banyak yang menjadi ganjalan, tapi itu tiga penyebab yang membuat pikiran macet, akhirnya tidak produktif.

Padahal saya sudah menghibur diri dengan belanja secara daring, menonton Neflix, membaca buku-buku baru tapi tetap saja masih amcet.

Apa mungkin ini fase? Ya saya rasa juga begitu. Nanti kalau sudah lewat fasenya pasti produktif (saya meyakinkan diri sendiri).

Sepertinya saya harus menulis agar bisa meluapkan segala emosi negatif yang sudah tak terbendung lagi.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Halo! Kembali lagi dengan rubrik Kotak Musik. Dimana di rubrik ini membahas tentang review atau interpretasi dari sebuah lagu.

Pertama kali mendengar lagu Serenata Jiwa Lara ini langsung suka! Mungkin karena sebulan terakhir juga sedang senang-senangnya mendengarkan genre Pop Kota.

Atau semesta sudah berkonspirasi? Karena di akhir tahun (iya, 31 Desember) saya mendengar Bersandar-nya White Shoes and The Couples Company digubah menjadi terdengar seperti lagu di lantai dansa!

Dan saya baru tahu itu genrenya Pop Kota. Akhirnya saya mencari-cari informasi tentang genre yang popular di era 80-an itu.

Di lagu ini, saya membayangkan seorang dara yang sedang berpetualang dalam lautan percintaan.

Mengendap-endap tatkala tengah malam menuju ke diskotek untuk bertemu pujaan hati. Berdansa, menjadi idola di lantai dansa sambil memacaki wajah dengan riasan yang sedikit menor. Tujuannya satu: menggaet hati pemuda.

Namun di ujung hari, dia sakit hati karena pemuda yang berhasil ia pikat hanya bermain-main. Mungkin konteksnya saat ini di-ghosting. Ditinggal saat sedang sayang-sayangnya. Kasihan!

Setidaknya itu imajinasi saya ketika mendengar, membaca lirik, dan menonton videonya. Apalagi di video resminya, Dian Sastro diajak untuk berkolaborasi. Imajinasi saya makin menjadi-jadi.

Tanpa casciscus lagi, silakan menyimak!

* * * *

Poster yang menggugah jiwa untuk segera ikut terjun ke lantai dansa via Instagram/Diskoria Selekta


Jeritan perih hati yang luka
Cinta sederhana kau buat merana
Bilang-bilang sayang lalu hilang tanpa bayang
Sesuka diri
Tak ‘ku sangka, hatiku bisa seluka ini. Mungkin kalau ia punya mulut, ia akan menjerit menahan perih. Perih karena percintaan yang selalu kandas di tengah jalan. Merana sudah hatiku kini. Sesederhana mencintai tapi tak berujung. Jeritan ini untukmu, wahai yang memulai semuanya, yang berkata manis bak madu namun menghilang di tengah jalan. Menghilang, berteleportasi diri ke dimensi lain, sesuka hatimu. Tanpa memikirkan diriku di sini.

Merona mata namun percuma
Kau anggap bercinta hanya tawa canda
Ajak 'ku bermanja dan pergi begitu saja
Ditelan bumi
Kau buat mataku merona tiap kita bertemu, tiap ‘ku terima kabar darimu. Ini hal yang diriku selalu tunggu. Tapi semua kandas saat kau menghilang. ‘Ku pikir, cinta dan hubungan ini akan menjadi segalanya bagiku, bagimu jua. Tapi aku salah. Kau hanya menganggap cinta ini lelucon belaka. Memang ini membuatku nyaman dengan segala candamu, tawamu yang menggelegar. Aku tenggelam dalam kata-katamu yang membuatku menjadi membutuhkanmu. Mengajakku bercanda dan bermanja ria. Tapi di ujung hari, kau bak ditelan bumi. Menghilang tanpa jejak. Tahukah kamu, aku merasa kehilangan!

Nyanyian hati, serenata jiwa yang lara sunyi
Aku pulang
Kau buat hati ini bernyanyi dengan nada yang lara. Nada yang keluar begitu sumbang, sampai-sampai ingin aku pulang ke peraduanku yang sunyi. Biarkan aku pulang ke peraduanku. Sendiri lagi, seperti sebelum mengenalmu.

Terbenam sudah mentari hati
Aku pulang
Tenggelam sudah rona matahari dalam hatiku. Tiba-tiba semuanya redup. Tak kulihat lagi pancaran kilau hati yang tampak memesona. Sirna sudah. Biarkan aku pulang, kembali ke peraduan sunyiku.

Gugur lagi asmara mewangi
Sorai gelora hati menepi
Tak ada bintang-bintang menari
Sendiri lagi, oh-oh-oh
Hati yang dulu penuh bunga warna-warni kini layu. Tak ada sisa wewangian yang dahulu semerbak di hati. Semuanya kerontang. Hati yang terbiasa bergelora ketika mendapat kabar darimu pun kini diam tergeletak tak berdaya. Lemas dan lemah. Kilau bintang-bintang di hati juga hilang sudah cahayanya. Tak ada lagi gerakan tari-menari bintang di hati. Hatiku kembali sendiri tanpa denyut yang bergelora. Huhuhuhu…..

Nyanyian hati, serenata jiwa yang lara sunyi menyepi
Kemana rasa yang kucari, bila kau tinggal 'ku sendiri
Jadi, dengan hatiku yang lara ini mau dibawa kemana? Aku pun tak tahu tujuannya selain pulang ke peraduan sunyi itu. Ke mana lagi akan kucari? Tak ada penuntun lagi. Tiada tempat lagi untuk melanjutkan ini semua. Percuma.

Maaf sayang, 'ku tak ingin melukai
Namun cinta ini bukan untukmu lagi
Maafkan daku, sayang. Ini aku lakukan agar kau tidak terlalu bersedih hati. Niatku tak ingin memberi sembilu pada hatimu. Hati ini, cinta ini bukan untukmu. Bukan kamu tujuannya. Sekali lagi, mohon maafkan diriku.

Oh, aku pulang, kasih
Agar kau temukan cintamu, belahan relung hati
Ya, ‘ku putuskan untuk pulang ke peraduanku untuk yang ke sekian kalinya lagi. Mungkin ini sudah jalannya. Mungkin dengan pulang ke peraduanku ini, aku bisa menemukan sisa-sisa rasa yang pernah ada. Yang pernah bergelimang di palung hati terdalam. Kau jua pulanglah, Kasih.



Share
Tweet
Pin
Share
1 comments
Well, I supposed this is my last writing on #3haribercerita. 

I hate to say that I'm too clingy, detached, demanding to someone that I fond of. Well, that person that I never met.

Poor me. I set my expectation so high, as high as my ego. 

Finally I found myself plunged to the lowest. I'm dying right now. Decaying.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Valar morghulis

About Me

Me, is an enigma --for you, for the universe and for I myself. I write what I want to write. Scribo ergo sum. I write, therefore I am.

Follow Me

  • spotify
  • goodreads
  • SoundCloud

Hot Post

Maester's Chamber

  • ▼  2024 (1)
    • ▼  Maret 2024 (1)
      • Merenungkan Eros dan Growing Into Love
  • ►  2023 (1)
    • ►  Januari 2023 (1)
  • ►  2022 (2)
    • ►  April 2022 (1)
    • ►  Januari 2022 (1)
  • ►  2021 (5)
    • ►  Oktober 2021 (2)
    • ►  Juli 2021 (1)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (1)
  • ►  2020 (38)
    • ►  Oktober 2020 (2)
    • ►  September 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (2)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (18)
    • ►  Januari 2020 (12)
  • ►  2019 (9)
    • ►  Desember 2019 (1)
    • ►  November 2019 (2)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Juli 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (2)
    • ►  Februari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  September 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (2)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Maret 2018 (1)
    • ►  Januari 2018 (1)
  • ►  2017 (21)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  Agustus 2017 (1)
    • ►  Juli 2017 (2)
    • ►  Juni 2017 (1)
    • ►  Mei 2017 (1)
    • ►  April 2017 (1)
    • ►  Maret 2017 (4)
    • ►  Februari 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (3)
  • ►  2016 (10)
    • ►  Desember 2016 (1)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  Oktober 2016 (1)
    • ►  Agustus 2016 (1)
    • ►  Juni 2016 (1)
    • ►  Mei 2016 (1)
    • ►  Maret 2016 (2)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (22)
    • ►  Desember 2015 (4)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  Oktober 2015 (1)
    • ►  September 2015 (1)
    • ►  Agustus 2015 (6)
    • ►  Juli 2015 (2)
    • ►  Juni 2015 (2)
    • ►  Mei 2015 (2)
    • ►  Maret 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (1)
  • ►  2014 (5)
    • ►  Desember 2014 (1)
    • ►  September 2014 (4)

Tags

acara berjalan-jalan dapur kamar renungan kamar tengah kotak musik perpustakaan ruang tengah taman belakang

Created with by ThemeXpose