Bosan Premium

by - 3/04/2019


Saya sedang tidak suka apa-apa yang berbau premium. Bukan bahan bakar yang memang baunya menyengat, ya. Tapi produk maya yang premium, misalnya saja Spotify.

Kenapa? Entah. Mungkin sedang bosan.

Memang iklan terdengar menjengkelkan, tapi entah kenapa setelah beberapa kali mencoba fitur premium saya jadi rindu suara iklan di jeda antarlagu.

Karena Spotify menerapkan kebijakan membatasi melewati lagu hal ini tentunya sedikit banyak ada faedahnya: agar kita juga terbiasa tidak menekan tombol thank you next sesering mungkin.

Ini jadi pertimbangan menurut saya karena kita jadi tidak bisa menghayati lagu-lagu baru yang kemungkinan banyak disuka khalayak ramai. Terlalu melewati lagu juga membikin kita tidak fokus mengerjakan hal lainnya. Jadinya kita terpaku hanya pada tombol next.

Sebetulnya isi iklan Spotify juga tidak terlalu mengganggu. Apa mengganggunya coba kalau isinya cuma itu-itu saja? Yakni menyuruh kita untuk meningkatkan status dari pengguna biasa menjadi pengguna premium.

Untuk golongan orang-orang yang sudah murtad premium tentunya juga tidak terlalu berpengaruh. Sering-seringlah beriklan, toh sudah mencicipi bagaimana menjadi bagian jamaah al-frimiumiyah.

Lain cerita dengan domain blog yang sudah kembali ke jalan yang benar: blogspot dot com. Ini juga saya akhirnya berpindah karena ternyata dengan membeli domain tulisan saya tidak produktif. Malah makin berkurang kuantitasnya.

Membeli domain juga tidak menyumbang pemasukan, bahkan sebaliknya. Domain menggerus pundi-pundi saya hingga alamat blog saya harus ditangguhkan.


Tidak Premium? Anda Sobat Missqueen ya?

Pusing pala sobat missueen via Unsplash
Bukan begitu ya. Juga bukan tidak ada maksud untuk menjadi tidak premium selamanya. Tapi sepertinya menikmati masa-masa tidak premium adalah selingan yang menyenangkan. Jadi ada variasinya, gitu. Ibarat tuts piano, tidak semua putih kan? Kita perlu tuts hitam untuk memperindah suatu lagu.

Lagipula kalau ditanya, jawab saja dengan enteng: saya pernah premium kok. Urusan kelar.

Hm, menurut saya golongan premium juga golongan orang yang lemah. Lemah karena tidak tahan suara iklan yang memang terkadang mengganggu. Tapi, bukan berarti saya tidak menampik bahwa diri ini adalah golongan yang lemah. Karena tanpa golongan lemah, golongan kuat tahan iklan tak kan pernah ada. So, cheers to them!

Untuk menutup tulisan tidak jelas ini, saya hanya ingin menekankan bahwa ya....menjadi tidak premium bukan dosa besar. Nikmatilah!

You May Also Like

0 comments