• Home
  • Author
  • Send a raven!
spotify goodreads SoundCloud

Huis van Abdï

Diberdayakan oleh Blogger.
Bulan-bulan belakangan ini, saya makin tidak karuan. Mood naik turun. Kadang bisa saya kendalikan, tetapi sebagian besar biasanya tidak.

Saya juga tidak bisa mengeksplorasi sekitar (baca: Jakarta), tidak ada dick dating appointment, maupun pengalaman berjalan-jalan yang menyenangkan. Sebabnya adalah suatu yang tidak bisa kita kendalikan: pandemi.

Pandemi memang mengubah hampir seluruh tatanan kehidupan diri dan masyarakat. Mulai dari biasanya kita bebas pergi kemana saja sampai berbaju apa saja tanpa perlindungan.

Saya rasa para ekstrover juga mengalami hal yang menjadikan hidup mereka berada di titik nadir kehidupan. Pertemuan secara langsung dibatasi, pertemuan daring meningkat. Tentu ini akan menurunkan getaran pengalaman bertemu orang secara fisik. Dan itu membuat saya --dan mungkin ekstrover lainnya-- merasa dunia sudah kiamat.

Pergi kemana saja nampaknya harus dipikir dua kali kalau tidak penting-penting amat.

Hei! Tapi.... di situ letak masalahnya!

Sebagai seorang ekstrover yang suka spontanitas dan bersosialiasi dengan orang baru, itu yang hilang! Ini mungkin tidak terikat dengan kepribadi, sih, memang. Tapi, mari kita selami pernyataan itu bersama.

Adanya banyak trait manusia, salah satunya adalah suka bertualang dan berkenalan dengan orang baru. Saya misalnya.

Saya bisa dibilang suka bertualang, mengeksplorasi hal baru, mengalami hal-hal yang menyenangkan sampai yang tidak mengenakkan. Itu yang harus saya rasakan sebagai manusia: mengalami.

Berjalan-jalan spontan tanpa rencana adalah jalan untuk merasakan itu semua. Dan itu akan kita catat di memori kita, yang entah suatu hari dan kepada siapa nantinya akan kita ceritakan.

Ilustrasi oleh Benjamin Davies di Unsplash

Kembali ke zaman pagebluk pandemi sialan ini, rasa-rasanya tidak semua bisa merasakan hal itu. Saya, yang juga punya trait mudah paranoid ini adalah salah satunya.

Akibat pandemi, saya menjadikan dunia dan aktivitas luar ruangan menjadi momok menakutkan. Ya meski sudah ada pernyataan umum kalau nanti bisa sembuh sendiri dan orang berusia lanjut yang akan terdampak berat tetap saja tidak menciutkan paranoid saya tadi.

Selain menjadikan dunia dan aktivitas luar sebagai bahan bakar paranoid, saya juga jadi sering merasa tidak aman ketika berada di dekat orang-orang. Apalagi jika mereka berasal atau pernah ke luar tempat saya tinggal. Rasa-rasanya ingin membungkus diri dengan hazmat!

Tapi hasrat itu saya tahan, karena selain hazmat harganya mahal ternyata berdasarkan penuturan orang-orang, memakainya pun tidak nyaman. Apalagi itu cuma sekali pakai! Menghabiskan uang saya saja rasanya. Duh!

Nampaknya, saya membiarkan diri saya dimakan paranoid tak berkesudahan. Api keberanian yang biasanya berkobar tak kunjung padam entah kemana. Mungkin kalah dengan suhu rendah dan lembab kaki Gunung Salak? 

Apalagi setelah membaca artikel Remotivi ini, saya makin menjauh dari dunia luar. Hubungan dengan orang lain sebatas digital, seperti lagu Mardial bersama Ramengvrl ini.

Berjalan-jalan tanpa tujuan itu penting.

Kita mungkin tidak tahu akan kemana. Tapi, sembari duduk anteng di kendaraan umum kita bisa membaca review tempat nongkrong yang bagus maka kita bisa ke sana.

Atau, rencana awalnya ingin ke suatu tempat, ternyata karena bisikan gut feeling jadi berbelok arah ke tempat lain. Eh ternyata tempat baru yang dituju lebih jelek atau pelayanannya kurang memuaskan! Haha.

Itu semua asyiknya pergi kemana-mana dengan tujuan yang tidak penting-penting amat. Ada keseruan di situ tersendiri di situ. 

Dan pastinya berbeda dengan bepergian dengan tujuan yang penting, yang saklek. Asal sampai tujuan, mengurusi hal-hal penting, setelah beres, langsung pulang. Nikmatnya dimana? Can't relate anymore.

Omong-omong tentang mengalami, saya jadi ingat suatu bagian di buku Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh.

Cinta adalah mengalami.
 
Dengan berkurang bertualang tanpa kepentingan di situasi pandemi ini, saya jadi kurang mengalami. Saya kurang mengalami hal-hal di luar dugaan. Dan sepertinya saya butuh asupan mengalami tadi. 

Jika cinta adalah mengalami, apakah artinya saya juga kekurangan cinta? Apakah itu yang saya dambakan?

Atau, itukah jawabnya?
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
I woke up in not-so-fit condition. I dreamt about you, or at least my mind told me that the person was you.

At that time, your lips didn't moving, meaning you didn't talk to me nor everyone. You remained silent. 

I was happy yet sad when I woke up, opening my eyes without your presence around me. It got me saddened when I realised that lately, we're kind of loose contact. Not so frequent.

On recent days, friends of mine also striked by unlucky situation in their loves. Broke-up if I might supposed.

Finally it striked me as well even though we're not officialy in relationship but I feel theirs. Lost is humans' best friend at the end of the day. So do I.

Badai melankoli menerpa via Sasha Freemind/Unsplash

Honestly, I want to make many memories with you, not just dream. It's true, today was your visit to me. But, please don't come again. I need to make memories with you, not only dreams. 

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Dunia sedang berada dalam masa pandemi. Sedikit banyak, pandemi mengubah sendi-sendi kehidupan baik individu hingga komunitas. Di tengah situasi pandemi yang berubah, banyak laku baru yang menggeser kebiasaan lama.

 

Misalnya, menjaga jarak aman ketika sedang berkumpul. Paling tidak sediakan ruang 1,5 meter dengan orang lain agar risiko penularan bisa diminimalkan. Lainnya adalah membiasakan diri untuk bekerja dari rumah. Hal ini dialami oleh sebagian orang yang tugasnya bisa dilakukan dimana saja.


Rindu ke festival musik via Krists Luhaers/Unsplash

Menjadi ekstrover di tengah keterisolasian tentunya sangat menyiksa. Biasanya setiap hari kerja selalu dipenuhi canda tawa rekan sekantor. Namun kini binasa karena sebagian besar staf bekerja dari kediaman masing-masing.

 

Selain itu, kehidupan bergaul yang di masa sebelumnya bisa dengan mudah dijalankan kini harus ditinggalkan. Tiada lagi pergi ke kedai kopi, pergi menonton film, menyaksikan pagelaran musik, dan bervakansi.

 

Tentu ini sangat bertolak belakang dengan sifat manusia yang merupakan makhluk sosial, yang selama ini dilakukan dengan bertemu dan bercengkerama secara fisik.

 

Saya sendiri yang sudah melakukan bekerja dari rumah sejak akhir Maret sangat tersiksa dengan adanya kebijakan ini. Berkegiatan di luar rumah harus dikurangi. Bertemu dengan teman sepermainan juga. Belum lagi tidak adanya pertunjukan musik yang diselenggarakan. Ini membuat kebiasaan selama ini erat hubungannya dengan seorang ekstrover menghilang,

 

Sebulan rasanya sudah cukup untuk membatasi diri untuk tidak pergi kemana-mana. Di rentang waktu ini pula, rasanya juga sudah cukup untuk mendetoksifikasi kegiatan yang nirfaedah selama menjadi seorang ekstrover (suka berbelanja, nongkrong, makan di luar).

 

Bagaimana pun juga, saya juga bersyukur karena sudah bertahan sejauh ini. Tetap kreatif dalam memenuhi tanggung jawab pekerjaan. Bertahan karena memang saya perlu bertahan dan menemukan vitalitas hidup.

 

Menjadi seorang ekstrover yang dibatasi pergerakannya cukup menantang. Termasuk menjaga pikiran agar tetap sehat dan waras sehingga masih bisa bekerja dengan optimal.

 

Saya juga harus mengakui bahwa saya masih manusia. Artinya, saya juga masih ada kekurangan. Saya harus mengakui itu, dan saya harus memeluk diri saya yang sudah lelah bertahan dengan pembatasan yang ada.

 

Di akhir akhir hari, terima kasih diri sendiri! Ternyata kamu begitu kuat dengan ketidaklaziman ini. Terus bertahan, dan jangan lupa menjadi manusia ya!


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Dua minggu ini terasa tidak produktif. Ingin rasanya untuk tidak merasa tidak produktif. Tapi apa daya, sepertinya memang sedang macet pikirannya.

Memalaskan diri via Isabela Kronemberger/Unsplash
Memalaskan diri via Isabela Kronemberger/Unsplash


Kalau dipikir-pikir ada beberapa yang menyebabkan saya dua pekan belakangan menjadi super tidak produktif, yakni:

  1. Bulan puasa, dimana segalanya terasa terkungkung. Dalam ajaran Islam, selama bulan puasa setan dipenjara tidak boleh berkeliaran menggoda manusia. Karena jiwa saya sebagian adalah terdiri dari serpihan-serpihan setan, maka saya memang merasa terkungkung. Dan ini sangat tidak nyaman.
  2. Hubungan yang tidak "sefrekuensi" lagi dengan teman bermain. Maksudnya teman bermain di sini adalah yang saya temui sehari-hari. Mereka puasa sedangkan saya tidak (sama sekali!) Ya meski mereka toleran dengan membiarkan saya makan di hadapan mereka tapi tetap rasanya tak sama.
  3. Efek macet karena tidak pernah ngopi di luar karena pandemi. Selama pandemi memang kami menghentikan kegiatan ngopi cantik di luar. Boro-boro mau ngopi, ke luar bangunan tempat tinggal saja rasanya jarang sekali. Kecuali membeli makanan untuk mengisi perut yang kosong.
Sebenarnya masih banyak yang menjadi ganjalan, tapi itu tiga penyebab yang membuat pikiran macet, akhirnya tidak produktif.

Padahal saya sudah menghibur diri dengan belanja secara daring, menonton Neflix, membaca buku-buku baru tapi tetap saja masih amcet.

Apa mungkin ini fase? Ya saya rasa juga begitu. Nanti kalau sudah lewat fasenya pasti produktif (saya meyakinkan diri sendiri).

Sepertinya saya harus menulis agar bisa meluapkan segala emosi negatif yang sudah tak terbendung lagi.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Valar morghulis

About Me

Me, is an enigma --for you, for the universe and for I myself. I write what I want to write. Scribo ergo sum. I write, therefore I am.

Follow Me

  • spotify
  • goodreads
  • SoundCloud

Hot Post

Maester's Chamber

  • ▼  2024 (1)
    • ▼  Maret 2024 (1)
      • Merenungkan Eros dan Growing Into Love
  • ►  2023 (1)
    • ►  Januari 2023 (1)
  • ►  2022 (2)
    • ►  April 2022 (1)
    • ►  Januari 2022 (1)
  • ►  2021 (5)
    • ►  Oktober 2021 (2)
    • ►  Juli 2021 (1)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (1)
  • ►  2020 (38)
    • ►  Oktober 2020 (2)
    • ►  September 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (2)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (18)
    • ►  Januari 2020 (12)
  • ►  2019 (9)
    • ►  Desember 2019 (1)
    • ►  November 2019 (2)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Juli 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (2)
    • ►  Februari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  September 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (2)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Maret 2018 (1)
    • ►  Januari 2018 (1)
  • ►  2017 (21)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  Agustus 2017 (1)
    • ►  Juli 2017 (2)
    • ►  Juni 2017 (1)
    • ►  Mei 2017 (1)
    • ►  April 2017 (1)
    • ►  Maret 2017 (4)
    • ►  Februari 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (3)
  • ►  2016 (10)
    • ►  Desember 2016 (1)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  Oktober 2016 (1)
    • ►  Agustus 2016 (1)
    • ►  Juni 2016 (1)
    • ►  Mei 2016 (1)
    • ►  Maret 2016 (2)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (22)
    • ►  Desember 2015 (4)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  Oktober 2015 (1)
    • ►  September 2015 (1)
    • ►  Agustus 2015 (6)
    • ►  Juli 2015 (2)
    • ►  Juni 2015 (2)
    • ►  Mei 2015 (2)
    • ►  Maret 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (1)
  • ►  2014 (5)
    • ►  Desember 2014 (1)
    • ►  September 2014 (4)

Tags

acara berjalan-jalan dapur kamar renungan kamar tengah kotak musik perpustakaan ruang tengah taman belakang

Created with by ThemeXpose