• Home
  • Author
  • Send a raven!
spotify goodreads SoundCloud

Huis van Abdï

Diberdayakan oleh Blogger.
Saya merasa tidak baik-baik saja akhir-akhir ini. Rasanya, ada monster dalam kepala saya. Monster yang diam-diam menggerogoti sel-sel kelabu otak, yang kian hari kian gawat. Rasanya melebihi menekan jerawat!

Entah kenapa bermalas diri, padahal bermalas diri pangkal miskin. Ataukah saya memang miskin iman?


Depresi via Sasha Freeman/Unsplash


Katanya, di usia 20-an, ada fase yang disebut quarter life crisis atau krisis seperempat abad. Ya, asumsikan saja usia kita mencapai 100 tahun. Meski rentang usia manusia zaman now tidak sepanjang itu dengan gaya hidup yang serba racun, hingga ubun-ubun.

Dear diriku,
Ingatlah, ini hanya fase kehidupan. Jangan mau kalah sama Yang Mahamempermainkan! Dia cuma, ah....tak lebih dari dirimu! Ingat tat tvam asi? Ya, dirimu adalah bagian dari diriNya. Jangan takut! Tarik napas, jangan lupa keluarkan!

Apa yang dirimu hadapi akan kaujadikan bahan tertawaan. Tentu jika dirimu mau sedikit menikmati waktu. Biarlah Sang Kala menunjukkan proses, hasil, nanti dulu. Jangan terburu-buru.

Oh ya, dirimu, kau akan baik-baik saja tentunya. Ini cuma ada dalam pikiranmu yang terlalu overthinking. Jadi, tenanglah. Jangan biarkan ini berlarut-larut. Dan jangan pula monster ini menundukkan kepalamu, dan membuat mahkota berhargamu jatuh.

Semangat!

A golden crown via Patrick Sponaugle
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sebulan sudah saya di Malang, berpindah tempat kerja ke rantau yang lebih dekat dengan rumah. Saya bukan pencerita yang baik, bahkan saya tidak menuliskan hal-hal yang saya sepatutnya tuliskan ketika berada di Ternate, kala itu. Mungkin setelah ini, akan ada bagian yang hilang tersebut yang akan saya tulis.

Kembali ke Malang berarti kembali pada dinginnya musim pancaroba. Saat peralihan dari musim hujan ke musim kemarau. Musim Maba (mahasiswa baru) kami menyebutnya. Dimana pagi hari suhu hanya belasan celsius, dan malamnya akan bertambah dingin.

Hampir dua tahun hidup di tempat yang kaya akan sinar matahari, lalu kembali ke tempat yang cenderung dingin kering membikin tubuh saya agak kewalahan.

Seminggu pertama saya di Malang, kira-kira dari tanggal 25 Juni saya mengalami murus-murus. Alias, suka BAB. BAB-nya bukan normal, tapi lebih ke cairan dan gas saja (jangan dibayangkan!). Bahkan sehari bisa sampei 6 atau 7 kali BAB. Sungguh cara BAB yang sangat boros air!

Pekan kedua, hidung saya tersumbat sehingga susah bernapas. Ini juga tidak ramah lingkungan karena saya juga harus bolak-balik ke kamar mandi untuk membuang ingus. Hal ini diperparah dengan kamar kost yang terletak lebih rendah dari pada tanah, sehingga menambahkan kelembaban.

Memasuki minggu ketiga, akhirnya tubuh saya sudah mulai bisa menerima dan beradaptasi kembali dengan cuaca Kota Malang yang nduselable.

Dua minggu (atau lebih) pertama saya di Malang, saya rasa saya dikalibrasi untuk menyesuaikan dengan cuaca di sini. Cuaca yang bisa dinikmati sambil cuddling, kalau punya pasangan sih. Hehe.

Ngomong-ngomong masalah ndusel, saya akhirnya membuat playlist di akun Spotify saya untuk menemani hari-hari di Malang sebagai kota yang kelonable.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Afternoon Talk merupakan band indie asal Lampung yang beranggotakan Osa, Sofia, dan Ridwan. Band yang dibentuk pada 2011 ini mengusung genre folk, dipadu dengan suara guitalele yang syahdu sehingga menimbulak kesan yang "lembut" dan "menyejukkan".

Lagu ini berisi tentang sepasang kekasih yang sedang berfantasi memiliki pulau pribadi. Dua orang itu sedang dimabuk asmara, tak ayal imaji mereka membubung tinggi. Ya, itulah makna dari lagu ini menurut saya, dimana sejoli sedang berada dalam keadaan intim, sebuah momen yang tidak terlupakan :)


Artwork untuk single Island via Bandcamp.com
Island - Afternoon Talk

We can build a kingdom here
And we can start a colony
Cause it’s just you and I lay here in silence
Kita bisa membangun sebuah kerajaan di sini, lengkap dengan kastilnya yang megah. Juga dengan pengawal dan dayang-dayang kerajaan. Ya! Dan jangan lupa, kita bisa membentuk koloni di sini. Agar tak sesepi seperti sekarang ini, hanya aku dan kamu saja. Kamu tidak mau ‘kan kerajaan itu hanya berisi aku dan kamu?

I start to wonder
If I could find inside the wild a tiger, a lion, an elephant and elses
I’d ask them to bring all their fine friends to the seashore.. Oooo Oooo..
Aku jadi bertanya-tanya, apakah di sini ada hewan-hewan liar? Bisakah kutemukan mereka di hutan? Misalnya seperti harimau, singa, gajah dan yang lainnya? Oh sungguh bagus jika mereka semua ada di pulau ini! Dengan begitu koloni kita akan dipenuhi ingar-bingar, tidak akan sunyi. Aku pun akan menggiring hewan-hewan itu semua ke sini, ke pantai ini! Oh indahnya jika mereka ada di sini~

We can dance, we can dance along the night
We can sing, we can sing until the sunrise
Around the fireside we’ll be drunk and fall asleep
In our island, in our treasure island..
Kita dapat menari sepanjang malam, sesuka hati kita tanpa ada yang mengganggu. Menarilah sampai kita lelah! Kita juga bisa memuaskan keinginan kita untuk bernyanyi sepanjang malam, sampai kita bertemu sang surya! Tidak akan ada yang mengeluh jika kita membuat kegaduhan sepanjang malam. Setelah puas dengan menari dan bernyanyi mengelilingi api unggun, kita terlelap karena terlalu capai. Mimpi dengan indah di pulau koloni milik kita, di kerajaan milik kita.

We can walk by the shimmering sand
The sky is as blue as your eyes, it’s where I would stay
We’ll find some games to play
Let’s feel the breeze and fly away
We don’t have much to say
So let’s just get your boat and catch the wave!
Di pulau koloni kita ini, kita juga bisa menyusuri pantai yang pasirnya berbisik lembut itu. Birunya langit seperti warna biru matamu, di situlah aku lihat sorot mata yang teduh. Sorot mata biru yang tenteram, yang seakan memanggilku untuk pulang ke pelukanmu. Sembari berjalan di pantai ini, cobalah kaurasakan angin laut yang berembus pelan. Rasakan hingga kau merasa terbang tinggi seperti burung camar di laut. Sampai-sampai kita tidak bisa berbuat banyak. Sampai-sampai tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulut kita. Hei daripada diam, ayo naiki perahu yang sedang bersandar di dermaga itu! Kita nikmati debur ombak dan birunya laut itu!

We can dance, we can dance along the night 
We can sing, we can sing until the sunrise
Around the fireside we’ll be drunk and fall asleep
In our island, in our treasure island..
Seharian sudah kita bersenang-senang di pantai. Malam pun tiba, saatnya kita membuat pulau ini ramai kembali. Menari-nari mengelilingi api unggun. Hangat api membuat kita makin bersemangat, menari sambil menyanyi semalam suntuk. Hingga kita tertidur saking lelahnya di pulau berharga yang indah ini.



Selamat mendengarkan!





Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Lahir pada hari ini, 111 tahun yang lalu, Rachel Carson adalah seorang penulis dan ekologis berkebangsaan Amerika Serikat. Karena bukunya yang berjudul "Silent Spring" dia dinobatkan sebagai wanita pengubah sejarah lingkungan di Amerika Serikat (AS), bahkan dunia. Kenapa?
Buku legendaris, yang semestinya dibaca tiap mahasiswa pertanian seperti saya via Manhattan Rare Book Company
Dalam bukunya yang diterbitkan pada 1962 itu, dia memaparkan dampak dari kebijakan pemerintah AS pada masa itu yang mengggunakan pestisida berbahan aktif DDT (dichlorodiphenyltrichloroethane) untuk memberantas hama spruce budworm (Choristoneura sp.). Dampaknya adalah berkurangnya populasi ikan salmon di Sungai Miramichi. Dia menulis, DDT memang aktif memberantas spruce budworm, namun DDT juga sama mematikannya pada serangga air yang merupakan makanan ikan salmon yang masih muda, sehingga pada masa itu terjadi pengurangan populasi yang signifikan.
Rachel Carson via Alabama Chanin Journal
Setelah publikasi buku Silent Spring, banyak negara-negara mengikuti langkah Amerika Serikat untuk mengurangi, bahkan menghentikan penggunaan pestisida berbahan aktif DDT. Misalnya Swedia yang hampir 10 tahun bisa mengurangi penggunaan DDT sebesar 68%, dan mengurangi dampak pestisida terhadap kesehatan manusia sebesar 77%.
Berkebalikan dengan Swedia, Indonesia pada tahun 60-an yang dipimpin oleh Presiden Soeharto malah sedang gencar-gencarnya melakukan Revolusi Hijau, yang diimplementasikan melalui Repelita, Rencana Pembangunan Lima Tahun. Repelita Pertama (1969–1974) bertujuan memenuhi kebutuhan dasar dan infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian.


Repelita I via slideshare
Dilaksanakannya Repelita I menurut saya, merupakan suatu kerugian di bidang pertanian. Mulai dari kesuburan yang berkurang, hilangnya sumberdaya genetik, hingga berkurangnya kearifan lokal petani yang selaras dengan alam. Di sini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi selama dilaksanakannya program Repelita, yang berakibat sampai detik ini.

Penyemprotan pestisida pada tanaman pertanian memang menurunkan tingkat serangan, sehingga panen meningkat. Namun, hal ini juga turut mematikan serangga predator yang merupakan musuh alami hama tadi. Sehingga berakibat juga pada keseimbangan jaring-jaring makanan di alam.

Sebenarnya, petani-petani pada masa sebelum Repelita sudah memiliki teknologi mengenai pertanian. Input pertanian (pupuk, pestisida) yang minim dan keseimbangan ekologis adalah koentji. Namun, karena pada masa itu komunikasi pemerintah bersifat top-down, dimana masyarakat harus tunduk patuh (karena rezim militernya) akhirnya petani tidak punya pilihan lain selain mengikuti keserakahan dan ambisi penguasa saat itu.

Input pertanian berupa pupuk dan pestisida yang juga anorganik digalakkan, petani diikutkan bimas (bimbingan massal). Dalam bimas ini, petani didorong untuk menggunakan input anorganik, harapannya agar produksi padi meningkat, sehingga target swasembada pangan tercapai.
Warisan Orba dari Program Repelita via Republika.co.id
Praktiknya, produksi padi memang mengalami peningkatan yang drastis, dan tentunya Indonesia berhasil swasembada. Namun, bimbingan teknis yang tidak dibarengi dengan pengembangan kapasitas internal petani, mengakibatkan ketergantungan petani terhadap pupuk dan pestisida itu makin tinggi. Dampak dari tingginya penggunaan pupuk dan pestisida anorganik yaitu pencemaran pada sungai, turunnya keanekaragaman hayati pada ekosistem, serta rusaknya keseimbangan hara dalam tanah.

Sumarno (2006) dalam publikasinya menyebutkan dampak negatif dari Revolusi Hijau zaman Orba pada komoditas padi yaitu:

  1. Usahatani pada komoditas padi memerlukan modal yang tinggi, karena adanya keharusan petani untuk membeli input eksternal seperti benih, pupuk, dan pestisida
  2. Budidaya padi harus mengikuti panduan yang rumit seperti jumlah benih per hektar, umur bibit dll.
  3. Adanya satu varitas unggul nasional yang ditanam secara luas
  4. Varitas lokal padi unggulan terdesak
  5. Keanekaragaman varitas padi menjadi berkurang, bahkan varitas lokal menjadi punah
  6. Tanaman padi menjadi lebih rentan terhadap hama dan penyakit
  7. Interaksi hama dan varitas rakitan menyebabkan adanya hama yang lebih resisten
Melihat dampak-dampak yang ditimbulkan, sungguh sangat disayangkan bahwa kita sudah kehilangan kesempatan untuk mengeksplorasi keanekaragaman hayati milik kita sendiri. Kebijakan yang tidak tepat dan cenderung ambisius, melahirkan dampak yang sangat susah bahkan tidak mungkin untuk dipulihkan.

Di hari ulang tahun Rachel Carson ini, saya berpikir untuk lebih awas dan sadar akan pentingnya dampak yang ditimbulkan daripada sekadar keinginan manusia. Penggunaan sesuatu yang berlebihan pastilah menimbulkan dampak yang tak terduga, karena dampaknya beum muncul sekarang, namun nanti.



Bahan rujukan:

Pimentel, D. 2012. Silent Spring, the 50th Anniversary of Rachel Carson's Book. https://bmcecol.biomedcentral.com/articles/10.1186/1472-6785-12-20. Diakses pada 27 Mei 2018
Rusdianto. 2015. Merawat Varietas Lokal, Kebangkan Selaras Alam. http://www.mongabay.co.id/2015/05/17/merawat-varietas-lokal-kembangkan-selaras-alam/. Diakses pada 27 Mei 2018
Sumarno. 2006. Teknologi Revolusi Hijau Lestari untuk Ketahanan Pangan Nasional Masa Depan. Seminar Nasional Sumber Daya Lahan Pertanian. Bogor
....dan sumber dari Google dari hasil "dampak negatif revolusi hijau".
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kadang saya merasa masih belum kenal dengan diri sendiri. Terdengar aneh? Biarlah. Saya merasa saya masih kaku dan terkadang merasa awkward dengan diri sendiri.

Hal yang paling aneh menurut saya adalah, saya orangnya mudah bosan. Ini sudah tercermin dari dahulu kala, sejak saya masih dibelikan mainan oleh orang tua. Minggu ini inginnya itu, minggu depan sudah bosan dengan mainan itu. Lalu saya merengek minta mainan baru. Besoknya sudah tau-tau bosan dan ingin mainan yang lain. Dan seterusnya.

Bermuram durja(na) via freeimages.com

Menjadi pribadi yang mudah bosan kadang menjengkelkan. Contohnya ya....saya. Dan saya juga jengkel dengan diri sendiri kenapa amat mudah bosan? Amat mudah beralih kesukaan?

Ngomong-ngomong masalah kesukaan, saya jadi ingat seseorang yang saya suka. Belum cinta, sih. Tapi apa bedanya suka dengan cinta? Entahlah, silakan bedakan sendiri.

Kemarin saya iseng-iseng menandai tanggal dimana saya sedang menyukai seseorang. Iya, masih tahap suka. Dari hasil menandai kalender sebulan terakhir, saya sudah berganti orang yang disuka sudah tiga kali. Saya bebaskan Anda untuk menghakimi saya orangnya nanti tidak setia.

Yah....ternyata saya suka sama orang cuma maksimal 2 minggu, habis itu suka sama yang lain. Tidak asyik, ya?


Saya kadang ingin seperti orang lain yang kalau suka ya suka sekali. Tenggelam dalam rasa yang tak pernah padam, sampai akhirnya jadian. Sayangnya saya bukan individu yang seperti itu. Saya terlalu egois untuk tidak berpindah ke lain hati.

Cuma berapa hari tuh 😭

Tapi mau bagaimana lagi? Inilah diri saya, yang rentang kesukaan terhadap orang hanya seumur kecambah kacang hijau. Saya harap bisa menjadi catatan tersendiri untuk saya, dan jodoh saya yang mungkin sedang membaca (oke, bagian ini bisa di-skip).

Kadang sedih sih, tapi apa mau dikata
Teruntuk saya, janganlah berkecil hati. Berbesarlah hati menghadapi kenyataan hidup. Ingat, selagi masih muda silakan berbosan-bosan dahulu! Cheers!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kenapa Just Do It?

Karena itulah kata yang perlu saya tanamkan dan amalkan, setidaknya buat saya. Saya sudah terlalu banyak berpikir sebelum bertindak, yang ujung-ujungnya menjadi wacana tanpa realisasi.

Just do it, atau "lakukan saja". Ya....meski perlu berpikir dulu sebelum bertindak.

Saya jadi rindu diri saya yang lama, yang spontan. Dimana saya bisa bertindak dulu sebelum berpikir, bertindak dulu sebelum berkata, ataupun bertindak dulu sebelum bertindak(?)

Dulu, waktu masih sering ikut tes bakat dan jurusan (yang ujung-ujungnya saya tidak perlu repot tes masuk universitas) ketika ada pertanyaan bertindak atau berpikir terlebih dahulu, saya pasti pilih bertindak lebih dahulu.

Lakukan saja, lakukan.... via dokumentasi pribadi

Tahun berganti, kulit saya mengelupas, sel-sel saya makin tumbuh semakin kompleks, sayapun bermetamorfosis. Yang dulu berpikir dinomorduakan, sekarang dinomorsatukan. Ya sudah, namanya manusia pasti berubah, pikir saya dalam hati.

Diri ini menyesuaikan, saya juga begitu. Lingkungan baru artinya penyesuaian baru pula. Berubah itu pasti, munafik itu pilihan apa sih


Share
Tweet
Pin
Share
2 comments
Sebulan ini saya absen menulis di blog. Mirisnya banyak kesibukan membuat saya bertambah malas. Atau mungkin ini akumulasi dari gairah piknik yang tidak tersalurkan? Entahlah.

Pada bulan yang baru ini, Maret, tugas saya juga bertambah. Mencari artikel yang berkaitan dengan isu yang organisasi tempat saya bekerja tangani. Dari artikel tersebut dikumpulkan menjadi satu menjadi laporan per semester. Jadi setahun akan ada dua buah laporan berdasarkan artikel sudah saya kumpulkan tadi.

Bagi saya, it's okay bertambah pekerjaan. Namun pertanyaannya adalah: kenapa tidak dari awal tahun? Sudahlah, biarlah menjadi misteri.

Tugas baru ini sebenarnya tidaklah berat, hanya membutuhkan kejelian saja. Karena saya sampai sekarang masih mecari cara agar berlangganan artikel news tapi topiknya langsung mengerucut ke perdaganga satwa liar. Entah itu aplikasi atau apalah. Karena saya sejujurnya sangat malas mencari. Hehe.

Akhir kata, semoga dengan bertambahnya tugas ini saya juga rajin menulis di blog!

Suatu pagi yang mendung di Obilatu via dokumentasi pribadi

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Saya termasuk orang yang tertarik pada bacaan yang bertema kebiasaan, nilai, tradisi serta kebudayaan suatu etnis. Sebut saja sampai sekarang saya masih tekun membaca buku Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940. Selain itu, saya juga membaca Pasar, yang menceritakan bagaimana nilai-nilai Jawa diturunkan. Buku itu ditulis oleh Kuntowijoyo sudah sudah saya ulas di sini.

Kali ini saya akan mengulas buku Tarian Bumi karya Oka Rusmini, yang mengangkat budaya Bali. Kita semua sudah tahu pasti bahwa Bali, tidak bisa lepas dengan adat-istiadatnya yang mengakar. Menjelma dalam tingkah laku keseharian, sehingga banyak yang akhirnya tertarik, dan tentu kagum.

Namun dibalik itu, selalu ada kisah yang jarang dibicarakan. Kisah itu dirangkum oleh Oka Rusmini dengan apik dalam buku yang diterjemahkan menjadi "Earth Dance" ini.

****


Judul: Tarian Bumi
Penulis: Oka Rusmini
Cetakan: Ketiga, Maret 2017
Tebal: 176 halaman
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama





Sampul depan Tarian Bumi via dokumentasi pribadi




Menjadi perempuan tidak selalu mudah, apalagi seperti Luh Sekar. Luh Sekar adalah seorang perempuan dari kasta Sudra yang berambisi "keluar" dari lingkaran kemiskinan, dan hidup penuh hingar-bingar kemewahan. Nyatanya, ada hal-hal yang harus ia korbankan untuk keluar dari kehidupannya.

Hidup Luh Sekar muda penuh penderitaan yang tak berkesudahan. Ayahnya tak tau rimbanya setelah dituduh ikut PKI. Luh Dalem, ibunya dirampok, disiksa hingga matanya buta serta diperkosa oleh sekelompok lelaki. Ibunya kemudian hamil. Luh Sekar juga harus menahan gunjingan warga desa ketika ia mendengar kasak-kusuk bahwa Luh Kerta dan Luh Kerti, adik kembarnya merupakan anak haram.

Ambisi Luh Sekar adalah menjadi penari terkenal, menjadi pragina(1). Namun hal ini ditentang oleh Luh Kenten, teman satu-satunya Luh Sekar. Ia bersikeras agar Luh Sekar jangan sampai menjadi penari, karena sebenarnya....Luh Kenten menyukai Luh Sekar. Ia cemburu apabila ada orang lain baik perempuan maupun laki-laki yang memandang tubuh molek Luh Sekar ketika menari.

Seiring berjalannya waktu, Luh Sekar menjadi pragina di sekehenya(2). Menari dari satu kampung ke kampung lain, menyebabkan pengibing(3) manapun tak percuma menyelipkan saweran di kembennya. Hingga suatu waktu, ia membidik Ida Bagus Ngurah Pidada, anak bangsawan yang sering menyawer saat Luh Sekar menari.

Luh Sekar membuat Ida Bagus Ngurah Pidada bertekuk lutut, hingga suatu hari Luh Sekar diajak bertemu calon ibu mertuanya. Ida Ayu Sagra Pidada sangat tidak menginginkan anaknya menikahi "Ni Luh", calon menantunya haruslah "Ida Ayu" seperti dirinya. Luh Sekar sudah bulat tekadnya agar suaminya seorang lelaki Brahmana. Tak patah arang, Luh Dalem mencarikan jalan agar Luh Sekar dipersunting oleh bangsawan itu. Hingga ia berhasil dinikahi seorang Ida Bagus.


****

Isi buku ini tidak hanya berpusat pada Luh Sekar saja. Cerita berlanjut saat ia hidup di griya(4) dan harus menjadi bangsawan. Bagaimana Luh Sekar harus mengalami hari-hari yang keras karena dominasi Ida Ayu Sagra Pidada. Ada yang unik yaitu ibu mertuanya --secara adat-- menggantikan posisi ayah mertuanya. Sang istri menjadi suami, dan suami menjadi istri. Itulah sebabnya Ida Bagus Tugur, bapak mertua Luh Sekar lebih diam ketimbang ibu mertuanya.

Cerita Ida Ayu Telaga Pidada, anak Luh Sekar juga menarik. Bagaimana ibunya menjadikan ia sebagai penari. Penari yang tentu berbeda dengan ibunya karena Telaga menjadi penari saat ada upacara adat. Didatangkannya Luh Kambren, guru tari terbaik di Bali, yang juga menyimpan kisah kelam.

Di griya, Telaga juga menemui cinta pertamanya. Seorang Sudra yang mengabdi pada kakeknya. Akhirnya pergulatan batin menemui Telaga. Yakinkah ia bahwa seorang Sudra bernama Wayan Sasmitha itu laut yang akan dia arungi?

Buku ini tentunya sangat menarik karena banyak mengeksplorasi pakem-pakem dan aturan di masyarakat Bali, yang sedikit sekali kita ketahui. Selain itu, Oka Rusmini menggunakan banyak sudut pandang yang berbeda-beda. Kita diajak berganti tokoh. Menjadi tokoh Sudra, tokoh Brahmana. Menjadi tokoh yang berambisi, menjadi tokoh yang open minded, lalu menjadi tokoh yang nrimo.

Tarian Bumi menceritakan bagaimana adat-istiadat begitu ingin didobrak. Misalnya saja saat Luh Kenten bergulat batinnya ketika mengetahui bahwa dia berbeda. Dia berbeda, karena dia perempuan yang menyukai perempuan. Entah karena apa, dia menyukai lekuk tubuh Luh Sekar. Saat paling menyiksa adalah ketika Luh Sekar bertelanjang di hadapan Luh Kenten. Tentunya ini menjadi pergulatan sendiri bagi Luh Kenten. Sayangnya Luh Kenten tidak diceritakan lebih lanjut, apakah dia hidup tanpa lelaki atau akhirnya menikah.

Kita juga disajikan bagaimana kemolekan Bali dieksploitasi oleh Barat. Sebutlah cerita tentang nasib nahas Luh Dampar, teman Luh Kambren yang menikahi orang Jerman. Luh Dampar ditemukan mati gantung diri di studio suaminya, Galeri Dampar.

Di studio itu, Luh Kambren menemukan banyak foto, kartu pos, lukisan Luh Dampar dalam keadaan tak berbusana. Suaminya menjadikan Luh Dampar model bagi karyanya, yang kemudian karya itu dia jual ke teman-temannya di luar negeri. Naah juga menghampiri suaminya, ia harus mati dipukuli orang sekampung.

Sampul belakang Tarian Bumi via dokumentasi pribadi

****

Awalnya buku ini sangat njlimet, dengan beberapa catatan kaki (meski tidak sebanyak Supernova). Hal ini berkaitan dengan istilah panggilan dalam keluarga Bali, dimana kasta menjadi penentu. Kapan memanggil ratu, tuniang, tukakiang, atau odah.

Namun bagi penikmat kebudayaan, buku setebal 176 halaman ini sangat patut untuk dibaca. Cara Oka Rusmini mendeskripsikan nilai, adat-istiadat, pakem budaya Bali sangat menggairahkan. Seperti saat upacara turun kasta, patiwangi menjadi penutup perjalanan perempuan di buku ini. 

Banyak yang mengatakan Tarian Bumi bercerita tentang mimpi-mimpi perempuan. Mimpi yang kadang berkebalikan dengan realitas. Dimana konsekuensi dipikir belakangan, asal ambisi terus berjalan. Perempuan yang juga direduksi kedudukannya karena sistem patriakhis.

Secara keseluruhan, saya memberi nilai 8,5 dari skala 10 untuk Tarian Bumi. Tipis namun kaya akan pengalaman di dalamnya.


Keterangan
(1). Pragina: secara harfiah adalah seorang performer
(2). Sekehe: berarti perkumpulan, dalam buku ini semacam kelompok kesenian
(3). Pengibing: penonton pria yang datang saat penari joged menari

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Valar morghulis

About Me

Me, is an enigma --for you, for the universe and for I myself. I write what I want to write. Scribo ergo sum. I write, therefore I am.

Follow Me

  • spotify
  • goodreads
  • SoundCloud

Hot Post

Maester's Chamber

  • ►  2024 (1)
    • ►  Maret 2024 (1)
  • ►  2023 (1)
    • ►  Januari 2023 (1)
  • ►  2022 (2)
    • ►  April 2022 (1)
    • ►  Januari 2022 (1)
  • ►  2021 (5)
    • ►  Oktober 2021 (2)
    • ►  Juli 2021 (1)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (1)
  • ►  2020 (38)
    • ►  Oktober 2020 (2)
    • ►  September 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (2)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (18)
    • ►  Januari 2020 (12)
  • ►  2019 (9)
    • ►  Desember 2019 (1)
    • ►  November 2019 (2)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Juli 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (2)
    • ►  Februari 2019 (1)
  • ▼  2018 (8)
    • ▼  September 2018 (1)
      • Berserah Diri pada Krisis
    • ►  Juli 2018 (1)
      • Kembali Ke Malang: Adaptasi Diri
    • ►  Juni 2018 (1)
      • Interpretasi Lagu Island oleh Afternoon Talk
    • ►  Mei 2018 (2)
      • Ulang Tahun Rachel Carson, Jasa-jasanya, dan Potre...
      • Memahami Diri Sendiri: Jatuh Cinta?
    • ►  April 2018 (1)
      • Perbanyaklah Slogan Just Do It, Diriku
    • ►  Maret 2018 (1)
      • Bulan Baru, Tugas Baru!
    • ►  Januari 2018 (1)
      • Membaca Tarian Bumi, Melihat Sisi Lain Perempuan B...
  • ►  2017 (21)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  Agustus 2017 (1)
    • ►  Juli 2017 (2)
    • ►  Juni 2017 (1)
    • ►  Mei 2017 (1)
    • ►  April 2017 (1)
    • ►  Maret 2017 (4)
    • ►  Februari 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (3)
  • ►  2016 (10)
    • ►  Desember 2016 (1)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  Oktober 2016 (1)
    • ►  Agustus 2016 (1)
    • ►  Juni 2016 (1)
    • ►  Mei 2016 (1)
    • ►  Maret 2016 (2)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (22)
    • ►  Desember 2015 (4)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  Oktober 2015 (1)
    • ►  September 2015 (1)
    • ►  Agustus 2015 (6)
    • ►  Juli 2015 (2)
    • ►  Juni 2015 (2)
    • ►  Mei 2015 (2)
    • ►  Maret 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (1)
  • ►  2014 (5)
    • ►  Desember 2014 (1)
    • ►  September 2014 (4)

Tags

acara berjalan-jalan dapur kamar renungan kamar tengah kotak musik perpustakaan ruang tengah taman belakang

Created with by ThemeXpose