Ada kalanya menangis mampu meringankan beban. Di lain waktu, menangis malah menambah beban. Apapun yang terjadi, itu artinya diri kita masih cukup sensitif merasa.
Suatu hari di waktu yang tak terhingga, Ia yang Tak Bernama tiba-tiba menangis di dekat ibunya yang sedang terbaring lemah karena sakit. Ia tak menangisi ibunya, alih-alih ia menangisi dirinya sendiri. Menangisi dirinya yang tak mampu berbuah sesuatu pada dirinya sendiri. Menangisi keadaan yang tak 'kan berubah meski air matanya menjelma menjadi butiran mutiara. Ia hanya ingin menangis.
Dalam pikirannya, ia tak kuasa melawan arus. Harusnya ia menjadi arus itu sendiri, namun kali ini ia menjadi ikan mati yang terbawa arus.
"Biarlah", tandasnya lirih sembari makhluk-makhluk raksasa mengerikan di dalam kepalanya memangsa kewarasannya.
Tangisan yang paling buruk adalah tangis tanpa suara. Yang ada hanyalah butiran air mata yang keluar deras, bagaikan air bah. Tangis yang disertai tatapan mata kosong, sedangkan di dalam pikirannya ada badai yang berkecamuk, meluluhlantakkan kedamaian jiwa. Sesedih itu, sesendu itu.
Ia sejatinya adalah anak yang selalu tabah dan tegar di hadapan orang-orang, keluarga, dan teman-temannya. Namun kali ini, ia sedang ini menjadi makhluk rapuh. Tanpa cangkang keras yang melindungi lemahnya sisi terdalam jiwanya, bebas tanpa perlindungan apapun. Ia mempersilakan segala bentuk pikiran negatif menyerbu, meraup segala kesenangan di sudut-sudut hati, di relung-relung jiwa.
Bagaimanapun ia tersadar, dirinya tak sendiri. Pun manusia-manusia yang hidup sebelum ia lahir. Mereka pasti mengalami apa yang dialaminya saat ini. Begitu pula dengan ibunya yang tertidur pulas di sampingnya.
Kesedihan itu terus mengalir dalam lembah pikirannya. Ia juga ingin menjadi makhluk realistis, tanpa pemanis yang diada-adakan. Tak hanya kesenangan dan kabar gembira yang ingin ia lahap, tetapi segala bentuk kesan negatif jua.
Rupanya ia hanya ingin menjadi manusia biasa.
Suatu hari di waktu yang tak terhingga, Ia yang Tak Bernama tiba-tiba menangis di dekat ibunya yang sedang terbaring lemah karena sakit. Ia tak menangisi ibunya, alih-alih ia menangisi dirinya sendiri. Menangisi dirinya yang tak mampu berbuah sesuatu pada dirinya sendiri. Menangisi keadaan yang tak 'kan berubah meski air matanya menjelma menjadi butiran mutiara. Ia hanya ingin menangis.
Dalam pikirannya, ia tak kuasa melawan arus. Harusnya ia menjadi arus itu sendiri, namun kali ini ia menjadi ikan mati yang terbawa arus.
Ia menangis via Pexels |
"Biarlah", tandasnya lirih sembari makhluk-makhluk raksasa mengerikan di dalam kepalanya memangsa kewarasannya.
Tangisan yang paling buruk adalah tangis tanpa suara. Yang ada hanyalah butiran air mata yang keluar deras, bagaikan air bah. Tangis yang disertai tatapan mata kosong, sedangkan di dalam pikirannya ada badai yang berkecamuk, meluluhlantakkan kedamaian jiwa. Sesedih itu, sesendu itu.
Ia sejatinya adalah anak yang selalu tabah dan tegar di hadapan orang-orang, keluarga, dan teman-temannya. Namun kali ini, ia sedang ini menjadi makhluk rapuh. Tanpa cangkang keras yang melindungi lemahnya sisi terdalam jiwanya, bebas tanpa perlindungan apapun. Ia mempersilakan segala bentuk pikiran negatif menyerbu, meraup segala kesenangan di sudut-sudut hati, di relung-relung jiwa.
Bagaimanapun ia tersadar, dirinya tak sendiri. Pun manusia-manusia yang hidup sebelum ia lahir. Mereka pasti mengalami apa yang dialaminya saat ini. Begitu pula dengan ibunya yang tertidur pulas di sampingnya.
Kesedihan itu terus mengalir dalam lembah pikirannya. Ia juga ingin menjadi makhluk realistis, tanpa pemanis yang diada-adakan. Tak hanya kesenangan dan kabar gembira yang ingin ia lahap, tetapi segala bentuk kesan negatif jua.
Rupanya ia hanya ingin menjadi manusia biasa.