• Home
  • Author
  • Send a raven!
spotify goodreads SoundCloud

Huis van Abdï

Diberdayakan oleh Blogger.
Saya sadari ya, kalau saya menua. Iya, tahun ini menginjak usia 23 tahun. Senang, sedih. Suka, duka. Takut, marah. Cemas, puas. Semuanya sudah saya rasakan dalam rangka merayakan usia perak bertajuk #QuarterLifeCrisis ini.

Di usia ini saya sudah bekerja, tidak mengharapkan apa-apa kecuali bisa mengulang kembali masa-masa kuliah. Dan saya ketagihan akan masa-masa itu. Masa-masa dimana masih menjadi gembel, namun sekarang sudah meningkat statusnya menjadi gembel premium. Ya, cuma itu.

Tapi, yang jelas, perubahan mental terjadi. Namun, bukan revolusi mental Pak Jokowi. Atau kalau disebut demikian ya....monggo.

Jadi, sejujurnya saya belum siap dipanggil "bapak".

Lah?

Lantas kalau belum siap dipanggil bapak, maunya dipanggil apa? Ibu? iya pengennya jadi ibu aja.

Masa-masa memasuki bapak-bapak. Padahal saya berharap akan dipanggil "mas". Ini langsung dipanggil "bapak". Ya, meski bukan rekan-rekan kerja yang memanggil demikian, nampaknya saya butuh waktu untuk dipanggil "bapak". Toh saya tidak boros-boros amat, kan wajahnya?

Ternyata, bukan saya juga yang merasa demikian. Mbak Sofia juga mengalami hal yang sama. Dia menuliskannya di sini. Dan saya sok kenal dengan Mbak Sofia dengan memanggilnya "mbak", bukan ibu. Duh!

Saya juga terinspirasi menulis artikel ini dari Mbak Sofia juga. Dia juga merasa tidak, atau dalam kasusnya, belum siap dipanggil ibu.

Saya tidak tau ini fenomena apa. Yang jelas, saya merasa risih dipanggil bapak.

Panggilan bapak ini, pertama saya rasakan saat dua pertemuan, semacam lokakarya gitu. Otomatis, sebelumnya saya harus berhubungan dengan panitia melalui surel. Karena tidak pernah bertemu, akhirnya saya pun dipanggil "bapak" selama berkorespondensi dengan para panitia itu. Huft.

Ya, menua itu pasti. Saya pun lambat lain dipanggil om oleh krucil-krucil yang tinggal di sekitar kantor di Ternate ini. Duh, merasa menua sekali.

Ini cuma masalah waktu, dan saya harus terbiasa. Dari panggilan "mas" menjadi "bapak", semua berproses. Dan inilah prosesnya, sakit tapi tidak berdarah....


Ini lebih parah wkwk via google

Share
Tweet
Pin
Share
2 comments
Saya benci ketika harus menulis, dan berakhir dengan tanda khusus, yakni draft. Menjadi distraksi tersendiri bagi saya, apalagi itu sudah berbulan-bulan lamanya. Seperti ini misalnya.


Draft yang mengganggu via Dokumentasi Pribadi

Pun saya tidak bisa menulis karena merasa terdistraksi dengan warna oranye saat masuk ke tab "post" di blogger. Karena malas duluan, maka saya memutuskan untuk menutup tab blogger, dan memilih pergi berselancar ke situs yang lain. 

Ternyata tidak hanya saya yang gedek dengan draft ini, teman saya di Twitter juga. Ini buktinya:


Kzl juga siy via Dokumentasi Pribadi


Kayaknya, saya sedikit punya OCD ya? Sepertinya memang iya. 

At the end of the day, menulis memang harus saat itu juga dituntaskan, menurut saya. Tidak bisa tidak. Harus fokus, tidak boleh ada distraksi agar supaya tidak terbuang dan menjadi draft. 

Sekian.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kemarin, hari Kamis, 9 Juni 2017, saya berulang tahun. Setidaknya itu menurut standar umum. Saya lantas bertanya, memang makna ulang tahun itu apa?

Memaknai ulang tahun pasti berbeda-beda setiap orang. Ada yang bermakna bertambah usia, berkurang usia, (seharusnya) menjadi dewasa, dan lain sebagainya. Untuk saya sendiri, apa itu ulang tahun?

Selamat ulang tahun! via Pinterest


Dari pemaknaan kebahasaan (menurut saya), ada dua kata di sini yaitu ulang dan tahun. Tahun yang berulang? Mungkin. Saya sedang malas mencari kenapa akhirnya disebut ulang tahun. Akhirnya, saya merasa ulang tahun yaitu keadaan dimana kita mengulang tanggal dan bulan di tahun-tahun berikutnya dalam hidup kita. Ngomong-ngomong, kenapa tidak ulang tanggal atau ulang bulan ya? Karena kemungkinan jika terlalu sering mengulang tanggal dan bulan, sehingga akan mengalami kebosanan. Selain itu, apabila dirayakan sangat tidak ekonomis karena membuat pengeluaran tiap bulannya. Oke, setidaknya itu menurut saya.

Pemaknaan ulang tahun bisa jadi berbeda, merayakannya juga bisa jadi berbeda. Ada yang dengan mengundang teman, atau hanya mengundang keluarga dan teman dekat. Ada yang meriah, ada yang khidmat. Ada yang diberi kejutan, ada yang malah memberi kejutan. Dan ada juga yang tidak dirayakan, itu semua tergantung.

Lalu, apa hasil refleksi ulang tahun saya yang kedua puluh tiga ini?

Saya berpikir, kalau tubuh kita sebenarnya melakukan proses yang berulang-ulang. Tanpa diingatkan, tanpa diatur, dan tanpa diperintah. Secara teknis, tubuh kita memperbarui terus-menerus dan berulang. Mereka tidak kenal satuan waktu. Tidak kenal apa itu sekon, apa itu bulan, apa itu tahun. Dia membelah berulang kali, hingga menjadi kita yang baru setiap. Jadi, masihkah berulang tahun menjadi sesuatu yang spesial? Masihkah berulang tahun merasa menjadi diri kita baru sementara sel-sel di dalam tubuh kita bekerja memperbarui kita tanpa henti?

Jika Anda tanya saya, maka jawabannya adalah tidak.

Penting untuk diingat, sepertinya makna ulang tahun bukan sekadar bertambahnya atau berkurangnya usia. Saya memaknainya dengan pertanyaan kepada diri saya sendiri: "sudah sejauh mana kamu melangkah? Apakah ini jalan yang kauinginkan?". Ya, terkadang bertanya menjadi hal krusial yang penting ditanyakan pada diri sendiri..

Hal yang menjadikan hari ulang tahun terasa spesial yaitu surprise yang kadang muncul. Sesuatu di luar dugaan kita, yang beruntungnya, membuat kita bahagia. Karena selain teringat akan ulang tahun kita, kita juga merasa mendapat apresiasi dari lingkungan pertemanan kita. Hingar-bingar kejutan, apalagi mendapat kejutan yang memang kita idam-idamkan sangatlah menyenangkan. Meskipun saya belum pernah diberi kejutan yang "wow" dan tidak terlupa.

Akhirnya, selamat ulang tahun kepada diri saya sendiri. Suatu bentuk apresiasi kepada diri sendiri, terhadap apa yang sudah saya lakukan selama 23 tahun. Tidak akan sampai fase ini tanpa campur tangan dari orang tua, keluarga, sahabat, guru, serta orang-orang lain yang membantu hingga saat ini.

Sekali lagi, selamat ulang tahun Afrizal Maulana Abdi!



Agar suasananya tidak terlalu kelam, mari ceriakan tulisan kali ini dengan berdendang bersama Postmodern Jukebox!



Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kopi mendekatkan kita via akun instagram Coffeetarian 

Agak susah menurut saya mencari kedai kopi di Ternate. Mau cari angkringan seperti di Jawa, apalagi. Jadilah di awal-awal kepindahan saya di sini membawa kopi sendiri dari rumah.

Saya sendiri tidak terlalu fanatik kopi ya, bukan penikmat garis keras juga. Cuma setidaknya saya tau perbedaan kopi arabika dan robusta. Apa itu coffee speciality. Berapa perbandingan susu di latte dan cappucino. That's it.

Jangan lupa ngopi via funnygasm.com

Setelah sebulan di sini, akhirnya saya menemukan satu representasi kedai kopi seperti di Jawa, coffee shop hits lah istilah alaynya. Jadi, si empunya ini ternyata bukan orang asli Ternate, tapi pendatang seperti saya. Namanya Bang Rio, dari Makassar. Sebelumnya kedai kopinya ada di dekat kantor, Jati Perumnas. Tapi sekarang dia mendirikan kedai baru di lokasi yang agak jauh dari kantor. Akhirnya, saya ke sana.

Istilah yang umum di kedai kopi via Huffington Post


Di kedai barunya yang sudah lebih dari dua minggu soft opening, saya lebih menikmati. Kenapa? Karena tempatnya tidak terlalu besar, tapi hangat. Hangat karena percakapan antar staf kedai yang ramah. Sebuah privilege tersendiri pastinya.

Malam Minggu kemarin, saya akhirnya pergi ke Coffeetarian, nama kedai kopinya. Di situ saya langsung disapa oleh Bang Rio sendiri. Terlihat dia sedang sibuk mengutak-atik gawainya. Sudah saya tebak kalimat yang bakal dilontarkan pertama kali "lama ga keliatan Mas Abdi".

Akhirnya malam itu saya putuskan untuk memesan kopi toraja sesean dengan metode french press. Tidak ada yang bisa mengalahkan after taste kopi arabika menurut saya, sensasi asam di lidah tidak akan terganti. Lagi pula saya juga mengantisipasi naiknya asam lambung, yang biasa muncul setelah minum kopi robusta. Ampun!

Untung ada buku via dokumentasi pribadi

Sebuah kemajuan menurut saya, di suatu kedai kopi (dimanapun) ada buku yang menunggu untuk dibaca. Begitu juga malam itu yang saya habiskan dengan membaca novel Critical Eleven karya Ika Natassa. Such a perfecto <insert a cup of coffee emoji here>.

Malam mulai larut, selarut gula dalam kopi. Kedai tinggal satu dua orang. Akhirnya kami bersatu, dari yang tidak kenal akhirnya kenal. Termasuk Bang Rio yang turut bergabung dalam meja yang sudah disatukan itu. Kata Bang Rio, dia suka buka bisnis seperti ini. 

Soalnya bisa mengamati tingkah laku orang-orang minum kopi, selorohnya.

Dia pun bercerita, tiap orang punya kebiasaan tersendiri saat minum kopi.

Ada yang selalu sendirian datang ke kedai, selalu memesan yang dingin-dingin meski saat itu cuaca sedang dingin. Mau cuaca hujan, badai, hujan salju, dia selal memesan menu yang dingin.

Ada yang tidak berhenti merakit gunpla (figur robot Gundam) sebelum rakitannya selesai. Merakit butuh kesabaran, sembari menunggu kepulan asap kopi menguap, lebih baik membunuh waktu dengan merakit, bukan?

Ada yang memesan menu tanpa menghabiskan, sudah memesan lagi. Akhirnya, Bang Rio bilang "bayar segini aja mbak".

Dan ada pula orang yang memakan ampas kopi setelah kopinya habis *bercermin*. Kebiasaan aneh saya. Karena saya tidak terlalu suka yang manis-manis, akhirnya ampas kopi di dasar alat french press saya jadikan cemilan. Meski french fries yang saya pesan masih ada. Hehe.

Sampai masuk insta-story segala via dokumentasi pribadi

Malam itu akhirnya saya pamit pulang lebih dahulu. Pukul 01.00 WIT saya beranjak dari konferensi meja yang digabung itu. Tidak perlu neko-neko bermalam minggu bersama pacar, kalau rame-rame lebih seru, 'kan?

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Valar morghulis

About Me

Me, is an enigma --for you, for the universe and for I myself. I write what I want to write. Scribo ergo sum. I write, therefore I am.

Follow Me

  • spotify
  • goodreads
  • SoundCloud

Hot Post

Maester's Chamber

  • ▼  2024 (1)
    • ▼  Maret 2024 (1)
      • Merenungkan Eros dan Growing Into Love
  • ►  2023 (1)
    • ►  Januari 2023 (1)
  • ►  2022 (2)
    • ►  April 2022 (1)
    • ►  Januari 2022 (1)
  • ►  2021 (5)
    • ►  Oktober 2021 (2)
    • ►  Juli 2021 (1)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (1)
  • ►  2020 (38)
    • ►  Oktober 2020 (2)
    • ►  September 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (2)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (18)
    • ►  Januari 2020 (12)
  • ►  2019 (9)
    • ►  Desember 2019 (1)
    • ►  November 2019 (2)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Juli 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (2)
    • ►  Februari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  September 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (2)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Maret 2018 (1)
    • ►  Januari 2018 (1)
  • ►  2017 (21)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  Agustus 2017 (1)
    • ►  Juli 2017 (2)
    • ►  Juni 2017 (1)
    • ►  Mei 2017 (1)
    • ►  April 2017 (1)
    • ►  Maret 2017 (4)
    • ►  Februari 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (3)
  • ►  2016 (10)
    • ►  Desember 2016 (1)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  Oktober 2016 (1)
    • ►  Agustus 2016 (1)
    • ►  Juni 2016 (1)
    • ►  Mei 2016 (1)
    • ►  Maret 2016 (2)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (22)
    • ►  Desember 2015 (4)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  Oktober 2015 (1)
    • ►  September 2015 (1)
    • ►  Agustus 2015 (6)
    • ►  Juli 2015 (2)
    • ►  Juni 2015 (2)
    • ►  Mei 2015 (2)
    • ►  Maret 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (1)
  • ►  2014 (5)
    • ►  Desember 2014 (1)
    • ►  September 2014 (4)

Tags

acara berjalan-jalan dapur kamar renungan kamar tengah kotak musik perpustakaan ruang tengah taman belakang

Created with by ThemeXpose