Saya sedang
tidak suka apa-apa yang berbau premium. Bukan bahan bakar yang memang baunya
menyengat, ya. Tapi produk maya yang premium, misalnya saja Spotify.
Kenapa?
Entah. Mungkin sedang bosan.
Memang iklan
terdengar menjengkelkan, tapi entah kenapa setelah beberapa kali mencoba fitur
premium saya jadi rindu suara iklan di jeda antarlagu.
Karena
Spotify menerapkan kebijakan membatasi melewati lagu hal ini tentunya sedikit
banyak ada faedahnya: agar kita juga terbiasa tidak menekan tombol thank you
next sesering mungkin.
Ini jadi pertimbangan
menurut saya karena kita jadi tidak bisa menghayati lagu-lagu baru yang
kemungkinan banyak disuka khalayak ramai. Terlalu melewati lagu juga membikin
kita tidak fokus mengerjakan hal lainnya. Jadinya kita terpaku hanya pada
tombol next.
Sebetulnya
isi iklan Spotify juga tidak terlalu mengganggu. Apa mengganggunya coba kalau
isinya cuma itu-itu saja? Yakni menyuruh kita untuk meningkatkan status dari
pengguna biasa menjadi pengguna premium.
Untuk golongan
orang-orang yang sudah murtad premium tentunya juga tidak terlalu berpengaruh.
Sering-seringlah beriklan, toh sudah mencicipi bagaimana menjadi bagian jamaah
al-frimiumiyah.
Lain cerita
dengan domain blog yang sudah kembali ke jalan yang benar: blogspot dot com.
Ini juga saya akhirnya berpindah karena ternyata dengan membeli domain tulisan
saya tidak produktif. Malah makin berkurang kuantitasnya.
Membeli
domain juga tidak menyumbang pemasukan, bahkan sebaliknya. Domain menggerus
pundi-pundi saya hingga alamat blog saya harus ditangguhkan.
Tidak Premium? Anda Sobat Missqueen ya?
Pusing pala sobat missueen via Unsplash |
Bukan begitu ya. Juga bukan tidak ada maksud untuk menjadi tidak premium selamanya. Tapi sepertinya menikmati masa-masa tidak premium adalah selingan yang menyenangkan. Jadi ada variasinya, gitu. Ibarat tuts piano, tidak semua putih kan? Kita perlu tuts hitam untuk memperindah suatu lagu.
Lagipula kalau ditanya, jawab saja dengan enteng: saya pernah premium kok. Urusan kelar.
Hm, menurut saya golongan premium juga golongan orang yang lemah. Lemah karena tidak tahan suara iklan yang memang terkadang mengganggu. Tapi, bukan berarti saya tidak menampik bahwa diri ini adalah golongan yang lemah. Karena tanpa golongan lemah, golongan kuat tahan iklan tak kan pernah ada. So, cheers to them!
Untuk menutup tulisan tidak jelas ini, saya hanya ingin menekankan bahwa ya....menjadi tidak premium bukan dosa besar. Nikmatilah!