Saya sadari ya, kalau saya menua. Iya, tahun ini menginjak usia 23 tahun. Senang, sedih. Suka, duka. Takut, marah. Cemas, puas. Semuanya sudah saya rasakan dalam rangka merayakan usia perak bertajuk #QuarterLifeCrisis ini.
Di usia ini saya sudah bekerja, tidak mengharapkan apa-apa kecuali bisa mengulang kembali masa-masa kuliah. Dan saya ketagihan akan masa-masa itu. Masa-masa dimana masih menjadi gembel, namun sekarang sudah meningkat statusnya menjadi gembel premium. Ya, cuma itu.
Tapi, yang jelas, perubahan mental terjadi. Namun, bukan revolusi mental Pak Jokowi. Atau kalau disebut demikian ya....monggo.
Jadi, sejujurnya saya belum siap dipanggil "bapak".
Lah?
Lantas kalau belum siap dipanggil bapak, maunya dipanggil apa? Ibu?iya pengennya jadi ibu aja.
Masa-masa memasuki bapak-bapak. Padahal saya berharap akan dipanggil "mas". Ini langsung dipanggil "bapak". Ya, meski bukan rekan-rekan kerja yang memanggil demikian, nampaknya saya butuh waktu untuk dipanggil "bapak". Toh saya tidak boros-boros amat, kan wajahnya?
Ternyata, bukan saya juga yang merasa demikian. Mbak Sofia juga mengalami hal yang sama. Dia menuliskannya di sini. Dan saya sok kenal dengan Mbak Sofia dengan memanggilnya "mbak", bukan ibu. Duh!
Saya juga terinspirasi menulis artikel ini dari Mbak Sofia juga. Dia juga merasa tidak, atau dalam kasusnya, belum siap dipanggil ibu.
Saya tidak tau ini fenomena apa. Yang jelas, saya merasa risih dipanggil bapak.
Panggilan bapak ini, pertama saya rasakan saat dua pertemuan, semacam lokakarya gitu. Otomatis, sebelumnya saya harus berhubungan dengan panitia melalui surel. Karena tidak pernah bertemu, akhirnya saya pun dipanggil "bapak" selama berkorespondensi dengan para panitia itu. Huft.
Ya, menua itu pasti. Saya pun lambat lain dipanggil om oleh krucil-krucil yang tinggal di sekitar kantor di Ternate ini. Duh, merasa menua sekali.
Ini cuma masalah waktu, dan saya harus terbiasa. Dari panggilan "mas" menjadi "bapak", semua berproses. Dan inilah prosesnya, sakit tapi tidak berdarah....
Di usia ini saya sudah bekerja, tidak mengharapkan apa-apa kecuali bisa mengulang kembali masa-masa kuliah. Dan saya ketagihan akan masa-masa itu. Masa-masa dimana masih menjadi gembel, namun sekarang sudah meningkat statusnya menjadi gembel premium. Ya, cuma itu.
Tapi, yang jelas, perubahan mental terjadi. Namun, bukan revolusi mental Pak Jokowi. Atau kalau disebut demikian ya....monggo.
Jadi, sejujurnya saya belum siap dipanggil "bapak".
Lah?
Lantas kalau belum siap dipanggil bapak, maunya dipanggil apa? Ibu?
Ternyata, bukan saya juga yang merasa demikian. Mbak Sofia juga mengalami hal yang sama. Dia menuliskannya di sini. Dan saya sok kenal dengan Mbak Sofia dengan memanggilnya "mbak", bukan ibu. Duh!
Saya juga terinspirasi menulis artikel ini dari Mbak Sofia juga. Dia juga merasa tidak, atau dalam kasusnya, belum siap dipanggil ibu.
Saya tidak tau ini fenomena apa. Yang jelas, saya merasa risih dipanggil bapak.
Panggilan bapak ini, pertama saya rasakan saat dua pertemuan, semacam lokakarya gitu. Otomatis, sebelumnya saya harus berhubungan dengan panitia melalui surel. Karena tidak pernah bertemu, akhirnya saya pun dipanggil "bapak" selama berkorespondensi dengan para panitia itu. Huft.
Ya, menua itu pasti. Saya pun lambat lain dipanggil om oleh krucil-krucil yang tinggal di sekitar kantor di Ternate ini. Duh, merasa menua sekali.
Ini cuma masalah waktu, dan saya harus terbiasa. Dari panggilan "mas" menjadi "bapak", semua berproses. Dan inilah prosesnya, sakit tapi tidak berdarah....
Ini lebih parah wkwk via google