• Home
  • Author
  • Send a raven!
spotify goodreads SoundCloud

Huis van Abdï

Diberdayakan oleh Blogger.
Saya termasuk orang yang tertarik pada bacaan yang bertema kebiasaan, nilai, tradisi serta kebudayaan suatu etnis. Sebut saja sampai sekarang saya masih tekun membaca buku Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940. Selain itu, saya juga membaca Pasar, yang menceritakan bagaimana nilai-nilai Jawa diturunkan. Buku itu ditulis oleh Kuntowijoyo sudah sudah saya ulas di sini.

Kali ini saya akan mengulas buku Tarian Bumi karya Oka Rusmini, yang mengangkat budaya Bali. Kita semua sudah tahu pasti bahwa Bali, tidak bisa lepas dengan adat-istiadatnya yang mengakar. Menjelma dalam tingkah laku keseharian, sehingga banyak yang akhirnya tertarik, dan tentu kagum.

Namun dibalik itu, selalu ada kisah yang jarang dibicarakan. Kisah itu dirangkum oleh Oka Rusmini dengan apik dalam buku yang diterjemahkan menjadi "Earth Dance" ini.

****


Judul: Tarian Bumi
Penulis: Oka Rusmini
Cetakan: Ketiga, Maret 2017
Tebal: 176 halaman
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama





Sampul depan Tarian Bumi via dokumentasi pribadi




Menjadi perempuan tidak selalu mudah, apalagi seperti Luh Sekar. Luh Sekar adalah seorang perempuan dari kasta Sudra yang berambisi "keluar" dari lingkaran kemiskinan, dan hidup penuh hingar-bingar kemewahan. Nyatanya, ada hal-hal yang harus ia korbankan untuk keluar dari kehidupannya.

Hidup Luh Sekar muda penuh penderitaan yang tak berkesudahan. Ayahnya tak tau rimbanya setelah dituduh ikut PKI. Luh Dalem, ibunya dirampok, disiksa hingga matanya buta serta diperkosa oleh sekelompok lelaki. Ibunya kemudian hamil. Luh Sekar juga harus menahan gunjingan warga desa ketika ia mendengar kasak-kusuk bahwa Luh Kerta dan Luh Kerti, adik kembarnya merupakan anak haram.

Ambisi Luh Sekar adalah menjadi penari terkenal, menjadi pragina(1). Namun hal ini ditentang oleh Luh Kenten, teman satu-satunya Luh Sekar. Ia bersikeras agar Luh Sekar jangan sampai menjadi penari, karena sebenarnya....Luh Kenten menyukai Luh Sekar. Ia cemburu apabila ada orang lain baik perempuan maupun laki-laki yang memandang tubuh molek Luh Sekar ketika menari.

Seiring berjalannya waktu, Luh Sekar menjadi pragina di sekehenya(2). Menari dari satu kampung ke kampung lain, menyebabkan pengibing(3) manapun tak percuma menyelipkan saweran di kembennya. Hingga suatu waktu, ia membidik Ida Bagus Ngurah Pidada, anak bangsawan yang sering menyawer saat Luh Sekar menari.

Luh Sekar membuat Ida Bagus Ngurah Pidada bertekuk lutut, hingga suatu hari Luh Sekar diajak bertemu calon ibu mertuanya. Ida Ayu Sagra Pidada sangat tidak menginginkan anaknya menikahi "Ni Luh", calon menantunya haruslah "Ida Ayu" seperti dirinya. Luh Sekar sudah bulat tekadnya agar suaminya seorang lelaki Brahmana. Tak patah arang, Luh Dalem mencarikan jalan agar Luh Sekar dipersunting oleh bangsawan itu. Hingga ia berhasil dinikahi seorang Ida Bagus.


****

Isi buku ini tidak hanya berpusat pada Luh Sekar saja. Cerita berlanjut saat ia hidup di griya(4) dan harus menjadi bangsawan. Bagaimana Luh Sekar harus mengalami hari-hari yang keras karena dominasi Ida Ayu Sagra Pidada. Ada yang unik yaitu ibu mertuanya --secara adat-- menggantikan posisi ayah mertuanya. Sang istri menjadi suami, dan suami menjadi istri. Itulah sebabnya Ida Bagus Tugur, bapak mertua Luh Sekar lebih diam ketimbang ibu mertuanya.

Cerita Ida Ayu Telaga Pidada, anak Luh Sekar juga menarik. Bagaimana ibunya menjadikan ia sebagai penari. Penari yang tentu berbeda dengan ibunya karena Telaga menjadi penari saat ada upacara adat. Didatangkannya Luh Kambren, guru tari terbaik di Bali, yang juga menyimpan kisah kelam.

Di griya, Telaga juga menemui cinta pertamanya. Seorang Sudra yang mengabdi pada kakeknya. Akhirnya pergulatan batin menemui Telaga. Yakinkah ia bahwa seorang Sudra bernama Wayan Sasmitha itu laut yang akan dia arungi?

Buku ini tentunya sangat menarik karena banyak mengeksplorasi pakem-pakem dan aturan di masyarakat Bali, yang sedikit sekali kita ketahui. Selain itu, Oka Rusmini menggunakan banyak sudut pandang yang berbeda-beda. Kita diajak berganti tokoh. Menjadi tokoh Sudra, tokoh Brahmana. Menjadi tokoh yang berambisi, menjadi tokoh yang open minded, lalu menjadi tokoh yang nrimo.

Tarian Bumi menceritakan bagaimana adat-istiadat begitu ingin didobrak. Misalnya saja saat Luh Kenten bergulat batinnya ketika mengetahui bahwa dia berbeda. Dia berbeda, karena dia perempuan yang menyukai perempuan. Entah karena apa, dia menyukai lekuk tubuh Luh Sekar. Saat paling menyiksa adalah ketika Luh Sekar bertelanjang di hadapan Luh Kenten. Tentunya ini menjadi pergulatan sendiri bagi Luh Kenten. Sayangnya Luh Kenten tidak diceritakan lebih lanjut, apakah dia hidup tanpa lelaki atau akhirnya menikah.

Kita juga disajikan bagaimana kemolekan Bali dieksploitasi oleh Barat. Sebutlah cerita tentang nasib nahas Luh Dampar, teman Luh Kambren yang menikahi orang Jerman. Luh Dampar ditemukan mati gantung diri di studio suaminya, Galeri Dampar.

Di studio itu, Luh Kambren menemukan banyak foto, kartu pos, lukisan Luh Dampar dalam keadaan tak berbusana. Suaminya menjadikan Luh Dampar model bagi karyanya, yang kemudian karya itu dia jual ke teman-temannya di luar negeri. Naah juga menghampiri suaminya, ia harus mati dipukuli orang sekampung.

Sampul belakang Tarian Bumi via dokumentasi pribadi

****

Awalnya buku ini sangat njlimet, dengan beberapa catatan kaki (meski tidak sebanyak Supernova). Hal ini berkaitan dengan istilah panggilan dalam keluarga Bali, dimana kasta menjadi penentu. Kapan memanggil ratu, tuniang, tukakiang, atau odah.

Namun bagi penikmat kebudayaan, buku setebal 176 halaman ini sangat patut untuk dibaca. Cara Oka Rusmini mendeskripsikan nilai, adat-istiadat, pakem budaya Bali sangat menggairahkan. Seperti saat upacara turun kasta, patiwangi menjadi penutup perjalanan perempuan di buku ini. 

Banyak yang mengatakan Tarian Bumi bercerita tentang mimpi-mimpi perempuan. Mimpi yang kadang berkebalikan dengan realitas. Dimana konsekuensi dipikir belakangan, asal ambisi terus berjalan. Perempuan yang juga direduksi kedudukannya karena sistem patriakhis.

Secara keseluruhan, saya memberi nilai 8,5 dari skala 10 untuk Tarian Bumi. Tipis namun kaya akan pengalaman di dalamnya.


Keterangan
(1). Pragina: secara harfiah adalah seorang performer
(2). Sekehe: berarti perkumpulan, dalam buku ini semacam kelompok kesenian
(3). Pengibing: penonton pria yang datang saat penari joged menari

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Berbicara perihal introver atau ekstrover, merupakan masalah untuk saya. Kenapa begitu? Di fase hidup menjelang 25 tahun ini, saya malah kembali bimbang: apakah introver, ataukah ekstrover?

Pernah menjadi ekstrover via knowyourmeme.com
Saya masih ingat, dulu sewaktu kecil saya sangat aktif. Ini terjadi hingga saya lulus SD dan melanjutkan pendidikan SMP di kota. Menjadi introver berlangsung pada masa-masa SMP hingga satu semester perkuliahan. Lagi-lagi saya merasa sendiri di jurusan kuliah. Namun lama-kelamaan energi dan ekspresi saya keluar sehingga saya menjadi ekstrover.

Menjadi introver kembali saya rasakan saat bekerja. Rekan kerja yang terlampau "malesin" membuat saya emotionless. Ya, saya sedang menjalani tahapan hidup dimana hati diam tetapi bibir tersenyum, kecut.

Sayatidak suka didominasi. Terlalu banyak diam, menerima dan cenderung "disuapi" informasi yang saya sudah saya ketahui bahkan sebelum orang itu tahu. Ini menguras energi dan tentunya emosi. Karena merasa tidak nyaman, dan merasa ini bukan saya yang biasanya. Harus duduk, diam, mendengarkan ocehan-ocehan yang berulang.

Rekan kerja yang seperti ini tidak jarang membuat emosi jiwa. Saya rentan meledak emosinya (meski sekarang sudah tidak terlalu, ya). Akibat dari itu, tak jarang pada awal-awal bekerja dengannya, saya banyak berselisih pendapat --selain karena kemampuan berkomunikasinya cenderung buruk.

Namun ada hal yang saya petik dari introvernya saya kali ini: saya bisa lebih banyak mendengarkan kebodohan-kebodohan orang yang terlampau banyak berbicara. Tak jarang saya tertawa setengah mampus, tapi tetap saya simpan dalam hati, tidak saya lontarkan.

Beginilah introver via introvertspring.com


Ya, saya jadi memiliki sudut pandang yang berbeda. Saya jadi merasakan seperti agak bijak sedikit. Ketidakreaktifan saya dalam menghadapi masalah membawa faedah. Saya jadi tidak terburu-buru ketika mendapat suatu kabar. Dengan kata lain, meski tahapan hidup ini menguras, namun saya belajar.

Mungkin saya sekarang lebih banyak menyimpan energi, ketimbang menghaburkannya. Saya jadi berhemat, dan siap untuk mengeluarkannya saat waktunya tetap :)

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Halo halo Bandung, ternyata sudah satu bulan saya tidak menulis. Bulan Oktober terlalu sibuk untuk sekadar menulis pembelaan. Tapi memang Oktober kegiatan lumayan padat, sebulan kemarin saya pergi ke lapang sebanyak dua kali. Akhirnya baru sempat menulis di awal bulan November ini.

Sebelumnya ada yang bertanya: kok bisa sih freshgraduate kerja di NGO? Atau kok bisa sih dapet kerjaan kayak gini?

Memang kalau kita cermati, kebanyakan lowongan kerja di LSM/NGO mensyaratkan untuk memiliki pengalaman kerja. Mulai dari 3-5 tahun harus dikantongi. Itulah yang menjadi pertanyaan pada saya.

Saya juga bingung menjawabnya, karena pekerjaan pertama saya ini merupakan hal di luar dugaan, meski memang didamba-dambakan. Jadi ceritanya begini....

Waktu itu Protection of Forest and Fauna (Profauna Indonesia) memang sedang membutuhkan staf untuk mengisi lowongan di posisi Communication Staff. Saya melamar saja karena tidak ada ketentuan pria atau wanita. Setelah seminggu lamanya saya menunggu tidak ada kabar pengumuman Communication Staff, akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke rumah.

Tiga hari kemudian, saya mendapat pesan dari founder Profauna Indonesia, Bapak Rosek Nursahid. Beliau mengirimkan pesan melalui Whatsapp yang isinya lebih kurang:

"Afrizal, apa mau bekerja di Maluku Utara? Nanti Afrizal bisa tinggal di kantor. Kerjanya nanti sosialisasi ke desa-desa di Halmahera Selatan."

Saya belum menjawab, akhirnya ada pesan lagi berbunyi:

"Kalau Afrizal mau, saya tidak akan publish di web."

Bukan berlaga sombong atau apa, karena waktu itu baterai hp sedang low, sedangkan listrik masih padam. Saya enggan membalas jika tidak ada pesan yang penting (oke ini mulai songong). Berikutnya tanpa babibu lagi, saya membalas pesan beliau dengan mengatakan "ya, saya setuju."

Akhirnya kami sama-sama deal. Saya akan bekerja di NGO, dan beliau tidak akan mem-posting lowongan pekerjaan ini di situs Profauna.

Intermezzo: setelah saya masuk dan bekerja di kantor headquarters (HQ), diketahui bahwa posisi itu untuk wanita. Pantas saja saya tidak dipanggil untuk wawancara!

Pasti terbit pertanyaan: kok bisa kenal founder NGO?

Saya bersyukur pernah menjadi sukarelawan atau volunteer di Profauna Indonesia. Dan selama berkegiatan sebagai sukarelawan ini, saya juga berinteraksi tidak hanya dengan para staf namun juga Bapak Rosek sendiri. Pun waktu itu hanya saya yang menjadi sukarelawan di Profauna. Mau tidak mau beliau kenal saya, kan?

Karena tahu saya melamar pekerjaan sebagai communication staff di Profauna, maka beliau akhirnya menawari saya pekerjaan di organisasi yang dipimpinnya, Profauna Indonesia. Inilah awal mula saya diterima sebagai staf lapang Profauna di Maluku Utara.



Kilas Balik

Sebagai lulusan baru, tentunya kita perlu aktualisasi diri setelahnya. Dengan kata lain, fase berikutnya sudah menunggu. Entah itu bekerja, langsung menikah, membuka usaha/berbisnis, lanjut sekolah, atau yang lain.

Saya sendiri memilih jalan terakhir, yaitu yang lain. Nah, istilah "yang lain" ini bisa beragam bentuknya. Waktu itu saya mencari alternatif lain seusai wisuda, yaitu menjadi relawan panitia di Kelas Inspirasi (KI). Tentunya kids zaman now tahu itu apa itu KI, yang tidak tahu saya tenggelamkan! *ala suara Menteri Susi*.

Awas ditenggelemin Bu Susi gaes via memegenerator.net

Berbagai posisi saya lamar, mulai dari pertanian sampai nonpertanian, mulai dari lowongan dalam hingga luar negeri. Sebelum wisuda pun saya menerima panggilan tes dari salah satu perusahaan finance, namun saya tidak hadir. Karena memang belum siap dites. Hehe.

Bulan-bulan berikutnya setelah KI selesai, saya masih terus melamar. Beberapa panggilan tes pekerjaan berdatangan. Tapi entah kenapa saya masih gamang, dan sejujurnya....saya masih belum siap bekerja. Karena saya pikir, waktu itu 2016 saya masih berumur 21 tahun. Masih ada waktu untuk saya benar-benar siap terjun ke dunia kerja, pikir saya.

Namun, tekanan dari segala penjuru mulai berdatangan, pertanyaan "sudah lulus kuliah? Kerja dimana sekarang?" seolah menjadi kalimat paling menyedihkan. Selain itu, usia awal dua puluhan merupakan usia yang kritis karena twenty-something-crisis. Saya menyerah, saya harus keluar dari zona nyaman ini (baca: menjadi pengangguran). Saya ingin berbeda, ingin menempuh perjalanan yang berbeda!

Oleh karena itu, saya rajin membaca artikel tentang mau kemana setelah lulus. Akhirnya saya memberanikan diri untuk volunteering.


Yang bisa dilakukan setelah wisuda via tirto.id

Sejak saat itulah saya rajin bertanya pada Mbah Google, dimanakah saya bisa menjadi sukarelawan? Tentunya saya memilih isu-isu yang sesuai dengan minat saya. Saya memilih isu lingkungan, lebih spesifiknya tentang satwa liar dan hutan, kalau bisa. Kalau tidak bisa, apa saja boleh!

Beberapa lembaga atau organisasi telah saya kantongi akibat sering bertanya pada Mbah Google. Banyak pertimbangan yang saya lakukan, salah satunya yaitu keuangan. Diri ini tidak ingin menyusahkan orang tua. Seusai menimbang-nimbang, saya putuskan menjadi sukarelawan di Profauna Indonesia, karena kantor pusatnya (headquarters) masih berada satu kota dengan kampus saya: Kota Malang. Kenapa Malang? Karena saya susah move on dari kota ini :')

Untuk volunteering di Profauna, syaratnya adalah menjadi anggota atau supporter terlebih dahulu. Segala persyaratan untuk menjadi supporter saya penuhi, akhirnya saya dinyatakan siap volunteering setelah mengisi formulir volunteer. Beruntungnya saya bisa memilih waktu untuk volunteering, serta tempatnya. Saya memilih untuk volunteering  di Petungsewu Wildlife Education Centre (P-WEC), di Dau, Kabupaten Malang. Untuk waktunya, saya memilih dari tanggal 15 Agustus hingga 5 Oktober 2017.

Serunya bermain gim "polusi sungai" via dokumentasi pribadi


Selama itu, banyak pelajaran dan pengalaman selama volunteering. Awalnya kita harus membiasakan diri memang, karena atmosfer tidak selalu mengenakkan (karena tidak terbiasa). Namun, karena keputusan ini saya ambil sendiri, tentu konsekuensinya harus saya hadapi sendiri.

Singkatnya, saya mengalami 7/7 dari artikel di Hipwee ini. Sepertinya saya berubah, ibarat ulat yang bersemadi dalam bentuk kepompong. Dan dalam kepompong itu semua proses terjadi, mengalir. Saya merasa keluar dari belenggu tak kasat mata selama ini.

Memang volunteering itu memberi kita pengalaman yang berbeda-beda. Tapi sejauh yang saya dapat berdasarkan pengalaman sendiri atau orang lain, menjadi seorang sukarelawan itu asyik kok! Kebahagiannya tidak setara lembaran uang, tapi lebih ke hal-hal sederahana. Pantas saja ada kalimat bahagia itu sederhana. Sesederhana gelak tawa staf saat makan siang bersama. Sesederhana berbagi skill kita kepada orang lain. Benar-benar sederhana :)

Seusai pengamatan pohon via dokumentasi pribadi


Tips saya untuk kalian yang belum pernah atau masih ragu untuk volunteering, ingat kalau hidup hanya sekali. Berlakulah baik dan memberikan dampak positiflah sesekali. Kita tidak tahu kapan akan pindah dari dunia ini. Maka dari itu, kalau tidak menjadi volunteer sekarang, lalu kapan lagi?

Hari terakhir, berfoto dulu kita via dokumentasi pribadi


Catatan: tulisan ini merupakan pengalaman saya sendiri. Penting diketahui bahwa tiap lembaga/organisasi punya kebijakan sendiri terkait perekrutan stafnya.
Share
Tweet
Pin
Share
1 comments
Gempabumi, atau tanah goyang dalam bahasa Melayu-Ternate, sudah tercatat sejak kemarin lusa (27/9). Gempabumi ini, sejauh pemberitaan di media belum sampai merusak. Namun getarannya terasa cukup kuat, dan dirasakan banyak orang.

Selama hampir setahun saya tinggal di Ternate, hari ini (Jumat, 29 September) yang terkuat. Dan, selama tiga hari berturut-turut ini yang paling sering terjadi gempabumi. Setelah beberapa kali mengunjungi situs BMKG, maka jelaslah bahwa tiga hari ini memang terjadi gempabumi.

Hasil pantauan mandiri via dokumentasi pribadi
Sejak awal terjadinya gempa sudah bisa dirasakan di Ternate via dokumentasi pribadi

Magnitudo gempa tertinggi terjadi pada hari ini, yaitu hingga mencapai angka M 5. Makanya BMKG membuat siaran pers di situsnya. Untungnya rentetan gempabumi tersebut tidak memicu tsunami, jadi sampai saat ini, kami aman.

Oh ya, mengapa judulnya terkesan aman-aman saja? Meski berdasarkan pemberitaan di media ada satu orang korban? Karena kita harus sadar bahwa....

kita hidup di daerah yang rawan bencana alam. Bencana yang dari sononya dan tak bisa kita cegah, kecuali manusianya yang bersiap diri.

Berdasarkan hasil berselancar di belantara Google, gempa ini disebut gempa swarm. Gempabumi ini dicirikan dengan seringnya frekuensi kejadian gempa, serta dengan magnitudo yang kecil. Lihat saja, ternyata Kabupaten Halmahera Barat yang merupakan episentrum gempa beberapa hari ini ternyata sudah mengalaminya pada tahun 2015.

Selain itu, saya mencomot judul tulisan saya saat ini dari blog Pak Daryono yang pernah bekerja di BMKG. Untungnya sampai saat ini saya belum menerima pesan berantai hoax terkait gempabumi ini. Syukurlah.


Ya, kita memang harus merasa nyaman untuk tetap survive. Jangan kaget saat terjadi gempa yang beruntun, hingga mencapai 988 kali. Lantas jangan seperti air comberan yang terheran-heran saat melihat air, wong sama-sama air, kok!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Valar morghulis

About Me

Me, is an enigma --for you, for the universe and for I myself. I write what I want to write. Scribo ergo sum. I write, therefore I am.

Follow Me

  • spotify
  • goodreads
  • SoundCloud

Hot Post

Maester's Chamber

  • ▼  2024 (1)
    • ▼  Maret 2024 (1)
      • Merenungkan Eros dan Growing Into Love
  • ►  2023 (1)
    • ►  Januari 2023 (1)
  • ►  2022 (2)
    • ►  April 2022 (1)
    • ►  Januari 2022 (1)
  • ►  2021 (5)
    • ►  Oktober 2021 (2)
    • ►  Juli 2021 (1)
    • ►  Juni 2021 (1)
    • ►  Mei 2021 (1)
  • ►  2020 (38)
    • ►  Oktober 2020 (2)
    • ►  September 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (2)
    • ►  Mei 2020 (1)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  Februari 2020 (18)
    • ►  Januari 2020 (12)
  • ►  2019 (9)
    • ►  Desember 2019 (1)
    • ►  November 2019 (2)
    • ►  Oktober 2019 (1)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Juli 2019 (1)
    • ►  Maret 2019 (2)
    • ►  Februari 2019 (1)
  • ►  2018 (8)
    • ►  September 2018 (1)
    • ►  Juli 2018 (1)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (2)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Maret 2018 (1)
    • ►  Januari 2018 (1)
  • ►  2017 (21)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  Agustus 2017 (1)
    • ►  Juli 2017 (2)
    • ►  Juni 2017 (1)
    • ►  Mei 2017 (1)
    • ►  April 2017 (1)
    • ►  Maret 2017 (4)
    • ►  Februari 2017 (3)
    • ►  Januari 2017 (3)
  • ►  2016 (10)
    • ►  Desember 2016 (1)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  Oktober 2016 (1)
    • ►  Agustus 2016 (1)
    • ►  Juni 2016 (1)
    • ►  Mei 2016 (1)
    • ►  Maret 2016 (2)
    • ►  Februari 2016 (1)
    • ►  Januari 2016 (1)
  • ►  2015 (22)
    • ►  Desember 2015 (4)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  Oktober 2015 (1)
    • ►  September 2015 (1)
    • ►  Agustus 2015 (6)
    • ►  Juli 2015 (2)
    • ►  Juni 2015 (2)
    • ►  Mei 2015 (2)
    • ►  Maret 2015 (1)
    • ►  Januari 2015 (1)
  • ►  2014 (5)
    • ►  Desember 2014 (1)
    • ►  September 2014 (4)

Tags

acara berjalan-jalan dapur kamar renungan kamar tengah kotak musik perpustakaan ruang tengah taman belakang

Created with by ThemeXpose