• Home
  • Author
  • Send a raven!
spotify goodreads SoundCloud

Huis van Abdï

Diberdayakan oleh Blogger.

Hei, kamu. Semoga semesta menunjukkan tulisan ini untukmu.

Jadi, temanku bilang aku cukup persisten saat mengirim pesan ke padamu yang seringnya meninggalkanku dengan tanda "Read" saja.

Dia bilang aku persisten. Gigih, dalam mengirim pesan. Entah hanya bertanya kabar atau basa-basi. Padahal dalam hati aku mau juga dikirim pesan pertama. 

Tapi, ya sudahlah. Dalam hati aku sudah bulat bahwa aku yang akan berperan sebagai "pemberi". Ini konsekuensinya.

Aku lelah, jujur. Tapi tak aku sampaikan saja padamu. Biar semesta yang akhirnya menunjukkannya.

Menjadi pemberi itu melelahkan, aku sadar. Tapi hidup tak cuma tentang mengambil apa yang bertebaran, memanen apa yang ditanam. 

Jadi aku masih percaya bahwa mungkin di kehidupan sebelumnya aku terlalu banyak mengambil, sedikit memberi. Saatnya untuk memberi sebanyak-banyaknya. Selapang-lapangnya.

Airku, airmu juga. Tak 'kan kemana.

Mungkin kalau saat ini --di masa pandemi-- kita harus jarang bertukar kabar, mungkin seterusnya kita akan bersama? Ya. Aku harap begitu. Meski terdengar agak berhalusinasi tapi tak apa. 

Jadilah pemberi, karena yang kauberi tak kan juga kemana.

Memberi via Unsplash


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Minggu ini saya merasa agak mampu menerapkan tindakan --yang sekali lagi menurut saya-- sudah sesuai dari buku Filosofi Teras karangan Om Manampiring. Atur yang bisa diatur, jangan terlalu khawatirkan yang tidak bisa diatur.

Sebenarnya saya sudah mendengar ucapan serupa saat menggarap skripsi, di semester 8. Di dunia ini memang ada hal yang tidak bisa kita atur, namun ada juga yang bisa kita atur. Nah, hendaknya kita bisa berfokus pada hal yang bisa kita atur saja.



Tapi namanya manusia, terkadang masih belajar untuk menerima hal yang tak bisa diatur tadi. Terlalu memikirkannya sehingga lupa akan sesuatu yang seharusnya bisa kita kendalikan.

Dalam buku Filosofi Teras juga disebutkan dikotomi kendali, yang meletakkan dasar bahwa ada beberapa hal yang perlu kita fokus untuk kendalikan.

Entah saya sedikit demi sedikit sudah bisa menerapkan tindakan-tindakan ala stoic atau tidak, tapi saya merasa lebih damai. Dengan cara memfokuskan diri pada hal-hal yang bisa kendalikan.

Bicara masalah kendali, nampaknya kita punya otoritas penuh atas apa yang sudah kita pilih. Kita merdeka sepenuhnya.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Bulan-bulan belakangan ini, saya makin tidak karuan. Mood naik turun. Kadang bisa saya kendalikan, tetapi sebagian besar biasanya tidak.

Saya juga tidak bisa mengeksplorasi sekitar (baca: Jakarta), tidak ada dick dating appointment, maupun pengalaman berjalan-jalan yang menyenangkan. Sebabnya adalah suatu yang tidak bisa kita kendalikan: pandemi.

Pandemi memang mengubah hampir seluruh tatanan kehidupan diri dan masyarakat. Mulai dari biasanya kita bebas pergi kemana saja sampai berbaju apa saja tanpa perlindungan.

Saya rasa para ekstrover juga mengalami hal yang menjadikan hidup mereka berada di titik nadir kehidupan. Pertemuan secara langsung dibatasi, pertemuan daring meningkat. Tentu ini akan menurunkan getaran pengalaman bertemu orang secara fisik. Dan itu membuat saya --dan mungkin ekstrover lainnya-- merasa dunia sudah kiamat.

Pergi kemana saja nampaknya harus dipikir dua kali kalau tidak penting-penting amat.

Hei! Tapi.... di situ letak masalahnya!

Sebagai seorang ekstrover yang suka spontanitas dan bersosialiasi dengan orang baru, itu yang hilang! Ini mungkin tidak terikat dengan kepribadi, sih, memang. Tapi, mari kita selami pernyataan itu bersama.

Adanya banyak trait manusia, salah satunya adalah suka bertualang dan berkenalan dengan orang baru. Saya misalnya.

Saya bisa dibilang suka bertualang, mengeksplorasi hal baru, mengalami hal-hal yang menyenangkan sampai yang tidak mengenakkan. Itu yang harus saya rasakan sebagai manusia: mengalami.

Berjalan-jalan spontan tanpa rencana adalah jalan untuk merasakan itu semua. Dan itu akan kita catat di memori kita, yang entah suatu hari dan kepada siapa nantinya akan kita ceritakan.

Ilustrasi oleh Benjamin Davies di Unsplash

Kembali ke zaman pagebluk pandemi sialan ini, rasa-rasanya tidak semua bisa merasakan hal itu. Saya, yang juga punya trait mudah paranoid ini adalah salah satunya.

Akibat pandemi, saya menjadikan dunia dan aktivitas luar ruangan menjadi momok menakutkan. Ya meski sudah ada pernyataan umum kalau nanti bisa sembuh sendiri dan orang berusia lanjut yang akan terdampak berat tetap saja tidak menciutkan paranoid saya tadi.

Selain menjadikan dunia dan aktivitas luar sebagai bahan bakar paranoid, saya juga jadi sering merasa tidak aman ketika berada di dekat orang-orang. Apalagi jika mereka berasal atau pernah ke luar tempat saya tinggal. Rasa-rasanya ingin membungkus diri dengan hazmat!

Tapi hasrat itu saya tahan, karena selain hazmat harganya mahal ternyata berdasarkan penuturan orang-orang, memakainya pun tidak nyaman. Apalagi itu cuma sekali pakai! Menghabiskan uang saya saja rasanya. Duh!

Nampaknya, saya membiarkan diri saya dimakan paranoid tak berkesudahan. Api keberanian yang biasanya berkobar tak kunjung padam entah kemana. Mungkin kalah dengan suhu rendah dan lembab kaki Gunung Salak? 

Apalagi setelah membaca artikel Remotivi ini, saya makin menjauh dari dunia luar. Hubungan dengan orang lain sebatas digital, seperti lagu Mardial bersama Ramengvrl ini.

Berjalan-jalan tanpa tujuan itu penting.

Kita mungkin tidak tahu akan kemana. Tapi, sembari duduk anteng di kendaraan umum kita bisa membaca review tempat nongkrong yang bagus maka kita bisa ke sana.

Atau, rencana awalnya ingin ke suatu tempat, ternyata karena bisikan gut feeling jadi berbelok arah ke tempat lain. Eh ternyata tempat baru yang dituju lebih jelek atau pelayanannya kurang memuaskan! Haha.

Itu semua asyiknya pergi kemana-mana dengan tujuan yang tidak penting-penting amat. Ada keseruan di situ tersendiri di situ. 

Dan pastinya berbeda dengan bepergian dengan tujuan yang penting, yang saklek. Asal sampai tujuan, mengurusi hal-hal penting, setelah beres, langsung pulang. Nikmatnya dimana? Can't relate anymore.

Omong-omong tentang mengalami, saya jadi ingat suatu bagian di buku Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh.

Cinta adalah mengalami.
 
Dengan berkurang bertualang tanpa kepentingan di situasi pandemi ini, saya jadi kurang mengalami. Saya kurang mengalami hal-hal di luar dugaan. Dan sepertinya saya butuh asupan mengalami tadi. 

Jika cinta adalah mengalami, apakah artinya saya juga kekurangan cinta? Apakah itu yang saya dambakan?

Atau, itukah jawabnya?
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
I woke up in not-so-fit condition. I dreamt about you, or at least my mind told me that the person was you.

At that time, your lips didn't moving, meaning you didn't talk to me nor everyone. You remained silent. 

I was happy yet sad when I woke up, opening my eyes without your presence around me. It got me saddened when I realised that lately, we're kind of loose contact. Not so frequent.

On recent days, friends of mine also striked by unlucky situation in their loves. Broke-up if I might supposed.

Finally it striked me as well even though we're not officialy in relationship but I feel theirs. Lost is humans' best friend at the end of the day. So do I.

Badai melankoli menerpa via Sasha Freemind/Unsplash

Honestly, I want to make many memories with you, not just dream. It's true, today was your visit to me. But, please don't come again. I need to make memories with you, not only dreams. 

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Valar morghulis

About Me

Me, is an enigma --for you, for the universe and for I myself. I write what I want to write. Scribo ergo sum. I write, therefore I am.

Follow Me

  • spotify
  • goodreads
  • SoundCloud

Hot Post

Maester's Chamber

  • ▼  2024 (1)
    • ▼  Maret 2024 (1)
      • Merenungkan Eros dan Growing Into Love
  • ►  2023 (1)
    • ►  Januari 2023 (1)
  • ►  2022 (2)
    • ►  April 2022 (1)
    • ►  Januari 2022 (1)
  • ►  2021 (5)
    • ►  Oktober 2021 (2)
    • ►  Juli 2021 (1)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (1)
  • ►  2020 (38)
    • ►  Oktober 2020 (2)
    • ►  September 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (2)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (18)
    • ►  Januari 2020 (12)
  • ►  2019 (9)
    • ►  Desember 2019 (1)
    • ►  November 2019 (2)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Juli 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (2)
    • ►  Februari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  September 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (2)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Maret 2018 (1)
    • ►  Januari 2018 (1)
  • ►  2017 (21)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  Agustus 2017 (1)
    • ►  Juli 2017 (2)
    • ►  Juni 2017 (1)
    • ►  Mei 2017 (1)
    • ►  April 2017 (1)
    • ►  Maret 2017 (4)
    • ►  Februari 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (3)
  • ►  2016 (10)
    • ►  Desember 2016 (1)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  Oktober 2016 (1)
    • ►  Agustus 2016 (1)
    • ►  Juni 2016 (1)
    • ►  Mei 2016 (1)
    • ►  Maret 2016 (2)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (22)
    • ►  Desember 2015 (4)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  Oktober 2015 (1)
    • ►  September 2015 (1)
    • ►  Agustus 2015 (6)
    • ►  Juli 2015 (2)
    • ►  Juni 2015 (2)
    • ►  Mei 2015 (2)
    • ►  Maret 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (1)
  • ►  2014 (5)
    • ►  Desember 2014 (1)
    • ►  September 2014 (4)

Tags

acara berjalan-jalan dapur kamar renungan kamar tengah kotak musik perpustakaan ruang tengah taman belakang

Created with by ThemeXpose