Kisah ini jadi semacam pertanda menurut saya, pertanda kematian seseorang yang tidak wajar. Sudah tahu kan kalau alam juga berbahasa?
Jadi, beberapa hari yang lalu tepatnya pada weekend di Ternate sendiri cuaca sedang buruk. Hujan dan berangin. Mendung menutup sang surya untuk membagi-bagikan cahayanya. Agak mencekam menurut saya, selain tidak bisa jemur pakaian juga. Bagi anak kos seperti saya, ini bukan pertanda baik. Apalagi harus berurusan dengan pakaian yang tak kunjung kering, dan berpotensi apak.
Tanda-tanda alam seperti ini merupakan pertanda. Orang-orang di Ternate sudah tahu itu. Apabila terjadi hujan dan angin setidaknya tiga hari berturut-turut, maka akan terjadi pembunuhan. Sebenarnya bukan cuma pembunuhan, tapi terkadang juga bunuh diri. Sadis ya?
Dan benar saja, terhitung kemarin, 26 April 2017 langit mulai cerah. Tiada mendung, tiada tanda-tanda hujan. Hasilnya? Benar saja, terjadi pembunuhan di Tidore, kata rekan kerja saya. Sialnya hari itu saya tidak membeli koran untuk membuktikannya.
Setidaknya -bersama kemarin- saya sudah merasakan dua kali pertanda ini. Yang satunya di Februari lalu. Ada hujan, ada angin ribut. Setelah diselisik ternyata ditemukan mayat yang gantung diri di kamarnya.
Memang agak sulit diterima nalar, apalagi kejadian ini sudah berulang kali terjadi. Sudah menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat di sini dengan hadirnya pertanda tadi.
Jadi, beberapa hari yang lalu tepatnya pada weekend di Ternate sendiri cuaca sedang buruk. Hujan dan berangin. Mendung menutup sang surya untuk membagi-bagikan cahayanya. Agak mencekam menurut saya, selain tidak bisa jemur pakaian juga. Bagi anak kos seperti saya, ini bukan pertanda baik. Apalagi harus berurusan dengan pakaian yang tak kunjung kering, dan berpotensi apak.
Tanda-tanda alam seperti ini merupakan pertanda. Orang-orang di Ternate sudah tahu itu. Apabila terjadi hujan dan angin setidaknya tiga hari berturut-turut, maka akan terjadi pembunuhan. Sebenarnya bukan cuma pembunuhan, tapi terkadang juga bunuh diri. Sadis ya?
Dan benar saja, terhitung kemarin, 26 April 2017 langit mulai cerah. Tiada mendung, tiada tanda-tanda hujan. Hasilnya? Benar saja, terjadi pembunuhan di Tidore, kata rekan kerja saya. Sialnya hari itu saya tidak membeli koran untuk membuktikannya.
Setidaknya -bersama kemarin- saya sudah merasakan dua kali pertanda ini. Yang satunya di Februari lalu. Ada hujan, ada angin ribut. Setelah diselisik ternyata ditemukan mayat yang gantung diri di kamarnya.
Memang agak sulit diterima nalar, apalagi kejadian ini sudah berulang kali terjadi. Sudah menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat di sini dengan hadirnya pertanda tadi.
Gunung Gamalama mengeluarkan asap via Tempo
Sebenarnya pertanda-pertanda seperti ini juga ada di daerah lain, tapi dengan versi yang berbeda. Pengetahuan lokal biasa yang menjembataninya, mungkin bisa masuk kearifan lokal.
Misalnya bagi yang tinggal di lereng gunung berapi, turunnya satwa-satwa liar ke pemukiman bisa diartikan sebagai aktivitas vulkanik gunung. Hal ini wajar, karena biasanya salah satu tanda gunung meletus yaitu naiknya suhu di sekitar kaldera. Karena suhu yang meningkat, satwa tadi mau tidak mau harus berpindah ke tempat yang lebih nyaman.
Saya jadi berpikir, di tengah isu pemanasan global ini, akankah pengetahuan seperti ini akan tetap lestari? Karena biasanya, pengetahuan semacam ini sifatnya terbatas dan spesifik lokasi. Terbatas pada penghuni wilayah, dan spesifik pada karakteristik geografisnya. Akankah?