• Home
  • Author
  • Send a raven!
spotify goodreads SoundCloud

Huis van Abdï

Diberdayakan oleh Blogger.
Langit dan laut saling membantu
Mencipta awan hujan pun turun
Ketika dunia saling membantu
Lihat, cinta mana yang tak jadi satu?
Lihatlah, arahkan pandanganmu ke langit di atas dan laut di bawahnya. Pernahkah kau berpikir bahwa mereka saling bekerja sama meski tak saling bersentuhan? Meski tak ada tangan yang saling menjabat? Diam-diam, awan tercipta dari kebisuan mereka berdua. Keduanya mungkin terlihat diam, tapi saling membantu. Keduanya mungkin saling diam, tapi bisakah kau amati ada cinta dari mereka berdua? Cinta yang tidak perlu terlihat, tapi begitu bergelora. Mereka bisa saja terlihat tak acuh, tapi  mereka satu.

Kau memang manusia sedikit kata
Bolehkah aku yang berbicara?
Kau memang manusia tak kasat rasa
Biar aku yang mengemban cinta
Lamat-lamat kusadari, aku bersamamu. Seseorang yang mirip langit yang kita pandangi. Atau kau mirip laut? Ah, tak penting. Yang kutahu, kata-kata tak banyak keluar dari bibirmu. Tapi, tak lantas membuat kebersamaan kita hambar. Kesadaran itu menuntunku untuk bercerita lebih ke padamu. Karena kutahu engkau bukanlah penggombal, namun pendengar terbaikku. Aku lebih sering mendongeng ya, dipikir-pikir. Dan kaulah sang pendengar setia. Pun demikian tak lantas membuatmu ekspresif meski kau paham dongeng-dongengku. Tak apa, melihat dan bersamamu saja aku sudah bungah. Rasa-rasanya, aku saja yang menikmati kebersamaan ini? Semoga saja tidak. Karena kuharap kita seperti langit dan laut diam namun bekerja.


Awan dan alam saling bersentuh
Mencipta hangat, kau pun tersenyum
Ketika itu kulihat syahdu
Lihat, hati mana yang tak akan jatuh
Hei, perhatikan awan yang kian melambung tinggi. Menyatu menjadi bagian dari tatanan alamsemesta, menyentuh langit-langit langit tak terbatas. Rasakan hangat yang ia hasilkan. Kulihat kau tersenyum tipis. Tak terlalu kasat mata memang, tapi aku bisa merasakan kehangatan yang kau rasakan jua. Di sini, di titik ini aku tak sekadar bersamamu rasanya. Tapi aku merasa menjadi satu, menjadi kita. Syahdu. Aku rasa, aku pun jatuh. Hatiku jatuh. Jatuh dalam kehangatan dan kesyahduan senyummu. 


Kau dan aku saling membantu
Membasuh hati yang pernah pilu
Mungkin akhirnya tak jadi satu
Namun bersorai pernah bertemu
Awalnya tak saling sentuh, langit dan laut akhirnya menjadi satu. Kita pun demikian. Semula adalah individu tersendiri, akhirnya menjadi satu. Tak hanya menjadi satu kurasa, tetapi saling membantu. Mulanya kita membasuh hati sendiri-sendiri, namun sekarang kita saling membasuh. Airku, airmu juga. Tak boleh lagi ada pilu di hati kita. Kalaupun ada, kau dan aku bersiap untuk membasuh hati-hati kita. Jujur, aku nikmati kebersamaan kita. Di akhir hari, akhirnya kita harus merelakan jika tak bersama lagi. Hatiku dan hatimu mungkin pernah jadi satu. Begitu, aku masih bersyukur kita bersama untuk beberapa waktu. Aku tak menyesal sekalipun, seperti langit dan laut yang tak lelah mencipta awan meski --sekali lagi-- mereka tak saling satu.


****

Beberapa waktu lalu di Twitter, ramai-ramai penggunanya mengomentari kata-kata Nadin Amizah saat konser. Pasalnya, sebelum menyanyi ia memberikan kata-kata pembuka sebelum menutup penampilannya.

Ada yang bilang cringe dan kata-kata bully lain pada penyanyi yang tahun ini baru meluncurkan albumnya. Ya terserah mereka mau berkomentar apa. Tapi, apa mereka punya pilihan untuk tidak melakukannya. Karena akhirnya, lewat cuitannya meminta maaf karena dia kadang grogi kalau tidak berkata-kata demikian.

Warga +62 memang ada-ada saja.

Sebenarnya aku sudah pernah mendengar lagu ini. Tapi karena ada ramai-ramai di linimasa Twitterku, maka aku dengar lagi dan lagi. Akhirnya aku berkesimpulan bahwa....aku sedang di momen ini. Momen untuk merelakan kalau boleh kubilang.

Ya, kadang dalam hidup kita bertemu orang untuk belajar dari apa-apa yang pernah kita lakukan bersamanya. Mungkin seperti inilah interpretasiku.

Ambyar juga harus berulang-ulang mendengarkan dengan kondisi kejiwaan yang sedang naik turun bak menaiki wahana rolles coaster. Tapi sadarlah, ini pelajaran. 


Bogor coret, 24 Oktober 2020.

Ditemani hujan, petir, kilat, dan rembesan air di tembok.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Hei, kamu. Semoga semesta menunjukkan tulisan ini untukmu.

Jadi, temanku bilang aku cukup persisten saat mengirim pesan ke padamu yang seringnya meninggalkanku dengan tanda "Read" saja.

Dia bilang aku persisten. Gigih, dalam mengirim pesan. Entah hanya bertanya kabar atau basa-basi. Padahal dalam hati aku mau juga dikirim pesan pertama. 

Tapi, ya sudahlah. Dalam hati aku sudah bulat bahwa aku yang akan berperan sebagai "pemberi". Ini konsekuensinya.

Aku lelah, jujur. Tapi tak aku sampaikan saja padamu. Biar semesta yang akhirnya menunjukkannya.

Menjadi pemberi itu melelahkan, aku sadar. Tapi hidup tak cuma tentang mengambil apa yang bertebaran, memanen apa yang ditanam. 

Jadi aku masih percaya bahwa mungkin di kehidupan sebelumnya aku terlalu banyak mengambil, sedikit memberi. Saatnya untuk memberi sebanyak-banyaknya. Selapang-lapangnya.

Airku, airmu juga. Tak 'kan kemana.

Mungkin kalau saat ini --di masa pandemi-- kita harus jarang bertukar kabar, mungkin seterusnya kita akan bersama? Ya. Aku harap begitu. Meski terdengar agak berhalusinasi tapi tak apa. 

Jadilah pemberi, karena yang kauberi tak kan juga kemana.

Memberi via Unsplash


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Minggu ini saya merasa agak mampu menerapkan tindakan --yang sekali lagi menurut saya-- sudah sesuai dari buku Filosofi Teras karangan Om Manampiring. Atur yang bisa diatur, jangan terlalu khawatirkan yang tidak bisa diatur.

Sebenarnya saya sudah mendengar ucapan serupa saat menggarap skripsi, di semester 8. Di dunia ini memang ada hal yang tidak bisa kita atur, namun ada juga yang bisa kita atur. Nah, hendaknya kita bisa berfokus pada hal yang bisa kita atur saja.



Tapi namanya manusia, terkadang masih belajar untuk menerima hal yang tak bisa diatur tadi. Terlalu memikirkannya sehingga lupa akan sesuatu yang seharusnya bisa kita kendalikan.

Dalam buku Filosofi Teras juga disebutkan dikotomi kendali, yang meletakkan dasar bahwa ada beberapa hal yang perlu kita fokus untuk kendalikan.

Entah saya sedikit demi sedikit sudah bisa menerapkan tindakan-tindakan ala stoic atau tidak, tapi saya merasa lebih damai. Dengan cara memfokuskan diri pada hal-hal yang bisa kendalikan.

Bicara masalah kendali, nampaknya kita punya otoritas penuh atas apa yang sudah kita pilih. Kita merdeka sepenuhnya.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Bulan-bulan belakangan ini, saya makin tidak karuan. Mood naik turun. Kadang bisa saya kendalikan, tetapi sebagian besar biasanya tidak.

Saya juga tidak bisa mengeksplorasi sekitar (baca: Jakarta), tidak ada dick dating appointment, maupun pengalaman berjalan-jalan yang menyenangkan. Sebabnya adalah suatu yang tidak bisa kita kendalikan: pandemi.

Pandemi memang mengubah hampir seluruh tatanan kehidupan diri dan masyarakat. Mulai dari biasanya kita bebas pergi kemana saja sampai berbaju apa saja tanpa perlindungan.

Saya rasa para ekstrover juga mengalami hal yang menjadikan hidup mereka berada di titik nadir kehidupan. Pertemuan secara langsung dibatasi, pertemuan daring meningkat. Tentu ini akan menurunkan getaran pengalaman bertemu orang secara fisik. Dan itu membuat saya --dan mungkin ekstrover lainnya-- merasa dunia sudah kiamat.

Pergi kemana saja nampaknya harus dipikir dua kali kalau tidak penting-penting amat.

Hei! Tapi.... di situ letak masalahnya!

Sebagai seorang ekstrover yang suka spontanitas dan bersosialiasi dengan orang baru, itu yang hilang! Ini mungkin tidak terikat dengan kepribadi, sih, memang. Tapi, mari kita selami pernyataan itu bersama.

Adanya banyak trait manusia, salah satunya adalah suka bertualang dan berkenalan dengan orang baru. Saya misalnya.

Saya bisa dibilang suka bertualang, mengeksplorasi hal baru, mengalami hal-hal yang menyenangkan sampai yang tidak mengenakkan. Itu yang harus saya rasakan sebagai manusia: mengalami.

Berjalan-jalan spontan tanpa rencana adalah jalan untuk merasakan itu semua. Dan itu akan kita catat di memori kita, yang entah suatu hari dan kepada siapa nantinya akan kita ceritakan.

Ilustrasi oleh Benjamin Davies di Unsplash

Kembali ke zaman pagebluk pandemi sialan ini, rasa-rasanya tidak semua bisa merasakan hal itu. Saya, yang juga punya trait mudah paranoid ini adalah salah satunya.

Akibat pandemi, saya menjadikan dunia dan aktivitas luar ruangan menjadi momok menakutkan. Ya meski sudah ada pernyataan umum kalau nanti bisa sembuh sendiri dan orang berusia lanjut yang akan terdampak berat tetap saja tidak menciutkan paranoid saya tadi.

Selain menjadikan dunia dan aktivitas luar sebagai bahan bakar paranoid, saya juga jadi sering merasa tidak aman ketika berada di dekat orang-orang. Apalagi jika mereka berasal atau pernah ke luar tempat saya tinggal. Rasa-rasanya ingin membungkus diri dengan hazmat!

Tapi hasrat itu saya tahan, karena selain hazmat harganya mahal ternyata berdasarkan penuturan orang-orang, memakainya pun tidak nyaman. Apalagi itu cuma sekali pakai! Menghabiskan uang saya saja rasanya. Duh!

Nampaknya, saya membiarkan diri saya dimakan paranoid tak berkesudahan. Api keberanian yang biasanya berkobar tak kunjung padam entah kemana. Mungkin kalah dengan suhu rendah dan lembab kaki Gunung Salak? 

Apalagi setelah membaca artikel Remotivi ini, saya makin menjauh dari dunia luar. Hubungan dengan orang lain sebatas digital, seperti lagu Mardial bersama Ramengvrl ini.

Berjalan-jalan tanpa tujuan itu penting.

Kita mungkin tidak tahu akan kemana. Tapi, sembari duduk anteng di kendaraan umum kita bisa membaca review tempat nongkrong yang bagus maka kita bisa ke sana.

Atau, rencana awalnya ingin ke suatu tempat, ternyata karena bisikan gut feeling jadi berbelok arah ke tempat lain. Eh ternyata tempat baru yang dituju lebih jelek atau pelayanannya kurang memuaskan! Haha.

Itu semua asyiknya pergi kemana-mana dengan tujuan yang tidak penting-penting amat. Ada keseruan di situ tersendiri di situ. 

Dan pastinya berbeda dengan bepergian dengan tujuan yang penting, yang saklek. Asal sampai tujuan, mengurusi hal-hal penting, setelah beres, langsung pulang. Nikmatnya dimana? Can't relate anymore.

Omong-omong tentang mengalami, saya jadi ingat suatu bagian di buku Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh.

Cinta adalah mengalami.
 
Dengan berkurang bertualang tanpa kepentingan di situasi pandemi ini, saya jadi kurang mengalami. Saya kurang mengalami hal-hal di luar dugaan. Dan sepertinya saya butuh asupan mengalami tadi. 

Jika cinta adalah mengalami, apakah artinya saya juga kekurangan cinta? Apakah itu yang saya dambakan?

Atau, itukah jawabnya?
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Valar morghulis

About Me

Me, is an enigma --for you, for the universe and for I myself. I write what I want to write. Scribo ergo sum. I write, therefore I am.

Follow Me

  • spotify
  • goodreads
  • SoundCloud

Hot Post

Maester's Chamber

  • ▼  2024 (1)
    • ▼  Maret 2024 (1)
      • Merenungkan Eros dan Growing Into Love
  • ►  2023 (1)
    • ►  Januari 2023 (1)
  • ►  2022 (2)
    • ►  April 2022 (1)
    • ►  Januari 2022 (1)
  • ►  2021 (5)
    • ►  Oktober 2021 (2)
    • ►  Juli 2021 (1)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (1)
  • ►  2020 (38)
    • ►  Oktober 2020 (2)
    • ►  September 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (2)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (18)
    • ►  Januari 2020 (12)
  • ►  2019 (9)
    • ►  Desember 2019 (1)
    • ►  November 2019 (2)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Juli 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (2)
    • ►  Februari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  September 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (2)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Maret 2018 (1)
    • ►  Januari 2018 (1)
  • ►  2017 (21)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  Agustus 2017 (1)
    • ►  Juli 2017 (2)
    • ►  Juni 2017 (1)
    • ►  Mei 2017 (1)
    • ►  April 2017 (1)
    • ►  Maret 2017 (4)
    • ►  Februari 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (3)
  • ►  2016 (10)
    • ►  Desember 2016 (1)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  Oktober 2016 (1)
    • ►  Agustus 2016 (1)
    • ►  Juni 2016 (1)
    • ►  Mei 2016 (1)
    • ►  Maret 2016 (2)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (22)
    • ►  Desember 2015 (4)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  Oktober 2015 (1)
    • ►  September 2015 (1)
    • ►  Agustus 2015 (6)
    • ►  Juli 2015 (2)
    • ►  Juni 2015 (2)
    • ►  Mei 2015 (2)
    • ►  Maret 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (1)
  • ►  2014 (5)
    • ►  Desember 2014 (1)
    • ►  September 2014 (4)

Tags

acara berjalan-jalan dapur kamar renungan kamar tengah kotak musik perpustakaan ruang tengah taman belakang

Created with by ThemeXpose