• Home
  • Author
  • Send a raven!
spotify goodreads SoundCloud

Huis van Abdï

Diberdayakan oleh Blogger.
Hi guys! Back again after one month of hiatus. How is it going y'all? Hope we are in good mood, always!

After months of struggling to a new work atmosphere finally I can "fit" to my fellow workers. Joking, making endless conversations, deep talk you name it. Yeah I made it! I admit it's hard at the first, but at the end of the day they accept me to join their circles. So, congrats to me! Wohoooo!

Friendship via Unsplash
Throwback to August

At very first, it went oddly in a new situation that I know no one. Everyone's busy with PCs, notebooks, conversations relating to job and so on. I also felt bad to make a convo with my new friends. So, I keep busy with my old laptop.

It's September Then
When it comes to the job, everything runs smoothly. But not with circles. I still looking and searching how to join them, making a chit-chat sounds joyful and full of laughter. I tried to fit in but still I can't.

I can't lie that I was stuck trying to find out how to make a friend. I also comparing my new-life when I was in Ternate. No friends, no relatives but in one month I can join their talks. But here in Bogor, it's not easy as it seems.

Besides, the monster called overthinking eat my mind out. That monster frightened me, saying that I should care about how others look at me, about my look, about my performance. This is stressing. 

Third month, October

Two months passed by, I can't enjoy my worksphere. Since my mother's condition getting worst, I was kind of lack of focus. I always think of her whenever I alone, can not look after her. Pity me. I myself, her only-child, far from home, and my mother struggling hard just to live. Sad if I remember her last day.

However, universe showed the way. I have substitute day-off, so I can go home, to look my mother at hospital. I booked round-trip tickets to go home. Finally.

My mother was so weak. Never remove her oxygen mask. My heart covered with deep regret at that time.

She already knows that she won't live long presumably. Two days sleep over at hospital, to look after her, she gave up. The pain she bore three past years finally gone with her last breath. I was in agony, yet happy that she won't suffer from that disease.

November Already
Made a peace with shocking situation could be challenging. Yet, the hard time shall pass. So did I pass that hard time. I conscious enough to face the reality, to conquer my grieve, and to know that my mother now is in another universe. May peace be upon her.

As time goes by, I finally found out that I must broke my wall down. To let people know me the way I am. How can others approach me if I keep my wall high?

That hard time indeed passed. Boring activities in the office turned into fun and joyful agendas thereout of office. My job including going out the town packed with teammate, to attend exhibition, bazaar, campaign and so forth. Those activities exceeded my expectations. How grateful I am!

More frequent I was outside the office, the happier me. And yes, I can show my true colour and my true nature as well. I also break the distance with them through throwing dry jokes, gossiping (tho we're consist of guys LOL), doing youth stuff. Yes, finally I accepted!

December, Now
I never think that I succeeded the uncomfortable phase to socialise in well....short time. Maybe it's the proper time to me. I'm in a good time, with good people.

Day by day, my confidence grows as I know them. And me just being me, more. For now, I won't my overthink consume me any longer. I should care myself first above anything.

So yes, this is my story to struggling with new friends. I admit that I'm a social butterfly. But the butterfly must endure bad look before being an agile butterfly!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
May all beings everywhere be happy and free~

At Saturday, I attended music festival in Gelora Bung Karno. At Plaza Barat precisely. I'm kind of forget when I bought the 2-days ticket, all I want to do is to watch my favourite bands to perform!

If I'm not mistaken, it was one year after I saw my last music performance. I watched White Shoes & the Couples Company (WSATCC) at Taman Ismail Marzuki with my friend, Diah. That night was very crowded and other viewers were enjoyed the stage. So did I and Diah!

Swinging, singing, yelling all you name it in music concert. But I feel different experience when I attended the festival called Hobby Ground by Kaskus.

When WSATCC came to the stage, all I want is singing and swaying along their performances. Unfortunately, I can not did it freely. People around me seemed not enjoying the stage, they not even singing. Most of them just record via their expensive phone ew.

To me my self, the essential part of watching music concert is singing along them, the artists. Place your camera or your smartphone, minimise the use of it. Enjoy your surrounding. Feel the atmosphere.

Not all of audience enjoy performers I guess. Some of them just wait for the next artist because of the crowd that almost full. Some others may stand all the time, from the beginning of the first performance till the end.

Well, whatever. It's their right to not to sing or dancing.

Along the show, I captured several photos of the stage. Not many, tho because I'm too much dancing hahahaha!

Gho$$'s performance at music stage via mine
Finally I saw her to rapping and hip-hopping around! via mine
This is my very first to watch Ramengvrl. I'm so impressed by how she's so original and be herself. No sugar-coating or smooth words but Ramengvrl just be her!

This was what I came for! via mine
After one year not watch any gigs, I saw you again Mr. and Mrs Company!

To be honest, all the songs they sang were too ordinary to me who self-acclaimed as die-hard fans of them! Haha. No new song. But their stage always full of dances and....interesting thing. That day, I saw Mrs. Sari used wax to her hair. So shiny and it's so vintage!

I always enjoy their performance, the hell with crowd! Haha!

The other artists are Elephant Kind, Afgan, and Dipha Barus. I didn't photographed Dipha Barus since it so crowded and all I did was just dancing! My first watch also to him. Hail him!


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Halo! Apa kabar? Semoga seluruh makhluk berbahagia, termasuk kalian yang membaca!

Pertama kali aku dengar lagu ini langsung mikir "kok Bandaneira banget?" Apa karena ada Rara Sekar? Juga akustik seperti Bandaneira? Mungkin.

Menurutku ini lagu magis dari lagu-lagu Hindia alias Baskara Putra sejauh ini. Aku selalu punya satu lagu magis dari setiap penyanyi/ band yang aku dengar. Dan pilihanku jatuh ke Membasuh.

Selain karena bisa bikin eargasm, liriknya juga dalam. Bukan sekadar permasalahan antara orang-orang tapi lebih ke refleksi diri kali, ya. Setelah baca lirik lagunya, akhirnya pikiranku tertuju ke kalimat bahasa Sanskerta: tat tvam asi. Apa yang kita beri ternyata berbalik ke pad akita sendiri, alias kita memberi pada diri kita sendiri.

Meski terdengar sedih, sendu, dan muram menurutku lagu ini jauh dari itu. Menurutku lagu ini adalah ketika kita bersedia menerima dan menjadi ikhlas dengan apa yang sudah kita beri. Meski nanti, sekembalinya apa yang kita beri itu dalam bentuk lain yang tak terduga. Sungguh, ketika menyadari adalah saat-saat yang berbahagia. Semoga.


Hindia via Genius.com

Selamat menyimak! (Jangan lupa dengarkan jua lagunya!)




****

Selama ini ‘ku nanti
Yang ‘ku berikan datang berbalik
Tak kunjung pulang apapun yang terbilang
Di daftar pamrihku seorang
Entah, tapi tanpa disadari diam-diam aku menantikan sesuatu yang kuberi kepada orang-orang. Sesuatu entah materiil atau moriil. Aku menanti sangat lama, sampai-sampai aku bertanya apakah yang kuberikan pada mereka akan kembali berpulang kepadaku? Apapun itu?

Telat kusadar hidup bukanlah
Perihal mengambil yang kautebar
Sedikit air yang kupunya
Milikmu juga, bersama
Makin lama makin aku berpikir bahwa kita hidup bukan untuk mengambil kembali apa yang sudah kita beri. Ada yang lebih daripada itu. Ada hal yang lebih dari sekadar memanen apa yang kita tanam. Milikku, apapun itu ternyata ada milikmu jua. Ternyata kita saling memiliki apa yang kita punyai.

Bisakah kita tetap memberi walau tak suci?
Bisakah terus mengobati walau membiru?
Cukup besar ‘tuk mengampuni, ‘tuk mengasihi
Tanpa memperhitungkan masa yang lalu
Walau kering, bisakah kita tetap membasuh?
Aku bertanya-tanya, jika kita ingin memberi apakah keadaanku dan keadaanmu harus sama? Kuharap tidak. Karena kupikir, kita bisa saling memberi meski keadaannya berbeda. Harusnya kita saling bisa mengobati, apapun keadaannya. Sedang baik atau tidak. Kita cukup besar untuk saling mengasihi. Lagipula kita juga cukup besar untuk melupakan kesalahan di masa lampau. Seperti yang kukatakan, meski sedang tidak baik-baik saja kita harusnya bisa saling membasuh kotoran-kotoran kita di masa lalu.

Kita bergerak dan bersuara
Berjalan jauh, tumbuh bersama
Sempatkan pulang ke beranda
‘Tuk mencatat hidup dan harganya
Kita saling berkembang dengan cara kita sendiri, menyuarakan apa yang ada di kepala. Berjalan pelan atau cepat, tumbuh berkembang jua. Bagaimanapun jangan lupa untuk kembali ke tempat kita berawal. Awal dimana kita bertumbuh untuk mengetahui seberapa berharga hidup yang sudah kita jalani.

 Mengering sumurku terisi kembali
Kutemukan makna hidupku di sini
Mengering sumurku terisi kembali
Kutemukan makna hidupku di sini
Meski banyak yang kuberikan, nyatanya kurasa tidak berkurang. Apa yang kuberi kembali pada diriku sendiri. Inilah makna hidup yang kucari selama ini. Memberi tanpa pamrih, karena sebenarnya kita memberi pada diri sendiri.




Share
Tweet
Pin
Share
7 comments
*this sarcastic post intends to remind myself only so if y'all read this please don't mind*

Lately, I realise that procrastinating is good for your health. You can be relax and let go of things you mind. You don't do thing of your to-do list, so you can take that me-time before you lost it.

Laying on your comfortable bed via Unsplash (Vittori)

Procrastinating can be filled with various passive activities such as laying on your bed and reading your favourite books and stargazing (or ceiling-gazing instead). You can enjoy your free time, thinking over the things that matter you most or just do nothing.

This week seems the longest procrastinating period in my life. I able to scroll timeline of my Twitter account for hours. Liking and retweeting tweets I interest to or give my perspectives regarding certain topics.

How nice to do nothing and delaying to do all of your responsibilities. I assure you to procrastinating. Let go something you worry about, because time will heal.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
In this quarter life crisis, I think I lose my self. My self that always cheerful and a bit rebel. LOL. I know this situation is not eternal, time will change. I will transform to better person. I believe it.

I respect the process. These ups and downs, that turmoil, and this episodic chaos in my head. It consumes energy, indeed, caused many unimportant overthinks --although I know this hard time shall pass.

Many beginner adult like me on their crisis. They can be lost like me, I supposed. And it could lead to another dangerous action such as suicidal. But I won't do that. I still want to live the life. What I need is write and write and write. Just writing to expel every bad thinking inside my head. I know this is kind of therapy to me. And I'll do that.

Speaking of lost, sometime it makes us to miss things. On this moment, I suppose I miss me. The old me.

I got this photograph via unsplash.com

I even can't describe how me in the past, at least in last five years ago. But writing can be such helpful.

Suddenly I open the folder on my laptop titled "Dear Diary". Shockingly after I opened the folder, I wrote many writings. I can't even remember how could I be consistent write daily.

I even wrote plenty writings, and sort it by month. I should admire myself more after I read those writings.

It can be fun to know how I wrote based on my feeling in the past. How alay me. Haha! But I know that I'm growing, I'm developing myself.

This one should ensure this body and mind to relax, to chill. Just believe to this mantra "hard time shall pass."
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Ada kalanya menangis mampu meringankan beban. Di lain waktu, menangis malah menambah beban. Apapun yang terjadi, itu artinya diri kita masih cukup sensitif merasa.

Suatu hari di waktu yang tak terhingga, Ia yang Tak Bernama tiba-tiba menangis di dekat ibunya yang sedang terbaring lemah karena sakit. Ia tak menangisi ibunya, alih-alih ia menangisi dirinya sendiri. Menangisi dirinya yang tak mampu berbuah sesuatu pada dirinya sendiri. Menangisi keadaan yang tak 'kan berubah meski air matanya menjelma menjadi butiran mutiara. Ia hanya ingin menangis.

Dalam pikirannya, ia tak kuasa melawan arus. Harusnya ia menjadi arus itu sendiri, namun kali ini ia menjadi ikan mati yang terbawa arus.

Ia menangis via Pexels


"Biarlah", tandasnya lirih sembari makhluk-makhluk raksasa mengerikan di dalam kepalanya memangsa kewarasannya.

Tangisan yang paling buruk adalah tangis tanpa suara. Yang ada hanyalah butiran air mata yang keluar deras, bagaikan air bah. Tangis yang disertai tatapan mata kosong, sedangkan di dalam pikirannya ada badai yang berkecamuk, meluluhlantakkan kedamaian jiwa. Sesedih itu, sesendu itu.

Ia sejatinya adalah anak  yang selalu tabah dan tegar di hadapan orang-orang, keluarga, dan teman-temannya. Namun kali ini, ia sedang ini menjadi makhluk rapuh. Tanpa cangkang keras yang melindungi lemahnya sisi terdalam jiwanya, bebas tanpa perlindungan apapun. Ia mempersilakan segala bentuk pikiran negatif menyerbu, meraup segala kesenangan di sudut-sudut hati, di relung-relung jiwa.

Bagaimanapun ia tersadar, dirinya tak sendiri. Pun manusia-manusia yang hidup sebelum ia lahir. Mereka pasti mengalami apa yang dialaminya saat ini. Begitu pula dengan ibunya yang tertidur pulas di sampingnya.

Kesedihan itu terus mengalir dalam lembah pikirannya. Ia juga ingin menjadi makhluk realistis, tanpa pemanis yang diada-adakan. Tak hanya kesenangan dan kabar gembira yang ingin ia lahap, tetapi segala bentuk kesan negatif jua.

Rupanya ia hanya ingin menjadi manusia biasa.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Saya memang suka menulis, tapi sayangnya tidak rutin dan gaya menulis saya masih belum stabil. Kadang begini, kadang begitu. Pokoknya belum konstan, lah!

Ngomong-ngomong saya sedang berada di Pare, Kediri yang terkenal dengan Kampung Inggris-nya itu lho. Saya di sini untuk membiasakan diri berlatih untuk tes IELTS yang tak tahu akan saya ambil kapan. Yang penting, saya tahu dulu! Hehe.

Nah, karena saya terdaftar di kelas Persiapan IELTS, dan IELTS --seperti tes kemampuan bahasa lainnya-- saya dipaksa menulis. Tak tanggung-tanggung, setidaknya lima hari dalam seminggu saya dipaksa menulis esai ala tes IELTS. Minimal 250 kata harus saya tulis di esai itu. Memang mungkin lebih sedikit daripada tulisan-tulisan tidak jelas saya di blog.

Karena saya dipaksa menulis, maka rasanya saya sudah mulai ketagihan. Dan saya berencana yang muluk-muluk untuk menulis artikel berbahasa Inggris dan mengirimkannya ke situs-situs berbahasa Inggris pula. Hehe.

Enanya menjadi kutjing tapi tida bisa ngeblog :) via Medium


Tapi kalau dipikir-pikir, menulis artikel di media berbahasa Indonesia saja tidak pernah ini malah mau menulis di media berbahasa asing! Edan ya Anda?

Sebenarnya ada keingin kuat sebulan terakhirn untuk menulis di media anak muda semacam Mojok atau VICE Indonesia. Tetapi entah kenapa jadi kaku dan mengalami apa yang disebut writer's block. (Halah, bilang saja kau hanya tidak berbakat, Malih!)

Menulis di blog secara rutin saja sudah bersyukur, harusnya. Tapi keinginan melebihi kebutuhan jadi saya bersikeras untuk menulis di media. Doakan saja terjadi! 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Saya sedang tidak suka apa-apa yang berbau premium. Bukan bahan bakar yang memang baunya menyengat, ya. Tapi produk maya yang premium, misalnya saja Spotify.

Kenapa? Entah. Mungkin sedang bosan.

Memang iklan terdengar menjengkelkan, tapi entah kenapa setelah beberapa kali mencoba fitur premium saya jadi rindu suara iklan di jeda antarlagu.

Karena Spotify menerapkan kebijakan membatasi melewati lagu hal ini tentunya sedikit banyak ada faedahnya: agar kita juga terbiasa tidak menekan tombol thank you next sesering mungkin.

Ini jadi pertimbangan menurut saya karena kita jadi tidak bisa menghayati lagu-lagu baru yang kemungkinan banyak disuka khalayak ramai. Terlalu melewati lagu juga membikin kita tidak fokus mengerjakan hal lainnya. Jadinya kita terpaku hanya pada tombol next.

Sebetulnya isi iklan Spotify juga tidak terlalu mengganggu. Apa mengganggunya coba kalau isinya cuma itu-itu saja? Yakni menyuruh kita untuk meningkatkan status dari pengguna biasa menjadi pengguna premium.

Untuk golongan orang-orang yang sudah murtad premium tentunya juga tidak terlalu berpengaruh. Sering-seringlah beriklan, toh sudah mencicipi bagaimana menjadi bagian jamaah al-frimiumiyah.

Lain cerita dengan domain blog yang sudah kembali ke jalan yang benar: blogspot dot com. Ini juga saya akhirnya berpindah karena ternyata dengan membeli domain tulisan saya tidak produktif. Malah makin berkurang kuantitasnya.

Membeli domain juga tidak menyumbang pemasukan, bahkan sebaliknya. Domain menggerus pundi-pundi saya hingga alamat blog saya harus ditangguhkan.


Tidak Premium? Anda Sobat Missqueen ya?

Pusing pala sobat missueen via Unsplash
Bukan begitu ya. Juga bukan tidak ada maksud untuk menjadi tidak premium selamanya. Tapi sepertinya menikmati masa-masa tidak premium adalah selingan yang menyenangkan. Jadi ada variasinya, gitu. Ibarat tuts piano, tidak semua putih kan? Kita perlu tuts hitam untuk memperindah suatu lagu.

Lagipula kalau ditanya, jawab saja dengan enteng: saya pernah premium kok. Urusan kelar.

Hm, menurut saya golongan premium juga golongan orang yang lemah. Lemah karena tidak tahan suara iklan yang memang terkadang mengganggu. Tapi, bukan berarti saya tidak menampik bahwa diri ini adalah golongan yang lemah. Karena tanpa golongan lemah, golongan kuat tahan iklan tak kan pernah ada. So, cheers to them!

Untuk menutup tulisan tidak jelas ini, saya hanya ingin menekankan bahwa ya....menjadi tidak premium bukan dosa besar. Nikmatilah!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Halo!
Wah sudah lama tidak mengunjungi rumah ini. Rumahnya antisosial rupanya.

Banyak yang terjadi, tapi tak sempat ditulis. Keterbatasan menulis langsung saat tersambung secara daring ke internet adalah salah satu penyebabnya. Jadilah sekarang saya baru menulis. Maafkan, ya, rumah!

Ilustrasi menulis via visualcommunications.co.uk


Karena saya sudah mengundurkan diri dari tempat saya bekerja, nampaknya sudah seharusnya saya meramaikan kembali rumah ini. Sedih sekali melihat tulisan di tahun 2018 hanya 8 tulisan. Padahal sudah punya domain sendiri dan tanpa embel-embel blogspot.com.

Ya sudah, mari mengisi kekosongan bagian rumah ini kembali!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Valar morghulis

About Me

Me, is an enigma --for you, for the universe and for I myself. I write what I want to write. Scribo ergo sum. I write, therefore I am.

Follow Me

  • spotify
  • goodreads
  • SoundCloud

Hot Post

Maester's Chamber

  • ►  2024 (1)
    • ►  Maret 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Januari 2023 (1)
  • ►  2022 (2)
    • ►  April 2022 (1)
    • ►  Januari 2022 (1)
  • ►  2021 (5)
    • ►  Oktober 2021 (2)
    • ►  Juli 2021 (1)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (1)
  • ►  2020 (38)
    • ►  Oktober 2020 (2)
    • ►  September 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (2)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (18)
    • ►  Januari 2020 (12)
  • ▼  2019 (9)
    • ▼  Desember 2019 (1)
      • Strike A Friendship? Uneasy One To Me Now
    • ►  November 2019 (2)
      • Different Festival, Different Taste
      • Interpretasi Lagu Membasuh oleh Hindia, Rara Sekar
    • ►  Oktober 2019 (1)
      • It's Good to Procrastinate
    • ►  September 2019 (1)
      • I Lost Me
    • ►  Juli 2019 (1)
      • Ia Menangis
    • ►  Maret 2019 (2)
      • Memang Saya Harus Dipaksa Menulis
      • Bosan Premium
    • ►  Februari 2019 (1)
      • Kembali ke Blogspot
  • ►  2018 (8)
    • ►  September 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (2)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Maret 2018 (1)
    • ►  Januari 2018 (1)
  • ►  2017 (21)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  Agustus 2017 (1)
    • ►  Juli 2017 (2)
    • ►  Juni 2017 (1)
    • ►  Mei 2017 (1)
    • ►  April 2017 (1)
    • ►  Maret 2017 (4)
    • ►  Februari 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (3)
  • ►  2016 (10)
    • ►  Desember 2016 (1)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  Oktober 2016 (1)
    • ►  Agustus 2016 (1)
    • ►  Juni 2016 (1)
    • ►  Mei 2016 (1)
    • ►  Maret 2016 (2)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (22)
    • ►  Desember 2015 (4)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  Oktober 2015 (1)
    • ►  September 2015 (1)
    • ►  Agustus 2015 (6)
    • ►  Juli 2015 (2)
    • ►  Juni 2015 (2)
    • ►  Mei 2015 (2)
    • ►  Maret 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (1)
  • ►  2014 (5)
    • ►  Desember 2014 (1)
    • ►  September 2014 (4)

Tags

acara berjalan-jalan dapur kamar renungan kamar tengah kotak musik perpustakaan ruang tengah taman belakang

Created with by ThemeXpose